Selasa, Desember 16, 2008

INDUSTRI FMCG: Beralih ke Refocus dan Repositioning

Selasa, Desember 16, 2008
Kejelian produsen FMCG dituntut lebih. Strategi refocus dan repositioning menjadi pilihan. Bagaimana mempraktikkannya?

Banyak kalangan dan pelaku bisnis menilai negatif akan pertumbuhan industri consumer goods seperti yang digeluti PT Unilever Indonesia, Wings Group, maupun Kino Group. Apalagi sejak September 2008 kemarin, gejolak kurs, bunga pinjaman, dan likuiditas kian memperparah kondisi ekonomi baik nasional maupun internasional.

Tidak demikian dengan Yadi Budhi Setiawan, pengamat pemasaran dan distribusi dari Force-One. Menurutnya, ada empat “faktor baik” yang memengaruhi kondisi bisnis 2008, yakni makro ekonomi yang relatif solid; perkembangan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh sektor konsumsi sejak lima tahun terakhir; belajar dari krisis moneter 1997 dan 1998 bahwa bangsa Indonesia tangguh dan bisa pulih; serta pertumbuhan ekonomi dan pasar masih menunjukkan angka memadai yang bisa menjadi modal di tahun 2009.

“Kondisi bisnis consumer goods masih bagus. Secara kuantitas major Fast Moving Consumer Goods (FMCG) naik 8-15%. Dari segi nilai pun bisa tumbuh 16-25% berdasarkan kenaikan Retal Buying Price (RBP) sebesar 8-10%,” ungkapnya.

Selain itu, dari sisi periklanan, ada peningkatan billing di atas 18%—itu pun di luar iklan politik. Faktor ekspansi hipermarket, supermarket, dan minimarket juga turut memberi dampak positif. Begitu juga dengan pasar tradisional yang mengarah pada rencana konkret meremajakan dan merenovasi konsepnya menjadi bersih, rapi, dan apik.

“Namun, tetap saja ada ‘faktor buruk’ yang ikut memengaruhi. Ini masih terkait dengan krisis global. Yakni, adanya dampak sub prime krisis ke Indonesia sehingga rupiah dan IHSG melemah,” imbuh Yadi. Faktor lainnya adalah likuiditas pasar menjadi kering dan terjadi PHK di beberapa sektor riil yang padat karya, sehingga daya beli konsumen pun merosot.

Oleh karena itu, persaingan antar-perusahaan dinilai akan lebih ketat dan berat. Ini ditunjukkan dengan sedikitnya peluang bagi perusahaan untuk menaikkan harga produknya. Kalaupun dinaikkan, paling hanya sekitar 6-10% dari harga semula. Tentunya, permintaan produk mengalami penurunan kuantitas. Jika beruntung, kenaikan harga tidak terlihat signifikan, hanya single digit. “Bila produsen berani menaikkan harga lebih dari 10%, hal itu akan berpotensi tinggi menyebabkan erosi pangsa pasar,” tegasnya.

Untuk kondisi 2009, Yadi menjelaskan, akan banyak dipengaruhi tiga faktor besar. Pertama, nilai kurs rupiah terhadap dolar. Selama rupiah berada di atas Rp 10.000, maka lokomotif industri riil sulit bertumbuh cepat. Kedua, suku bunga (SBI) dan kondisi likuiditas perbankan di Indonesia. Jika SBI bertengger di atas 8%, bunga pinjaman akan tinggi. Akibatnya akan menekan gairah investor untuk berinvestasi.

“Ketiga, adanya pemilu April-September 2009 yang akan membuat mayoritas pelaku ekonomi wait and see,” imbuhnya. Momen pemilu, bisa menjadi berkah bagi sebagian pelaku bisnis, khususnya untuk produk food & beverage, percetakan dan merchandising, outdoor ad, garmen, bengkel motor maupun mobil, serta saluran pasar tradisional dan arus bawah.

Kejelian produsen dalam menangkap konsumen peka harga pun harus diperhatikan. Harga yang terus membubung drastis harus diimbangi dengan pengurangan keuntungan. Selain refocus ke konsumen peka nilai, refocus distribusi bisa juga dilakukan. Potensi pasar Pulau Jawa dan kota-kota besar yang tersebar di luar Jawa mampu menyedot 90% daya beli untuk FMCG.

Oleh karena itu, dalam mengantisipasi tantangan 2009, produsen harus merencanakan program-program khusus. Semisal, melakukan efektivitas distribusi dengan memadatkan spreading namun merapatkan coverage dan memperdalam penetrasi, antara lain di institusi dan pasar modern. Strategi distribusi akan diarahkan pada optimalisasi peningkatan kantong pasar dan koridor pasar.

Antisipasi lainnya, menyusun perencanaan integrated marketing communications (IMC) yang low budget dan high impact yang berorientasi pada perang nilai, bukan perang harga. “Yang utama adalah mengarahkan ke segmen elit sehingga diperlukan repositioning, upselling, atau product reconfiguration upgrade,” sarannya.

Perpindahan positioning, khususnya segmen yang dibidik bisa menjadi langkah antisipasi dalam menghadapi persaingan. Strata ekonomi konsumen jelas berkaitan langsung dengan daya beli. Konsumen elit yang memiliki penghasilan di atas 10 juta rupiah tidak akan terpengaruh krisis. Berbeda dengan segmen menengah-bawah, umumnya mereka lebih selektif dalam pembelian produk.

“Konsumen menengah-atas sedikit terpengaruh, bisa turun 15-20%. Segmen menengah akan mengalami penurunan 20% dan untuk impulsive purchases turun 40-67%. Begitu pula bagi kalangan menengah-bawah, daya beli turun 20-33%, dan impulsive purchases 67-80%,” jelas Yadi.

Dari segi pemasaran tahun 2009, menurutnya, peluncuran brand baru akan dihindari oleh perusahaan. Dalam membidik konsumen, strategi diarahkan menjadi IMC New Wave dan meninggalkan IMC Classic. Begitu juga dengan iklan di media massa yang mahal akan dialihkan, bahkan ditinggalkan. “Akuisisi dan merger terhadap local brand yang kuat di 3-5 provinsi akan gencar dilakukan oleh national brand; strategi bundling dan pack downsizing pun gencar dijalankan di 2009,” terangnya.

Bicara soal tren yang menonjol di FMCG, Yadi menyebut green product atau produk “back to nature”, produk berkomponen lokal, produk khusus usia 12-25 tahun, serta produk yang ditujukan untuk metroseksual dan wanita kosmopolitan. “Produknya bisa berupa minuman teh hijau atau rasa buah ‘new age’ seperti rosella, raspberry, blueberry maupun blackcurrent. Kemasannya menggunakan teknologi penyulingan modern dan tidak mengandung konten mineral berlebihan,” tutupnya.

Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008

0 komentar:

 
◄Design by Pocket