Selasa, April 21, 2009

Rata-rata Tumbuh 50% Lebih!

Selasa, April 21, 2009 0

Memosisikan diri sebagai one stop shopping lifestyle, gerai ritel seluler Oke Shop berhasil men-drive pasar.

Sepak terjang Oke Shop terbilang luar biasa. Pasalnya, kendati baru diluncurkan tahun 2000, merek ini sudah memiliki 770 gerai yang tersebar di 141 kota di Indonesia. “Oke Shop merupakan one stop shopping lifestyle dalam menyediakan handset semua merek, aksesoris ponsel, handphone, nomor telepon, dengan nilai tambah servis,” kata Sugiono Wiyono, President Director PT Trikomsel Oke.

Oke Shop juga merupakan gerai ritel seluler terbesar di Asia yang mengemban konsep multibrand dan multioperator. Gerainya menjual berbagai merek internasional seperti Nokia, Sony Ericsson, Samsung, Motorola, HTC, dan 6 operator seluler di Indonesia. Selain itu, Oke Shop juga memberikan layanan nilai tambah dan mobile content.

Dengan berbekal 11.000 jaringan distribusi, mereka mampu memasarkan produk dari kota besar hingga kota kabupaten. Tak heran jika Oke Shop menjadi andalan Trikomsel yang memberikan kontribusi terbesar. Merek ini memosisikan diri di pasar sebagai leading distributor dengan cakupan terluas, opsi produk yang lebih lengkap, serta memberikan nilai tambah lebih kepada konsumen dibandingkan dengan kompetitor.

Sugiono menuturkan, rata-rata pertumbuhan penjualan Oke Shop dalam tiga tahun terakhir mencapai 50% lebih. Tentunya, pencapaian itu dibarengi dengan strategi edukasi pasar yang diusung perusahaan. “Sepanjang tahun 2007-2008, kami bekerja sama dengan principal dan operator untuk melakukan berbagai kegiatan edukasi pasar yang berhubungan dengan penggunaan handphone.”

Contohnya, melakukan pengenalan akan layanan Oke Plus berupa mobile content pada gerai-gerai mereka, terutama gerai yang memiliki luas yang lebih besar dibandingkan pesaing. Dengan pengenalan produk Oke Plus yang mengarah pada multimedia, konsumen dapat melakukan beragam transaksi yang berkaitan dengan handphone.

Menurutnya, ini merupakan layanan pertama di Indonesia yang ditawarkan kepada konsumen untuk jenis gerai independent retailers. Dari sisi gerai, Oke Shop memiliki beberapa tipe gerai, yakni: flagship, lifestyle, island, shop in shop, dan midistore. Pada gerai flagship, selain memberikan value added services, Oke Shop menawarkan kenyamanan berbelanja kepada konsumen.

“Oke Shop juga memperkenalkan konsep gerai yang lebih modern dan luas dengan basis lifestyle. Di sana konsumen bisa menikmati pembelian handphone dan berbagai produk termasuk Oke Reload, Oke Plus, Oke Net sampai layanan pembayaran dengan kartu kredit ‘Cashless Society’ dan fasilitas cicilan tanpa bunga,” ungkapnya.

Tentunya, tambah Sugiono, konsumen akan merasakan suasana layanan dan kenyamanan yang berbeda pada saat mereka berbelanja di Oke Shop. Sesuai dengan motto “Gaya hidup, personalisasi dan kemudahan berinteraksi”, di sana life demo dengan penggunaan ponsel asli diberlakukan, dan juga ada pengalaman unik melalui live interaction.

Keberhasilan Oke Shop meraih penghargaan “Market Driving Company” pada Marketing Award 2008, tidak terlepas dari strategi pemasarannya. “Kami bekerja sama dengan dengan beragam institusi keuangan ternama baik nasional maupun internasional. Saat ini, kami satu-satunya gerai yang mendapatkan fasilitas EDC server-to-server dengan Citibank,” ucapnya bangga.

Dengan fasilitas ini, maka implementasi program bisa dilakukan dengan cepat dan seragam di seluruh jaringan Oke Shop, serta memakai teknologi GPRS sehingga tidak terganggu dengan kekurangan line telepon di daerah. Selain itu, Oke Shop juga melayani pembelian secara online melalui situs dan layanan antar (delivery).

Berbagai kegiatan pemasaran yang sifatnya konvensional pun digerakkan melalui pemasangan iklan di media cetak dan elektronik—di samping brosur, flyer dan spanduk. Di non konvensional, Oke Shop menyelenggarakan kampanye yang dikemas secara kreatif melalui penggunaan SMS Blast & Email Blast.

“Kami pun mengadakan konser musik untuk mempromosikan Oke Plus, lomba cheerleader contest saat peresmian gerai Oke Shop di Bandung, dan lomba menulis untuk jurnalis,” ujar Sugiono. Diimbuhkannya, untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, mereka melakukan radio roadshow program, radio quiz program, mensponsori turnamen olahraga, serta menyelenggarakan acara dealer gathering yang pertama di industri ponsel.

Oke Shop pun melebarkan sayap hingga ke pasar internasional. Melalui Oke Reload, dapat dilakukan penjualan pulsa kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di luar negeri terutama pada beberapa negara tetangga, termasuk Singapura, Malaysia, Hongkong, China, dan Dubai.

“Ke depannya, Oke Shop juga tengah mengembangkan kerja sama dengan perusahaan di Filipina dan Malaysia untuk transfer pulsa dengan memakai Oke Reload sebagai flatform-nya. Ini adalah inovasi terbaru di dunia telekomunikasi,” ujarnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Terry Putri: Rambut Heboh Pagi Hari

Bagi perempuan, rambut memang menjadi satu hal yang dianggap paling sensitif, tidak terkecuali Terry Putri. Gadis cantik kelahiran Banjarmasin, 1 Desember 1979, ini pernah bermasalah dengan “mahkotanya” itu. Sebagai presenter untuk delapan acara televisi, Terry bisa berganti model rambut sebanyak empat hingga lima kali dalam sehari. Bisa saja pagi hari rambutnya berombak dan di siang hari harus lurus kembali.

Terry berpendapat, rambut adalah media untuk mengekspresikan diri. “Karena itu, saya menikmati beragam eksperimen pada rambut saya. Profesi saya sebagai TV presenter dan MC mengharuskan saya sering melakukan berbagai styling. Saking keasyikan, tidak disadari rambut saya rusak,” ceritanya.

Hampir setiap pagi, di sela-sela persiapan siaran, rambut Terry selalu menyisakan cerita heboh. Bahkan, pernah kejadian, hair stylist-nya kesulitan “menjinakkan” rambutnya. Alhasil, ia pun harus stand by sejak pukul empat pagi hanya karena rambut. Sekarang kenyataan itu sudah hilang. Semenjak dinobatkan sebagai brand ambassador Dove Shampoo, ia tak perlu merasakannya lagi.

“Kini, saya bisa menikmati ‘manic morning’ dengan rambut lebih sehat tanpa masalah,” ucap pemilik tinggi badan 158 cm ini. Terry menambahkan, sebagai brand ambassador Dove Shampoo, tugas barunya adalah berbagi pengalaman dan mengajak perempuan Indonesia untuk membuka hari dengan indah dan penuh semangat, tanpa khawatir akan kondisi rambut yang rusak. “Jadi, bisa tampil percaya diri sejak pagi hari dan siap beraktivitas sepanjang hari,” tegas presenter Insert ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Alfamart, Luar Biasa!

Strategi pemasaran Alfamart memang layak mendapat ajungan jempol. Mereka berhasil memenangkan hati pelanggannya lewat dukungan TI dan penerapan strategi experiential marketing.

Persaingan yang ketat di minimarket, membuat Alfamart harus memutar otak. Maklum saja, dalam jarak yang tak berjauhan pasti ada minimarket kompetitor yang siap menghadang. Apalagi, mulai dari segmen hingga tata ruangnya pun tidak jauh berbeda karena lingkup bidang usahanya memang sama. Salah satu yang bisa membedakan hanyalah fasilitas, servis, dan pelayanan kepada konsumen.

Faktor inilah yang melandasi Alfamart untuk tampil beda. Contohnya pada Kartu AKU (Alfamart-ku). “Dengan adanya Kartu AKU, Alfamart mencoba memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Bagi anggota pelanggan yang telah memiliki kartu AKU bisa memanfaatkan keuntungan-keuntungan berbelanja di Alfamart,” kata Velina Yulianti, Marketing & Business Development Director, PT Sumber Alfaria Trijaya.

PT Sumber Alfaria Trijaya, selaku pemegang brand Alfamart, merupakan perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang perdagangan umum dan jasa eceran yang menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari. Perusahaan ritel yang berdiri pada 22 Juni 1999 ini membidik target konsumen dari kelompok middle-class (SES B & C).

Kartu AKU adalah kartu anggota yang diberikan jika pelanggan telah memenuhi ketentuan yang disyaratkan Alfamart. Benefit yang diperoleh pelanggan dari kartu ini antara lain: HematKu, berupa potongan harga hemat atau bonus produk tertentu; SpesialKu, berupa program penjualan produk ekslusif dengan harga spesial; dan HadiahKu, berupa program hadiah langsung atau undian. Pemilik kartu ini juga bisa mendaftar ke website Alfamart untuk memeriksakan jumlah poinnya.

Dijelaskan Velina, adanya program Kartu AKU merupakan efek dari penerapan teknonogi informasi (TI) yang dilakukan tim Alfamart. Keuntungan dari pemanfaatan TI tersebut pun sangat signifikan, khususnya pada sistem marketing. “Program membership dalam bentuk Kartu AKU telah dapat memanfaatkan data mining yang ada untuk lebih memberikan layanan yang sifatnya one-to-one marketing,” lanjutnya. Dengan demikian, konsumen pun bisa merasakan adanya sentuhan personal dari Alfamart.

Contoh implementasinya, sebelum pelanggan bertransaksi, kasir pasti akan menanyakan Kartu AKU dan menawarkan produk-produk tertentu sebagai promosi. Lewat cara itu, diharapkan akan tercipta memorable experience dalam benak pelanggan. “Ini adalah gimmick yang khas di Alfamart,” klaimnya.

Alfamart juga gencar menerapkan experiential marketing yang bertujuan untuk menimbulkan pengalaman dan sensasi dari konsumennya. Bukti nyata yang telah mereka lakukan adalah program sales promotion dengan tema “Kejutan Belanja Gratis”. Dalam program ini, konsumen yang berbelanja dengan nominal tertentu dan beruntung, akan mendapatkan kejutan hadiah uang pada saat transaksi.

Selain itu, ada pula pemberian kue ulang tahun bagi member Kartu AKU yang berulang tahun. “Meski bujetnya tidak terlalu besar, tetapi impaknya bagi konsumen sangat terasa. Konsumen yang mendapat kejutan ini, biasanya surprised. Selanjutnya, konsumen tersebut akan semangat belanja di Alfamart serta memosisikan dirinya sebagai ‘volunteer’ untuk mempromosikan Alfamart dari mulut ke mulut,” ungkap Velina panjang lebar.

Wajar saja jika slogan “Belanja puas, harga pas” begitu melekat di benak jutaan pelanggan mereka. Program yang ditawarkan merujuk pada benefit yang akan didapat pelanggan itu sendiri. Dijelaskannya, kesuksesaan Alfamart juga didukung hasil pengumpulan data informasi dari secondary data dan primary data. “Melalui metode FGD (Focus Group Discussion), kami mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif,” imbuhnya.

Segudang prestasi pun telah ditorehkan Alfamart. Antara lain Best Brand Equity Gainer Award 2006; Golden Franchise Award 2006, ISO 9001:2000; MURI Award; Hot Brand in 2007; Top Brand 2008; dan Indonesia Best Brand Award 2008. Belum lagi competitive advantage, bahwa Alfamart merupakan satu-satunya minimarket yang memiliki program membership; peraih Store Equity Index tertinggi di antara seluruh format ritel; serta Alfamart sebagai payment point—hasil kerja sama dengan FIF.

Alfamart juga memiliki program CSR (Corporate Social Responsibility) yang terorganisir dalam wadah “Alfamart Care”. Kegiatan CSR tersebut dijalankandengan melakukan pendekatan ke pihak sekolah, lembaga keagamaan, lembaga sosial, maupun instansi pemerintahan. Untuk mengomunikasikan program CSR tersebut kepada konsumen, mereka memasang poster serta menempatkan flyers di seluruh jaringan Alfamart.

Kegiatan sosial Alfamart terdiri dari bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, kebersihan dan keindahan lingkungan, dan bencana lokal atau nasional. “Ke depan dalam rangka CSR di bidang lingkungan, Alfamart akan mengganti kantung plastik dengan kantung yang mudah didaur ulang. Ini bertujuan untuk mendukung kampanye global warming,” ucap Velina.

Ia menegaskan, Alfamart tak hanya memfokuskan diri untuk memenangkan hati pelanggan, tapi juga memenangkan hati masyarakat di seluruh Indonesia melalui program-programnya. Pantas saja, berkat keberhasilan strategi pemasaran mereka, Alfamart berhasil membawa pulang tiga penghargaan sekaligus di ajang Marketing Award 2008, yaitu: “The Best IT in Marketing”, “The Best in Experiential Marketing”, dan “The Best in Social Marketing”. Luar biasa!

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Purnomo Prawiro: Perlakukan Karyawan sebagai “Manusia”

Slogan “Andal” dijadikan pedoman Blue Bird dalam memberikan service kepada pelanggan. Sang CEO juga berusaha memberikan contoh yang baik kepada bawahannya.

Sulit dibantah, di antara berbagai merek taksi yang beredar di wilayah Jakarta dan sekitarnya, diferensiasi taksi Blue Bird tampak begitu enonjol. Diferensiasi itu terletak pada sistem IT, database management, dan sistem renumerisasi mereka yang baik. Selain itu, dalam hal service, pengemudi Blue Bird juga terkenal lebih baik dan sopan ketimbang supir-supir taksi merek lain.

“Kami memfokuskan diri pada kepuasan pelanggan terhadap semua fasilitas layanan yang ada. Diharapkan, customer yang sudah merasakan pelayanan tersebut, dikemudian hari bisa mengulanginya lagi,” kata Purnomo Prawiro, President Director Blue Bird Group (BBG).

Untuk itu, menurutnya, dari tahun ke tahun pelayanan yang diberikan Blue Bird selalu meningkat. Ini disertai pula dengan tingginya keinginan dari pihak pelanggan terhadap pelayanan tersebut. Misalnya saja dengan memberikan pelayanan sebaik mungkin, bertambahnya layanan ekstra aman dan nyaman.

Kini, seiring perjalanan waktu, slogan Andal pun mereka luncurkan. Ya, Andal merupakan akronim dari: Aman, Nyaman, Mudah dan Personalize. Jadi, service-nya berkembang. Tidak lagi sekadar mengemban tugas mengantarkan pelanggan dari satu titik ke titik yang lain, tapi disesuaikan dengan permintaan customer. “Semua pelanggan memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam segi pelayanan yang didapatnya. Kami berusaha memenuhinya sesuai banyaknya permintaan yang masuk dan pertimbangan cost-nya,” imbuh Purnomo yang didampingi Noni Sri Ayati Purnomo (Vice President Business Development) saat wawancara.

Selain kemudahan mendapatkan taksi Blue Bird di ruas jalan raya, untuk memudahkan pelanggan, perusahaan juga menempatkan armadanya di beberapa pangkalan seperti di bandara, mal, dan hotel. Jika ingin lebih mudah lagi, pelanggan bisa memanfaatkan fasilitas call center untuk order pemesanan taksi. Biasanya, dalam hitungan menit mereka sudah menerima nomor taksi dan siap dijemput. “Kami pun menyediakan credit voucher sehingga bisa memudahkan transaksi,” lanjutnya.

Menurut Purnomo, proses utama yang harus dilakukan sebelum memberikan service kepada pelanggan adalah peranan dari manusia di perusahaan tersebut—khususnya para pengemudi yang berjumlah kurang lebih 20.000 orang. Kemudian, berlanjut pada infrastruktur dan sistem manajemen. Oleh karena itu, sebagai atasan yang membawahi ribuan karyawan, ia berusaha memberikan contoh baik kepada bawahannya. Tak perlu susah-susah, cukup memberi ucapan “Selamat pagi” atau “Bagaimana hari ini?” kepada bawahan ketika berpapasan.

Dipaparkannya, slogan Andal tersebut harus diaplikasikan oleh karyawan BBG di semua tingkatan. Tak terkecuali atasan dengan back office, frontliners maupun dengan pelanggan. Jika semua karyawan—khususnya pengemudi—merasa nyaman dalam bekerja, maka hal ini akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.

Purnomo mengatakan, service vision yang diterapkannya mengacu pada sistem top-down. Artinya, service yang baik harus dimulai pada tingkatan atas yang kemudian berlanjut ke bawah. Praktisnya, ia harus memberikan contoh kepada bawahannya: bagaimana memberikan pelayanan yang baik. Dengan harapan, bawahannya pun melakukan hal yang sama kepada pelanggan Blue Bird.

“Bagi customer, hal lain yang diperhatikan adalah visi dan misi yang diemban oleh sebuah taksi itu. Kemudian berlanjut pada image sang pengemudinya, baik keseluruhan atau perorangan,” paparnya. “Sebab, bagaimana seorang pengemudi mau memberikan service yang baik kepada customer, jika perusahaan tidak memperlakukan pengemudi itu sebagai ‘manusia’.”

Setelah membentuk service culture di BBG, ia pun menyadari benar, tidak mudah menyosialisasikan dan menerapkan kultur tersebut ke dalam diri setiap karyawannya. Faktor utama yang menjadi permasalahan adalah adanya keragaman budaya masing-masing individu. “Mereka harus merasa cocok dengan kultur yang diterapkan di BBG. Mungkin, jika dilihat turnover tiga bulan pertama masuk, banyak yang tidak cocok.”

Namun, Purnomo mengerahkan segala upaya untuk menerapkan kultur tersebut. Ia beralasan, adanya suatu sistem kultur yang seragam merupakan modal bagi Blue Bird untuk tetap bertahan di tengah maraknya serbuan kompetitor. Oleh karena itu, service tak hanya diberikan kepada pelanggan, tetapi juga ke pengemudi. Para pengemudi mendapat seragam, pinjaman motor, pinjaman rumah, asuransi kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.

Blue Bird Group juga memberikan reward khusus bagi para pengemudi. Acara penghargaan yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali ini dihadiri jajaran manajemen, direktur sampai komisaris. “Reward diberikan untuk pengemudi yang melakukan pengembalian barang milik customer yang tertinggal atau disebut ‘barket’, pengemudi dengan jumlah komplain terkecil, dan lainnya,” ujar pria kelahiran Surabaya, 18 Oktober 1947 ini.

Untuk memonitor service yang telah diberikan oleh pengemudi, perusahaan tak perlu bersusah payah. Teknologi IT yang canggih bisa memudahkan pengawasan dan pengumpulan data dari tiap-tiap pengemudi. Data prestasi pengemudi pun bisa dilihat dari banyaknya komplain yang datang dari customer. Alhasil, jika ada pengemudi punya reputasi buruk dan dikeluarkan dari Blue Bird, maka ia tak bisa bekerja di pool BBG manapun. “Istilahnya, jangan sampai kesalahan satu orang bisa merusak nama baik kami,” tegasnya.

Namun, untuk menjangkau pengawasan hingga ke tingkat bawah, Purnomo punya cara tersendiri. Cukup dengan menjalankan sistem komunikasi dengan pengemudi. Menurutnya, komunikasi ini terlihat mudah, tetapi sulit untuk dilaksanakan karena waktu yang tersedia relatif singkat. Soalnya, para pengemudi lebih banyak menghabiskan waktu di jalan daripada di pool.

Setiap karyawan tentu memiliki keinginan-keinginan di luar yang disediakan BBG. Nah, untuk mengetahui informasi apa yang beredar di antara pengemudi, ia menerapkan sistem koordinasi kelompok. “Dalam satu kelompok yang terdiri 25 anggota, saya tugaskan satu orang untuk menjadi ketua grup. Di atas ketua grup, ada pembina. Pembina inilah yang memberikan informasi, arahan, dan teguran kepada pengemudi tersebut,” terangnya.

Lebih lanjut, Purnomo mengatakan, adanya ketua grup dan pembina memudahkan komunikasi antara pengemudi dengan pihak manajemen. Umumnya, tugas seperti itu menjadi tanggung jawab manajemen. “Sifat komunikasi harus dua arah. Saya rasa, jauh lebih mudah jika informasi dilakukan antar-pengemudi juga,” ucapnya memberi alasan.

Tetap saja, Purnomo berpendapat bahwa membangun service quality jauh lebih sulit dibandingkan mempertahankannya. Ini dilihat dari sifat fisiknya. Namun, untuk mempertahankannya pun diperlukan pemikiran dan ide-ide. “Sekarang, visi dan culture BBG sudah dipahami oleh semua karyawan termasuk pengemudi. Mereka sadar betul akan pentingnya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Dengan demikian, ke depannya, BBG bisa tetap eksis,” katanya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, April 08, 2009

Kuasai Market Share Hingga 90%!

Rabu, April 08, 2009 1

Sejak 23 tahun silam, Alfalink mantap menduduki singgasana raja di pasar kamus elektronik. Apa rahasia merek ini hingga begitu perkasa?

Yang namanya kamus bahasa umumnya identik dengan buku yang tebalnya bisa beratus-ratus halaman. Kalau sudah setebal itu, bisa dibayangkan betapa repotnya orang membolak-balik halaman hanya untuk menncari arti dari suatu kata.

Akan tetapi, di dunia bisnis peluang biasanya muncul karena adanya masalah. Melihat adanya kebutuhan konsumen yang menginginkan kepraktisan dalam membuka kamus ini, maka dibuatlah inovasi kamus elektronik berlabel Alfalink. Ya, mendengar merek Alfalink, ingatan kita tentu langsung tertuju pada sebuah perangkat kecil yang berfungsi sebagai kamus elektronik.

“Alfalink menawarkan kemudahan karena bentuknya yang mungil, juga tidak perlu repot membuka lembar per lembar hanya untuk mencari arti dari satu kata atau kalimat. Cukup menekan tombol yang ada, maka langsung terbuka segala informasi yang dibutuhkan,” kata Shian Yu, CEO PT Freshindo Marketama Corp.

Sekadar informasi, Alfalink merupakan merek lokal yang diciptakan oleh Shian Yu pada tahun 1985. Waktu itu, pasar produk kamus elektronik belum terbuka lebar. Gaungnya tak sedahsyat produk elektronik lainnya. “Manufacturing Alfalink, pasokan barang dan produksi didatangkan langsung dari Hong Kong, Taiwan, dan China. Tetapi, riset dan development-nya tetap dilakukan di Indonesia,” lanjutnya.

Di kategori kamus elektronik, kompetitor merek ini masih terbilang langka. Pasarnya cuma dihuni oleh beberapa pemain. Alfalink sendiri merupakan pionir yang nyaris menjadi pemain tunggal. Kondisi inilah yang memudahkan mereka menaklukkan pasar Indonesia. Apalagi, PT Freshindo Marketama Corp adalah salah satu distributor besar di Indonesia yang mengkhususkan diri dalam pemasaran dan pendistribusian produk perkantoran.

“Sejak 23 tahun lalu, Alfalink menjadi pelopor kamus elektronik, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tenggara. Pemain sejenis hanya ada di China, Hong Kong, Jepang, dan Taiwan,” jelas Shian Yu. Meski brand lokal, imbuhnya, mereka mampu bersaing dengan brand luar negeri. Terbukti, di Singapura, Alfalink menduduki posisi kedua setelah market leader di negara tersebut.

Dari sisi pricing strategy, menurutnya, Alfalink satu-satunya kamus elektronik yang mematok harga paling murah dibanding lainnya. Harga yang ditawarkan berkisar Rp 89.000 hingga Rp 2 juta sesuai dengan segmen yang dibidiknya, middle-low. “Tapi sebenarnya, kami juga menargetkan segmen middle-up. Hal ini bisa dilihat dari para pengguna Alfalink yang mayoritas kalangan berpendidikan seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja eksekutif,” ujarnya.

Dituturkannya, bermain di pasar internasional haruslah berani menekan harga jual serendah mungkin. Strategi inilah yang diterapkan Alfalink untuk menggaet konsumen. Dengan harga murah, tapi bisa mendapatkan produk yang berkualitas. Tentunya, disertai pula dengan layanan servis dan garansi selama satu tahun. Di samping itu, Alfalink melengkapi produknya dengan fitur tambahan berupa kalkulator, penunjuk waktu, alarm, buku telepon, mesin talking, MP3/MP4, serta games. “Jadi, Alfalink bukan sekadar kamus, tapi juga mulai menjadi produk lifestyle layaknya handphone,” tegasnya.

Konsistensi harga yang ditawarkan sejak awal pun tetap diperhatikan. Meski belakangan ini terjadi kenaikan harga barang produksi di setiap lini, Alfalink tidak dengan mudah menaikkan harga produknya. Tujuannya untuk menjaga para pelanggan yang berada di kelas menengah bawah tidak beralih ke merek lain.

“Strategi lainnya adalah dengan mengikuti permintaan pasar, artinya produk selalu di up-grade sesuai kebutuhan konsumen. Apalagi, kamus sifatnya terkait dengan bahasa, yang bisa saja mengalami perubahan arti dan makna,” lanjutnya. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Alfalink melengkapi produk-produknya dengan 40 bahasa, antara lain Indonesia, Inggris, Melayu, Mandarin, dan Arab. Kini, produk Alfalink terdiri dari 30 jenis item yang berbeda-beda.

Hal lain yang mengukuhkan sepak terjang mereka adalah sistem distribusi yang rapi dan sistematis. Berkantor pusat di Jakarta, mereka memiliki kantor cabang di Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali, serta pusat distribusi di seluruh Indonesia untuk memudahkan coverage Alfalink. Permintaan paling banyak datang dari Pulau Jawa, selebihnya merata di tiap daerah.

Shian Yu mengatakan, ia juga tak ingin main-main dalam mendistribusikan Alfalink, khususnya di Indonesia. Mereka cuma mempercayakan produknya pada outlet-outlet yang sesuai segmen pasarnya seperti Gramedia dan Gunung Agung. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir keraguan konsumen akan layanan purnajual Alfalink. “Tujuannya untuk memudahkan konsumen jika ingin complaint atau servis Alfalink.”

Saat disinggung strategi promosi, Shian Yu mengatakan, pihaknya berpromosi melalui media cetak maupun elektronik. Namun, diakuinya, iklan Alfalink di televisi kini tidak segencar ketika masa awal launching. Promosi yang paling berpengaruh adalah lewat word of mouth. Untuk menunjang hal itu, sekarang mereka lebih memfokuskan edukasi konsumen lewat jalur below the line seperti penyebaran brosur dan katalog.
“Untungnya, masyarakat cepat memahami apa itu Alfalink. Dan menerimanya karena menyangkut kebutuhan, terutama bagi para wisatawan dan orang yang ingin pergi ke luar negeri tapi terkendala bahasa negara setempat,” terangnya.

Saat ini, Alfalink mengangkangi market share kamus elektronik di pasar domestik. Tidak tanggung-tanggung, angkanya hampir mencapai 90%! Merek ini juga merambah pasar internasional (di luar negeri, brand Alfalink tetap digunakan). Negara yang menjadi incarannya antara lain Australia, Jepang, Amerika, Malaysia, dan Singapura. Minat konsumennya cukup tinggi, khususnya bagi orang Indonesia yang berdomisili di negara-negara itu.

Tentunya, persaingan pasar di luar negeri jauh lebih ketat dibandingkan pasar Indonesia. Akan tetapi, Shian Yu tidak gentar menghadapi kondisi tersebut. Baginya, harga Alfalink yang jauh lebih murah dibandingkan produk lainnya, kualitas yang bagus, serta variasi pilihan bahasa yang memadai merupakan modal kuat untuk bersaing.

“Meski pasaran di luar negeri banyak kompetitor, tapi tidak terlalu signifikan mempengaruhi penjualan Alfalink,” katanya optimistis. Ke depannya, Alfalink menargetkan pertumbuhan sales hingga 10% per tahun. Tentunya, segmen yang akan dibidik pun akan difokuskan pada middle-up sesuai dengan pasar yang ada di Indonesia.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Adu Kuat di Pasar Bedak Gatal

Dari generasi ke generasi, kemasan Caladine dan Herocyn tak pernah berubah. Kedua merek pun sama-sama jadi legendaris. Lantas, apa perbedaan strategi mereka?

Dahulu, hampir sebagian besar orangtua sering menganjurkan anaknya untuk menggunakan bedak talcum atau powder. Kegunaan bedak tersebut diyakini bisa melindungi kulit dan menyerap keringat yang berlebihan. Nah, dari sekian banyak produk bedak gatal, ada dua merek yang amat dipercaya dan menjadi pilihan mereka, yaitu Caladine dan Herocyn.

Di pasar pun Caladine dan Herocyn terus saling kejar-kejaran dalam memimpin pasar sampai saat ini. Sedikit merujuk pada sejarah, Caladine hadir pada tahun 1970-an. Waktu itu Eddy Joesoef, seorang ahli dermatologi, berkeinginan memproduksi obat-obatan. Lalu, tercetuslah ide untuk membangun sebuah perusahaan farmasi.

“Dalam rentang waktu tersebut, kami telah berhasil membina kepercayaan dan kerja sama dengan banyak pihak. Hingga akhirnya, kami mendapat pengakuan sebagai industri obat yang mengutamakan mutu,” kata Eva Situmeang, Head of Sales & Marketing Product Skin Care PT Galenium Pharmasia Laboratories.

Tak lama kemudian, tepatnya tahun 1979, Herocyn muncul dan memasuki pasar skala nasional meski telah diluncurkan sejak tahun 1975. Awalnya Herocyn merupakan sebuah produk home industry asal Surabaya. Namun, menurut Panjang Gunawan, Marketing Director PT Coronet Crown Pharmaceutical Industries, sesuatu yang dibangun dengan tahapan-tahapan yang teruji pasti akan bertahan. Sebaliknya, jika dibandingkan dengan sesuatu yang cepat, tingkat kegagalan dalam mempertahankannya juga besar.

Tak bisa dimungkiri, saat ini pasar bedak gatal cukup menjanjikan di tengah berkembangnya teknologi obat-obatan. Kuenya pun harus dibagi. Untuk itu, Caladine menyiasatinya dengan mengeluarkan rangkaian produk highlight lain dalam bentuk lotion dan cream, di samping powder. “Pada dasarnya, fungsinya tetap sama. Caladine Powder untuk mencegah dan mengobati biang keringat, Caladine Lotion mengatasi gatal akibat alergi, sedangkan Caladine Cream untuk mengatasi gatal akibat gigitan serangga,” ujar Eva.

Berbeda dengan Caladine, Herocyn dari tahun ke tahun hanya diproduksi dalam bentuk powder saja. “Inilah keunggulan Herocyn dibandingkan kompetitor. Kami selalu berusaha menjaga isi atau komposisi Herocyn dari 30 tahun silam hingga sekarang. Terbukti, sudah dua generasi pasar yang menggunakan Herocyn sebagai solusi mengatasi gatal,” klaim Panjang.

Kemasan “Jadul”
Untuk mempertahankan hati konsumen, kedua merek tersebut sama-sama mengandalkan kemasannya yang “jadul” alias zaman dulu. Artinya, sejak keluar pertama kali hingga kini, kemasan kedua produk itu tak berubah. Ciri khasnya, Caladine tampil dengan gambar kemasan yang penuh “taburan bunga” di setiap varian produknya, sementara Herocyn setia pada bentuk kaleng panjangnya.

“Menurut survei yang dilakukan, hal-hal yang diingat konsumen terhadap Caladine adalah bunganya. Sehingga, kami memutuskan untuk mempertahankan citra tersebut sebagai kekuatan merek Caladine. Selain itu, ini memberikan kemudahan dalam mengomunikasikan Caladine secara turun-temurun,” papar Eva.

Demikian pula halnya dengan Herocyn. Panjang menceritakan, ada beberapa alasan mengapa kemasan Herocyn tidak berubah. Pertama, bentuknya sudah sangat familiar di benak konsumen, khususnya ibu-ibu. Kedua, kemasannya mudah digenggam karena sesuai ukuran tangan. “Terakhir, ini merupakan amanah dari owner agar bentuk asli Herocyn tidak diubah. Kalau pun ingin membuat bentuk lain, hanya boleh diaplikasikan pada produk baru seperti Herocyn khusus bayi,” tambahnya.

Di pasar, Herocyn kokoh dengan mengusung slogan “Herocyn selalu setia menemani keluarga Indonesia”. Karena itu, positioning-nya jelas, yakni bedak kesehatan kulit bagi ibu, ayah, anak, serta cucu yang berusia lima tahun ke atas. “Herocyn membidik segmen middle-low,” ujar Panjang.

Tentu saja, baik Caladine maupun Herocyn menyiapkan strategi khusus untuk mengomunikasikan keunggulan produk mereka. Caladine, misalnya, memiliki direct marketing yang khusus menyukseskan program edukasi secara langsung ke masyarakat. Biasanya, program tersebut dikemas secara tematik dari tahun ke tahun. Contohnya, tahun ini tema yang diusung adalah “Caladine produk kecintaan ibu”.

Jadi, tambah Eva, edukasi Caladine sekarang sifatnya saling berintegrasi satu sama lain. “Kami gencar melakukan kampanye dari dahulu hingga sekarang, hanya caranya saja yang sedikit berbeda. Kami tidak hanya mengandalkan above the line sebagai sarana edukasi, tetapi merambah ke below the line juga,” ujarnya.

Target utama Caladine adalah golongan ABC+. Dalam hal ini, Caladine membidik ibu rumah tangga yang berusia 25 tahun ke atas. Eva menambahkan, dengan membidik ibu-ibu, otomatis anggota keluarganya pun ikut menggunakan. Ini mengacu pada sifat dasar kepedulian sang ibu terhadap keluarganya, termasuk urusan bedak. “Harga yang ditawarkan pun terjangkau karena segmen yang dituju sesuai, jadi tidak ada masalah.”

Serupa dengan Caladine, Herocyn melakukan promosi melalui iklan di lini atas maupun bawah. “Komunikasi produk, tentu saja menggunakan media publikasi yang ada. Untuk TVC sendiri, skalanya bisa nasional atau lokal. Begitu juga iklan di radio-radio swasta yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, serta kegiatan kemanusiaan, khususnya untuk sektor masyarakat middle-low,” ungkap Panjang.

Promo Herocyn dilakukan secara berbeda dengan kompetitor. Tujuannya jelas untuk menarik minat konsumen. Lebih lanjut, Panjang mengatakan, aktivitas promosi yang dilakukan Herocyn juga diimbangi oleh sistem pendistribusian yang jelas. Baginya, pendistribusian yang baik dan terpadu bisa mendongkrak hasil penjualan produk.

“Herocyn didistribusikan secara nasional, dengan dukungan tiga distributor yang berpusat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ditambah bantuan dari subdistributor lain, Herocyn mampu mendominasi di luar Pulau Jawa, di antaranya Sulawesi, Kalimantan Timur, Sumatera, Kupang. Bahkan, pemasaran Herocyn pun sudah sampai ke Malaysia dan Arab Saudi,” akunya.

Tak mau ketinggalan, Caladine pun merangsek coverage distribusi di setiap wilayah Indonesia, mulai dari kota hingga pelosok daerah. Eva memastikan, produk Caladine bisa didapat di mana saja, baik pasar modern, tradisional, maupun farmasi. Untuk memikat konsumen, Caladine juga memberikan promo berupa ekstra isi 25%.

Inovasi Produk
Tidak sebatas itu saja, kedua merek itu merasa perlu untuk terus berinovasi. Selain mengeluarkan produk dalam bentuk lotion dan cream, Caladine menambahkan komposisi calamine, zinc oxide, camphor, menthol, serta parfume. “Meski termasuk kategori medicated powder, kami ingin memastikan bahwa Caladine aman digunakan setiap hari. Oleh karena itu, kandungan calamine di sini berfungsi memberikan rasa dingin dan melindungi kulit dari infeksi,” tandas Eva. Aroma Caladine diformulasikan khusus sehingga tidak berbau obat.

Begitu pula Herocyn. Merek ini telah melakukan inovasi di tingkat sumber daya manusia dan peralatan mesin produksi. Herocyn juga meluncurkan produk pendamping, misalnya Herocyn khusus bayi. Di dalam komposisinya ditambahkan menthol untuk memberikan rasa sejuk pada kulit. “Kami menyadari bahwa Indonesia termasuk daerah tropis sehingga perlu suasana dingin,” kata Panjang.

Berkat semua strategi itu, Herocyn kini menangguk pertumbuhan penjualan sekitar 15% per tahun, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Sementara Caladine mengklaim mampu membukukan pertumbuhan hingga 20% per tahun. Hasil ini tidaklah jauh berbeda dengan data Top Brand Index (TBI) 2008. Dalam TBI, Caladine memperoleh indeks 36,3%; sedangkan Herocyn 27,5%.

Panjang berharap pada tahun-tahun mendatang pihaknya bisa mempertahankan atau jika mampu meningkatkan daya jual Herocyn. Keinginan serupa juga diungkapkan Eva. Tampaknya, pertarungan antara kedua merek ini bakal tetap menarik untuk disimak.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Ojek Bagi Kaum Berdasi


Ningrat Limobike terbilang cerdik membaca peluang pasar. Ojek premium ini menawarkan fasilitas plus-plus bagi kaum eksekutif. Seperti apa?

Tentulah tidak asing jika kita mendengar kata “ojek”. Ya, ojek merupakan alternatif transportasi darat yang unggul dari segi waktu tempuh—terlebih di kota-kota besar yang acap dilanda macet tak berujung. Utamanya, ojek menggunakan kendaraan roda dua alias sepeda motor. Untuk mendapatkannya pun tak sulit, di pinggir maupun persimpangan jalan keberadaannya bisa dijumpai.

Namun, layaknya bus reguler dengan patas AC atau kereta ekonomi dengan kereta express, ojek pun kini punya penggolongan tersendiri. Berawal dari ide PT Ningrat Muda Mandiri yang bekerja sama dengan PT Sun Motor, terciptalah ojek premium. Ojek eksekutif tersebut diberi nama Ningrat Limobike (NL).

“Sebenarnya, di luar negeri, ojek premium sudah ada. Umumnya jenis kendaraan yang digunakan adalah motor gede berkapasitas 1.000 cc,” kata Koko Sandoza, President Director PT Ningrat Muda Mandiri, yang ditemui di ruang kerjanya.

Koko menjelaskan, konsep NL sejatinya sudah tercetus beberapa tahun lalu. Hanya saja, masa “penggodokannya” memakan waktu. Mula-mula, proses yang dilakukan adalah mencari nama yang tepat hingga tercetus merek Ningrat Limobike, lalu berlanjut ke pencarian jenis kendaraan hingga Piaggio—motor matik—terpilih sebagai armadanya.

NL hadir untuk memenuhi kebutuhan para eksekutif akan transportasi yang cepat, aman, dan nyaman. NL lebih dikhususkan bagi mereka yang ingin “pindah” dari satu titik ke titik lain, namun enggan membawa kendaraan sendiri lantaran faktor kemacetan jalan dan jarak tempuh yang dekat.

Terobosan baru ini boleh mendapat acungan jempol. Sebab, sesuai namanya, NL bukan hanya menawarkan jasa transportasi yang mengandalkan kecepatan, tetapi juga kenyamanan. Misalnya soal kebersihan. Penumpang tidak perlu khawatir akan kebersihan helm yang dikenakannya. Tidak bakal ada noda ataupun aroma tak sedap karena setiap penumpang diberikan pelapis helm yang cuma berlaku untuk satu kali pemakaian. Ada pula jas hujan. Dan khusus untuk perempuan, ada penutup rok agar tidak merasa risih.

Bukan itu saja. Armada NL dilengkapi pula dengan Global Positioning System (GPS) sebagai tanda penunjuk jalan, sehingga penumpang tak perlu was-was terhadap rute yang ditempuh. “Ini bisa menjadi solusi bagi orangtua akan keselamatan anaknya yang terbiasa menggunakan jasa antar-jemput ojek. Mereka bisa mempercayakan hal ini pada NL karena ada sistem call center dan komplain yang jelas,” papar Koko.

Keramahan para pengemudi pun menjadi nilai tambah ojek premium ini. Dengan senyum, mereka memperkenalkan diri secara singkat kepada penumpang. Selanjutnya, mereka akan menjelaskan tata cara dan ketentuan sebelum perjalanan dimulai. “Kami melakukan training terhadap para calon pengemudi. Materi training yang diajarkan adalah etika dan safety,” kata Koko.

Di samping itu, ojek premium ini memiliki tampilan nyentrik dengan dominasi warna kuning. Begitu pula warna seragam pengemudinya. “Semua kami desain untuk menarik perhatian orang di jalan, sekaligus sebagai bentuk brand awareness NL itu sendiri—ingin tampil beda dan unik,” imbuhnya.

Rencananya, NL akan launching di Bali pada akhir Juli 2008. Bali merupakan tempat yang cocok karena merupakan pusat para turis. Ada tiga metode yang diterapkan NL: on call single trip, daily rental, dan paket touring. Untuk paket wisata sendiri terbagi menjadi tiga lagi yaitu paket kuliner, adventure, dan culture.

Sementara di Jakarta, metode yang akan dipakai adalah on call single trip. NL beroperasi di wilayah yang rawan macet, termasuk kawasan Segi Tiga Emas. Pengoperasiannya tidak bersifat mobile. Dengan kata lain, mereka akan meluncur jika mendapat order antar-jemput. Selanjutnya ojek tersebut standby di pick up point terdekat di beberapa pusat perbelanjaan, perkantoran, dan hotel.

Soal harga, Koko belum menentukan tarif yang akan diberlakukan nantinya. Masalah ini terkait langsung dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia yang belum stabil. Namun, ia memaparkan, standar tarif diatur menurut cakupan wilayah. Harga tetap sama selama masih berada dalam satu area—lain hal jika sudah lintas wilayah. “Yang jelas, tarif NL lebih mahal dari ojek umumnya dan setara dengan argo taksi. Jika taksi menawarkan kenyamanan, NL justru menawarkan ketepatan waktu,” ujarnya berpromosi.

Ditambahkan Koko, positioning mereka tidak sama dengan ojek maupun taksi. NL memiliki pangsa pasar tersendiri, yakni di antara segmen ojek dan taksi. “Jadi, kami membuat market sendiri. Bisa dibilang leader untuk kategori ojek premium khusus di Indonesia,” tegasnya.

Namun, lantaran berperan sebagai yang “pertama”, NL tentunya memiliki kendala dalam sosialisasi dan promosi ke masyarakat. Untuk itu, selain melakukan kerja sama dengan berbagai media, mereka juga gencar melakukan promosi below the line, seperti menyebarkan brosur di jalan-jalan.

“Atas pertimbangan jumlah armada yang tersedia, kami belum melakukan promosi besar-besaran. Ini untuk mengantisipasi lonjakan permintaan. Salah-salah, customer malah kecewa karena tidak terlayani,” ujarnya. Saat ini, mereka baru menyediakan 20 motor untuk Jakarta dan Bali.

Meski belum melakukan launching secara resmi, lanjut Koko, ojek premium ini sudah banyak yang booking. Pesanan datang dari sejumlah kantor di bilangan Kuningan, Gatot Subroto, Sudirman, dan Thamrin. Maklum saja, sebelum terjun ke ojek premium, pria ini juga menaungi beberapa bisnis lain, di antaranya layanan delivery, contact center, human resource, cash and safe, logistic, serta food taxi.

“Saya optimistis akan perkembangan bisnis NL ke depan. Meskipun saya belum tahu berapa market share yang didapat, NL pasti bisa menarik perhatian masyarakat dan mendapat sambutan hangat,” tutupnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Olga Lydia: Hati-hati Menjaga Brand Image


Siapa yang tak kenal dengan sosok artis dan presenter cantik bernama Olga Lydia? Selain menekuni dunia keartisan seperti presenter, pemain sinetron bahkan layar lebar, lulusan Teknik Sipil dari Universitas Parahyangan Bandung ini juga punya banyak pekerjaan sambilan. Salah satunya adalah bisnis franchise.

Olga saat ini mengelola tiga jenis usaha, yakni studio rekaman amatir dan les vokal Rumah Bintang; tempat biliar La Forca; dan resto Poke Shusi. “Ketika semua orang mengajak untuk bekerja sama, sebelumnya mereka sudah tahu keinginan saya ke arah mana. Jadi, persepsi yang dimaksud bisa sejalan,” kata kelahiran Jakarta, 4 Desember 1976 ini.

Perempuan yang melejit sebagai pembawa acara Republik Mimpi ini mengatakan, semua itu terbentuk karena brand image yang melekat pada dirinya. Olga mengaku tidak punya trik khusus dalam membangun brand-nya. “Saya melakukan semua pekerjaan berdasarkan interest saya sendiri. Saya tertarik dan perhatian terhadap lingkungan hidup dan masalah sosial. Untungnya, hal itu sesuai dengan image yang ada di masyarakat terhadap diri saya,” ucap pemain film 12 AM ini.

Namun, ditambahkan pemilik tinggi badan 171 sentimeter ini, brand image bisa membawa keberuntungan atau sebaliknya. Maklum saja, keterlibatannya di berbagai bisnis menuntutnya untuk berhati-hati dalam membawa diri. “Contohnya di Poke Shusi. Jika pelayanan di restoran tersebut tidak ramah, maka nama saya yang kebawa-bawa. Karena masyarakat mengenal saya sebagai public figure, jadi semua dikait-kaitkan, baik bagus dan jeleknya,” ujarnya mengakhiri obrolan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Heru Gunadi: Dua Lampu Sekali Datang

Jika bekerja sebagai pilot atau pramugari pada perusahaan transportasi udara, sudah pasti Anda bisa menjejakkan kaki ke sejumlah kota, baik lokal maupun mancanegara. Tapi, ternyata dengan bekerja di perusahaan lampu pun Heru Gunadi bisa merasakan hal yang sama.

“Ketika ada event peluncuran produk baru, sudah pasti saya ke luar kota untuk mempromosikan produk tersebut. Ini pengalaman yang mengasyikkan. Karena dari kunjungan itu saya jadi tahu bagaimana suasana daerah dan merasakan masakan khasnya,” ucap Marketing Communication Manager PT Philips Indonesia ini.

Ditambahkannya, secara otomatis dia bisa mengetahui karakter dan budaya di tiap-tiap daerah. Dari kebiasaan masyarakat setempat, ia bisa membuat rencana program launch dan event-event Philips agar hasilnya memuaskan, baik jalannya acara maupun pendongkrakan produk. “Tinggi-rendahnya minat masyarakat terhadap produk, ditentukan dari program tersebut. Jika acara berhasil dan ‘menyentuh’ masyarakat setempat, maka kemungkinan besar produk bisa diterima,” ujarnya.

Pria yang mengawali kariernya di perusahaan otomotif ini, mengaku sekarang bisa merasakan dinamisnya bidang pekerjaan yang digelutinya selama enam tahun. Segala tantangan pun dihadapi. “Intinya bagaimana membuat orang berkonsentrasi pada lampu. Minimal, seseorang membeli dua lampu sekali datang. Maksudnya satu untuk digunakan saat itu, dan satu lagi untuk cadangan,” terang pria kelahiran 15 April 1977 ini.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, Maret 31, 2009

Walau Telat, Peluang Masih Terbuka

Selasa, Maret 31, 2009 0


Setelah menghilang pada akhir 1990-an minuman isotonik, Gatorade belum lama ini muncul kembali. Apa strateginya agar tidak hilang untuk kedua kalinya?

Bagi penggemar minuman sport, nama Gatorade tentunya sudah tidak asing di telinga mereka. Maklum, produk sport drink keluaran Pepsi ini masuk dalam peringkat satu skala dunia dan dijual di lebih dari 80 negara.

Namun, banyak yang menanyakan mengapa Gatorade “Hadir kembali”—begitu slogan yang diusungnya—di Tanah Air setelah hengkang pada akhir 1990-an. Padahal, saat ini produk minuman isotonik sudah penuh sesak oleh berbagai merek. Sebut saja Pocari Sweat, Vitazone, Mizone, dan masih banyak lainnya.

“Tepatnya dua tahun lalu, Pepsi Cola membawa lagi Gatorade ke pasar Indonesia. Waktu itu, ada beberapa alasan Gatorade tidak dipasarkan, salah satunya adalah kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak stabil,” terang Amit Bose, Marketing Director PT Pepsi Cola Indobeverages.

Bose—begitu ia biasa disapa—percaya kehadiran Gatorade di Indonesia bisa diterima dengan baik. Apalagi, lanjutnya, Indonesia sendiri masuk ke dalam kategori pasar minuman isotonik terbesar di Asia. Oleh karena itu, meskipun kedatangannya tergolong telat dibandingkan kompetitor, ia tetap optimistis. “Gatorade tetap punya potensi penjualan yang tinggi. Itulah sebabnya, Pepsi Cola me-relaunch Gatorade di sini,” imbuhnya.

Sekadar mengingatkan, minuman isotonik Gatorade ini pertama kali ditemukan oleh Dr Robert Cade dan rekan-rekannya. Ide menciptakan minuman isotonik bermula saat dirinya mengamati tim sepak bola di kampusnya. Cade menemukan fakta bahwa setelah bertanding selama tiga jam, setiap pemain rata-rata kehilangan 8 kg kandungan air atau sekitar 90-95% di bagian tubuhnya.

Gatorade muncul pada tahun 1965 di Florida. Produk ini merupakan minuman yang diformulasikan secara ilmiah, yang dapat menghilangkan dahaga serta mengembalikan cairan tubuh dengan campuran unik bersumber dari karbohidrat dan elektrolit. Gatorade diklia sebagai market leader di kategori minuman sport, khususnya minuman isotonik.
Meski berjaya di luar negeri, upaya memasarkan Gatorade di sini tidaklah mudah. Pasalnya, tak banyak masyarakat yang mengingat Gatorade secara utuh. Di benak mereka mungkin masih ada yang ingat bentuk iklannya tapi lupa nama mereknya, atau sebaliknya. Untuk itu, terang Bose, Gatorade mengubah bentuk iklan dan kemasannya.

Ada dua cara yang digunakan Gatorade dalam strategi komunikasinya. Pertama, menginformasikan serta mendidik masyarakat tentang keunggulan Gatorade, baik dari sisi manfaat maupun teknik pembuatannya yang berdasarkan teknologi laboratorium. Kedua, memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat bahwa Gatorade sudah hadir kembali dan tersedia di Indonesia.

Ini dilakukan dalam berbagai bentuk promosi, baik lewat media massa dan aktivitas tertentu, misalnya berpartisipasi dan menjadi sponsor dalam event yang berkaitan dengan olahraga seperti sepak bola dan basket. “Selain itu, kami menjalin kerja sama dengan beberapa fitness center,” paparnya.

Tidak mau tanggung-tanggung, Gatorade juga memperkuat image-nya sebagai minuman isotonik para juara dengan menggandeng Suryo Agung Wibowo—peraih medali emas cabang lari 100 meter di SEA Games 2007—sebagai duta atlet Gatorade Indonesia. Di tingkat dunia, duta Gatorade merupakan atlet-atlet terbaik di cabangnya. Umpamanya Maria Sharapova, atlet asal Rusia dari cabang tenis; Ronaldinho (Brasil) dan Frank Lampard (Inggris) dari cabang sepak bola; serta Tiger Woods, atlet berpenghasilan tertinggi di dunia dari cabang golf. “Kami fokus pada minuman sport, itulah kekhasan kami dibanding minuman isotonik lainnya,” kata pria asal India ini.

Dipaparkan Bose, sebenarnya pasar yang dibidik Gatorade tak sebatas kalangan atlet saja. Sebab, target market Gatorade secara umum adalah konsumen berusia 17-32 tahun. Biasanya, produk ini lebih banyak dikonsumsi oleh laki-laki daripada perempuan. Selain itu, Gatorade juga dikhususkan bagi konsumen yang memedulikan kesehatan serta memiliki aktivitas yang tinggi.

Lantas, bagaimana dengan rasa yang ditawarkan? Ada tiga varian rasa berbeda yang diperkenalkan ke publik, yaitu: orange grapefruit, lemon lime dan blue raspberry. “Kami pastikan di semua negara sama. Untuk warna tampilan Gatorade di Indonesia, kami pilihkan sesuai dengan penyebaran Gatorade di dunia. Di mana warna-warna tersebut telah ada sebelumnya,” ucapnya. Begitu pula untuk masalah harga, Gatorade mengikuti harga pasar yang beredar di masing-masing negara. Gatorade kemasan kaleng dijual seharga Rp 3.400, sedangkan kemasan dibanderol Rp 4.800.

Sejak peluncuran ulangnya Mei lalu, pemasaran Gatorade sudah merambah Jakarta. Produk ini bisa ditemukan di swalayan-swalayan dan secepatnya akan melakukan penyebaran distribusi secara nasional. Namun, saat disinggung tentang market share, Bose enggan menyebutkannya. “Kami baru memulai. Saya pikir masih terlalu dini untuk memetakan market share kami,” tegasnya.

Diakuinya, memunculkan merek yang pernah ada sebelumnya jauh lebih sulit dibandingkan membuat satu merek baru. Kesulitan itu berasal ketika memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa Gatorade adalah yang terbaik. Untungnya, permintaan konsumen terhadap Gatorade masih tinggi. “Pada saat menghilang dulu, dari data riset mengemukakan bahwa konsumen tetap mengenang hal-hal positif dari Gatorade. Bahkan, hal terkecil pun mereka masih ingat. Seandainya tidak ada citra positif di mata konsumen, mungkin kami mencanangkan slogan ‘Kami kembali’,” papar Bose.

Untuk mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang, dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Bose mengatakan, antisipasi yang dilakukan adalah dengan menginvestasikan dana yang cukup besar di pasar Indonesia. “Adanya dukungan financial, promosi, brand, dan potensi pasar yang bergerak positif merupakan kombinasi strategis terbaik guna mempertahankan merek Gatorade,“ tandasnya.

Sementara itu, pengamat pemasaran Bambang Bhakti mengatakan bahwa peluang Gatorade saat ini masih terbuka, meskipun sudah didahului pemain sejenis. Ia menilai, alasan dasar Gatorade menghilang dulu lebih disebabkan krisis ekonomi semata. “Tapi, sekarang Gatorade bisa diuntungkan dengan kondisi pasar dewasa ini. Pasar minuman isotonik sudah banyak dididik sehingga memudahkan Gatorade dalam mengedukasi minuman isotonik,” ujarnya.

Hanya saja, tambah Bambang, Gatorade harus menguatkan positioning-nya agar bisa bersaing dengan kompetitor. “Apakah image ‘orang berkeringat’ hanya atlet saja? Bagaimana dengan pekerja yang letih? Pasti juga berkeringat. Ini harus dijelaskan Gatorade,” lanjutnya. Menurut Bambang, ada tiga strategi yang harus dilakukan Gatorade untuk menguasai pasar, yakni: sistem distribusi, tampilan kemasan di outlet, dan harga.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Wiradi: Marketer Dituntut untuk Punya “Ide Gila”

Setelah “berpetualang” di bidang operasional, ia dipercaya oleh manajemen untuk menangani divisi marketing. Apakah obsesinya dalam berkarier sebanding dengan kompensasinya?

Sudah lama Electronic City menjadi tempat bernaung bagi Wiradi. Hampir tujuh tahun General Manager Marketing Division Head PT Electronic City Indonesia ini bergabung di perusahaan tersebut. Awalnya, ia memulai karier sebagai purchasing barang elektronik, dengan level supervisor.

Kemudian, Wiradi dipercaya untuk menangani operasional toko Electronic City, mulai dari supervisor lapangan, kepala cabang di Jakarta dan luar Jakarta, sampai ke tingkatan kepala cabang untuk beberapa toko Electronic City. “Level kepegawaian saya adalah General Manager, sedangkan level struktural adalah Marketing Divison Head. Ini tahun ketiga saya di posisi tersebut,” katanya.

Ditambahkannya, berada di sekian banyak divisi yang ada di Electronic City, ia bertanggung jawab di divisi marketing. Di divisi itu, ia lebih banyak menangani masalah konsep dan ide-ide untuk pengembangan. “Saya sangat bersyukur, sebelum di posisi ini, saya sudah pernah menangani masalah operasional. Jadi, bisa membantu saya dalam melakukan pertimbangan saat membuat sebuah rancangan atau ide baru yang akan diimplementasikan.”

Wira—begitu ia biasa disapa—sekarang ini boleh berbangga diri. Kerja kerasnya yang dimulai dari titik nol akhirnya membuahkan hasil. Selain sukses di bidangnya, ia pun mahir me-manage karyawannya. “Saat ini saya membawahi 40 orang karyawan, level mereka dimulai dari helper sampai manager,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Electronic City merupakan ritel yang menjual alat-alat elektronik dari berbagai merek mulai dari televisi, mesin cuci, komputer, kulkas, hingga kamera digital. Berdiri sejak 11 November 2001, perusahaan ritel ini sudah mempunyai 10 store di antaranya di SCBD, Kelapa Gading, Puri Kembangan, Karawaci, Bandung, Bali, Depok, Bogor, Medan, dan Bekasi.

Konsep Electronic City adalah mengembangkan toko elektronik modern dengan gaya pameran yang memberikan pelayanan terbaik, didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dan mitra usaha yang berkualitas untuk kepuasan customer.

“Dunia yang saya geluti sangat menarik dan dinamis. Electronic City menggabungkan konsep brand dan retail. Di mana segala sesuatu berjalan dengan ‘cepat’ sehingga setiap hari ada sesuatu hal baru dan menantang,” tambahnya. Lebih lanjut, Wira memaparkan, posisi marketer di industri ritel seperti yang diterapkan Electronic City masih terbilang langka. Karena biasanya, marketer atau brand specialist bertugas untuk melakukan branding terhadap sebuah produk— bukan sebuah toko atau ritel.

Sebagai pimpinan di divisi tersebut, Wira pun harus melaporkan segala sesuatu yang bekaitan dengan kinerjanya selama ini. “Saya langsung melapor pada Bapak Roy Santoso selaku BOD di Electronic City,” tegasnya. Untungnya, dalam menjalankan tugas, ia diberi kesempatan dan kepercayaan melakukan program-program yang ditujukan untuk pelayanan kepada customer.

Apalagi, Electronic City mengemban visi untuk menjadi perusahaan terkemuka dalam bisnis ritel elektronik dengan jaringan terluas dan termodern yang didukung pelayanan yang baik dan fasilitas yang lengkap. “Ini tertuang dalam slogan baru kami, yakni ‘Smart Way of Modern Shopping’ dengan sistem pelayanan one stop shopping yang mandiri,” imbuh alumnus Bina Nusantara jurusan akuntansi angkatan 1995 ini.

Tanpa Batas
Dalam tujuh tahun kariernya, sudah pastilah ada tinta emas yang telah ditorehkan Wira untuk perusahaannya. Namun, rupanya ia enggan menonjolkan diri sendiri. “Bila membicarakan prestasi saya pribadi rasanya kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, prestasi apa pun yang diukir Electronic City adalah sebuah prestasi dari keberhasilan tim. Karena sebagus apa pun ide dan program, tak akan berhasil jika tidak didukung dan dijalankan oleh tim di jajaran Electronic City, baik di garis depan maupun back office,” ucapnya dengan rendah hati.

Ia lantas menyebutkan beberapa prestasi yang pernah dilakukan timnya dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya pembaharuan konsep toko, template iklan, tagline baru, call center, website, dan program sales yang terus-menerus sepanjang tahun dengan semua partner bank dan brand. Tapi, tegasnya, prestasi tersebut bukanlah akhir, melainkan sebuah “proses” yang akan terus dievaluasi dan disempurnakan. “Karena dinamika di industri ritel dan marketing sendiri adalah ‘even the sky is not the limit’,” ujar pria kelahiran Juli 1977 ini.

Sifat tanpa batas pun berlaku bagi kompensasi yang didapatnya. Meski enggan menyebutkan nilai nominalnya karena berbagai faktor, Wira masih mau menjelaskan hitungan kasarnya. Perhitungan itu dilakukan secara rutin plus Tunjangan Hari Raya (THR). Untuk bonus, ada dua perhitungan: target kolektif dan individu. “Kolektif dilihat dari pencapaian target toko, gross profit, dan budget. Sedangkan reward individu, dilihat dari target program divisi masing-masing seperti program membership dan sales program,” ungkapnya.

Sementara itu, sama halnya marketer lain, Wira pun harus mengagendakan meeting dengan berbagai pihak, baik di kantor maupun luar kantor. Waktunya biasanya ia jadwalkan sore atau malam hari. Selebihnya, ia melakukan pekerjaan di belakang meja seperti menuangkan ide, merapikan proposal dan paper work.

“Di pagi hari saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Dengan adanya meeting, bisa sedikit demi sedikit mencair karena berinteraksi dengan mitra meeting,” tambah pria yang berdomisili di Tangerang ini.

Ada satu hal yang menjadi “wajib” baginya tiap hari, yakni membuka dan membaca koran. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat berangkat atau pulang kantor. Tetapi, uniknya, bukan barisan tulisan berita maupun artikel yang dibacanya. Ya, ia lebih gemar membaca jajaran iklan yang terpampang di surat kabar itu. Diakuinya, tak jarang mendapat ide-ide baru dari iklan tersebut, meskipun melihatnya secara sepintas saja.

“Karena tantangan di dunia marketing, ke depannya akan banyak dibutuhkan ‘smart marketer to do smart marketing’. Seorang marketer dituntut untuk mempunyai “ide gila”, inovatif, dan kreatif. Di mana ini dilakukan tanpa adanya batasan kreativitas. Namun, marketer pun harus bisa mengukur efektivitas dari ide-ide tersebut. Singkatnya, seorang marketer juga harus bisa berhitung,” tandasnya mengakhiri wawancara.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Apoteknya Terus Menggurita

Apotek K-24 sukses mewaralabakan retail khusus obat-obatan. Jumlah gerainya kini lebih dari 75 buah. Apa resepnya?

Di antara pembaca pasti ada yang pernah kesulitan membeli obat saat larut malam, terlebih ketika hari libur. Pasalnya, apotek-apotek di sekeliling sudah tutup. Padahal, kebutuhan konsumen akan layanan apotek tidak kenal waktu. Kapan saja orang bisa sakit dan butuh obat.

Pengalaman pribadi seperti inilah yang mengilhami Gideon Hartono mendirikan Apotek K-24. “Karena itu, saya terdorong untuk membuka usaha apotek yang buka 24 jam nonstop,” kata Direktur Utama PT K-24 Indonesia ini.Berdiri sejak 24 Oktober 2002, apotek ini merupakan apotek jaringan pertama yang buka nonstop setiap hari. Nama Apotek K-24 sendiri memiliki dua makna: “K” berarti komplet, dan “24” berarti 24 jam. Artinya, selain komplet obatnya dan apotek ini dapat diakses selama 24 jam.

Meskipun juga beroperasi malam hari, terang Gideon, harga yang ditawarkan merupakan “harga normal”. Tidak ada perbedaan harga antara pagi, siang, malam, bahkan hari libur. Ini merupakan bentuk penjabaran visi dari Apotek K-24 yang ingin memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan obat.

Selain menjual obat resep atau racikan, Apotek K-24 juga menyediakan obat tanpa resep dokter. Kelengkapan tersebut ditambah dengan obat pendukung seperti multivitamin, food supplement, alat kesehatan, bahkan produk non-obat seperti susu dan bubur bayi. Setiap gerai Apotek K-24 menyediakan obat sebanyak 6.000 item. Sedangkan apotek lain, menurutnya, biasanya cuma menyediakan sekitar 2.000-3.000 item obat.

“Ketika membeli obat di sini pun tak perlu merasa takut karena sudah ada jaminan keasliannya. Maklum saja, sekarang ini banyak obat palsu yang beredar di masyarakat, jadi harus hati-hati membeli,” imbuh Gideon. Ia mengaku hanya ingin membeli obat dari distributor resmi atau obat yang ada fakturnya.

Sebenarnya, banyak yang menawarkan obat ilegal dengan harga sangat murah, tapi ia tidak mau karena asal usulnya tidak jelas. Gideon pun menyatakan cuma mengambil margin 17-25% dari obat yang dijualnya, meski dari pihak distributor ada peluang mendapatkan laba 20-40%.

Menariknya, dari segi pelayanan juga tergolong bagus. Apotek K-24 tersohor dengan kualitas service yang prima. Selain menerapkan budaya kerja dalam melayani konsumen, mereka juga punya ruang khusus yang dinamakan pojok konsultasi. Konsumen pun diberi kemudahan dengan adanya layanan delivery order. Bagi konsumen yang membutuhkan obat namun tidak bisa datang, layanan ini dapat dimanfaatkan.

Apotek yang logonya didominasi warna hijau, merah dan kuning ini buka pertama kali di daerah Yogyakarta. Lantaran sambutan masyarakat setempat sangat bagus, Gideon lantas memutuskan untuk membuka gerai berikutnya. Tepat pada 23 Maret 2003, gerai kedua resmi dibuka di daerah Gejayan. Disusul gerai selanjutnya di Gondomanan dan kota Semarang.

Saat ini, Apotek K-24 telah menggurita hingga berjumlah lebih dari 75 gerai. Lokasinya tersebar di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, Cilacap, Kudus, Pati, Ungaran, Kediri, dan Bondowoso. Bahkan di luar Pulau Jawa juga ada, yakni di Medan, Palembang, Kupang, dan Bali. “Di antara semua gerai tersebut, tujuh di antaranya adalah company own dan sisanya milik franchisee,” ujar Gideon antusias.

Rupanya, melihat peluang bisnis yang terbuka lebar, sejak 2005 Gideon mulai menawarkan sistem waralaba. Dipaparkannya, sistem jaringan waralaba ini membuka kesempatan bagi orang yang ingin memiliki usaha apotek, meskipun tidak punya background atau pengalaman di bidang farmasi. Pasalnya, para franchisee yang merupakan active investor tersebut akan mendapat pelajaran sebagai “pengusaha apotek” (ada transfer of knowledge).

Dengan membayar Rp 60 juta untuk masa waralaba 6 tahun, lanjut Gideon, para franchisee akan memperoleh sederet benefit. Antara lain cara meminimalkan risiko kegagalan; penggunaan brand Apotek K-24; berbagai support seperti perekrutan apoteker dan asisten apoteker, pelatihan awal, pendampingan praoperasional hingga soft opening, termasuk pula stok obat awal dan sistem IT, penggunaan franchise operational manual dan dukungan promosi bersama.

“Investasi akan balik modal (break event point) kurang dari tahun ketiga, apabila target omzet terpenuhi,” klaim Gideon yang mengaku mendapat omzet 250-300 juta per gerai. Ditegaskannya, apotek adalah usaha jangka panjang yang sudah ada sejak dulu. Artinya, bukan bisnis musiman yang kadang terpengaruh tren tertentu. Baginya, apotek selalu menjadi tempat pemenuhan “kebutuhan primer”—setelah pangan. Terbukti, usaha miliknya bisa bertahan, meski terjadi krisis ekonomi.

Pastinya, upaya mendekatkan diri dengan konsumen juga tidak dilupakan. Gideon memaparkan, kegiatan promosi yang dilakukan sering kali berkaitan erat dengan acara bakti sosial kemasyarakatan. “Kami sudah menerapkan program Corporate Social Responsibility sebagai bagian dari budaya perusahaan, sekaligus upaya promosi dan marketing brand Apotek K-24 dalam skala nasional,” ujarnya.

Berbagai kegiatan lain pun dilakukan. Tahun 2006, mereka memberikan bantuan peduli gempa Yogyakarta, lalu pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi korban banjir di Jakarta tahun 2007. Kegiatan semacam ini menjadi agenda rutin dalam setiap pembukaan Apotek K-24. Begitu pula dengan perayaan hari besar, apotek ini turut aktif mengadakan event seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri.

“Untuk materi promosi, biasanya kami menggunakan brosur, spanduk, banner, gimmick, dan beberapa aksesoris lainnya. Promosi Apotek K-24 juga bisa dilakukan dengan cara menginformasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik,” tambahnya.
Peraih penghargaan MURI kategori “Apotek Jaringan Pertama yang Buka 24 Jam Nonstop Setiap Hari” dan “Apotek Asli Indonesia yang Pertama Diwaralabakan” ini, rencananya akan terus membuka gerai baru. Wilayah selanjutnya adalah Aceh, Batam, Lampung, Jambi, Balikpapan, Palangkaraya, Makassar, Atambua, dan Maumere—Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pihak manajemen perusahaan menetapkan, tahun 2010 mereka bisa mencapai target 500 gerai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Target ini akan tercapai dengan mengajak para mitra usaha untuk ikut bergabung menjadi Keluarga Besar Apotek K-24. Percepatan pertumbuhan sangat memungkinkan karena K-24 memiliki panduan pendirian dan pengoperasian gerai,” ujarnya mengakhiri perbincangan.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, Maret 20, 2009

Maudy Koesnaedi: Plus-Minus Jadi Bintang Iklan

Jumat, Maret 20, 2009 0


Sejak awal kemunculannya di dunia entertain saat membintangi sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebagai Zaenab, satu ciri khas Maudy Koesnadi adalah rambut hitam panjang terurai. Sampai sekarang pun ia tetap begitu. Hanya saja sedikit beda. Kalau dulu lurus hitam, kini pakai poni dan diwarnai.

“Saya sempat berpikir untuk memangkas rambut lebih pendek lagi agar terkesan praktis,” kata pemilik nama lengkap Maudy Kusnaria Koesnaedi ini. Namun, keinginan tersebut harus ia pendam sementara waktu. Alasannya sederhana, demi image Kerastase—sebuah merek perawatan rambut dari Paris yang diendorsenya.

Ketika ditemui di Atrium Mal Taman Anggrek dalam acara talkshow produk nutrisi bayi, istri Erik Meijer ini tengah menikmati tugasnya sebagai moderator. “Pastinya, pekerjaan moderator lebih enak dibandingkan iklan. Selain pundi yang didapat lebih besar, bisa juga menambah pengetahuan, wawasan, dan berbagi pengalaman,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 8 April 1975 ini.

Minat Maudy langsung terpancar jika acara yang ditawarkan kepadanya menyangkut dunia anak-anak. Ibu dari Eddy Malik Meijer ini tampak sangat peduli akan tumbuh kembang anak semata wayangnya. “Bahkan, ketika ada tawaran dari salah satu produk untuk ibu menyusui, saya ajak Eddy untuk jadi bintangnya,” papar None Jakarta tahun 1993 ini.

Di sisi lain, bintang iklan kecap Sedaap ini pun menambahkan, kelebihan yang didapat dari iklan adalah kelancaran pasokan produk yang dibintanginya. Selama masih terikat kontrak, ia tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut. Namun, ketika disinggung kecap merek apa yang dipakai sebelumnya, Maudy enggan menyebutkan. “Pastinya, saya menggunakan produk yang saya iklankan karena mendapat kiriman dari produsennya langsung,” tandasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Cara Lain Menjual “Kenangan”

Konsep Hall of Fame yang diadopsi 3D Baby Prints ternyata mampu mendulang untung. Bagaimana upaya sang pemilik merintis bisnis ini?

Rasanya, sudah banyak pengusaha yang bergelut di bisnis pernak-pernik bayi. Ada yang dibuat secara massal, ada pula yang handmade. Namun, sesaknya pemain di segmen bayi ini tidak menyurutkan niat Henny Tan untuk ikut mencicipi renyahnya bisnis tersebut.

Di bawah bendera PT Tatacipta Mega Pelangi, Henny menjalankan bisnis berlabel 3D Baby Prints. Perusahaan yang berdiri tahun 2006 lalu ini mengkhususkan diri pada pembuatan replika kaki, tangan, maupun anggota tubuh lainnya—sesuai permintaan pelanggan.

“Terinspirasi dari para orangtua yang ingin mengenang masa indah saat bayi mereka lahir, betapa mungil tangan dan kaki mereka, maka saya membuat produk replika ini,” katanya. Bayi memang tumbuh terlalu cepat. Oleh karena itu, Henny menawarkan produk yang membuat momen indah itu dapat dikenang seumur hidup.

Sebenarnya, produk replika semacam ini sudah marak di luar negeri, salah satunya Amerika Serikat (AS). Di Indonesia sendiri, pemainnya tergolong langka. Hampir dipastikan jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena tidak terdengar sepak terjangnya. “Tahun 1996, ada beberapa pemain, tetapi pasarnya tidak meluas. Hanya terfokus di Jakarta saja,” ungkapnya.

Henny pun memutuskan untuk melebarkan sayap bisnisnya hingga ke luar kota. Sayang, keinginannya tak semudah membalikkan telapak tangan. “Untuk membuat satu pesanan replika, saya harus datang ke customer guna proses pencetakan bentuk. Apalagi, pembuatannya sangat tergantung pada mood sang bayi agar hasilnya sesuai keinginan,” tambahnya.

Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan berapa budget yang harus dikeluarkannya untuk menyambangi pelanggan di daerah. Maka, satu strategi jitu ditempuhnya, yakni membuat konsep waralaba. Tepat tahun 2008, waralaba miliknya resmi diluncurkan. Dijelaskannya, sistem ini sangat membantunya menggulirkan roda bisnis, yang semula cuma dijalankan oleh tiga orang.

Kini gerai 3D Baby Prints sudah bisa ditemui di Solo, Surabaya, Malang, Semarang, Manado, Riau, Medan, Bali, Makassar, dan Balikpapan. Namun, satu daerah tidak boleh dipegang lebih dari satu franchisee. Tujuannya agar tidak terjadi bentrokan. Tempat usaha yang digunakan bisa berbentuk rumah, toko ataupun outlet di dalam mal. “Jadi, tidak ada kendala dalam pemilihan lokasi penjualan. Yang terpenting adalah sistem jaringan penjualan,” tegasnya.

Untuk menjadi franchisee, harga yang ditetapkan terdiri dari tiga pilihan: Rp 38 juta, Rp 58 juta, dan 138 juta untuk masa 5 tahun. Selain mendapat suplai bahan dasar pembuatan replika, juga diberikan training cara pembuatan replika selama 3 hari, selanjutnya diinformasikan lewat e-mail.

Produk-produk 3D Baby Prints terbagi dalam beberapa kategori. Harga yang dipatok berbeda untuk skala usia yang dimulai dari nol hingga 8 tahun. Sebagai informasi, pemesanan 1 pieces tangan bayi berusia nol sampai 3 bulan seharga Rp 149 ribu; 4-12 bulan Rp 199 ribu; 13-24 bulan Rp 249 ribu; 25-36 bulan Rp 299 ribu; 3-5 tahun Rp 399 ribu; dan usia 6-8 tahun seharga Rp 399 ribu. Harga tersebut belum termasuk frame, panel kayu maupun plakat nama. Selain itu, masih dibagi lagi menurut jumlah pieces yang dipesan yakni 1 pieces tangan/kaki, 2 pieces tangan/kaki, serta 4 pieces berupa 2 tangan dan 2 kaki.

“Memang harga yang ditawarkan terkesan mahal. Tetapi, saya menilai produk ini adalah karya seni dan dibuat secara handmade. Jadi, wajar saja harganya seperti itu. Di samping itu, pengukuran harga juga dipengaruhi oleh human resource,” ujarnya.

Yang jelas, produk ini didesain khusus untuk setiap pelanggan. Hasil satu desain berbeda dengan desain lainnya. Jadi, sifatnya eksklusif. Menurutnya, bahan yang digunakan pun berkualitas tinggi. Bahan tersebut tidak berbahaya bagi bayi karena terbuat dari rumput laut yang berasal dari AS. Kelebihan lainnya, obyek replika bisa diraba secara utuh lantaran diabadikan dalam bentuk tiga dimensi.

Ditegaskan Henny, target market-nya tak sebatas kalangan menengah ke atas saja, masyarakat menengah ke bawah juga banyak yang memesan. Apalagi replika yang dibuatnya bukanlah barang yang mengikuti tren pasar. Siapa saja bisa menikmati produk ini selama orang tersebut menyukai karya seni—apa pun bentuknya.

Oleh karena itu, ia tak sungkan-sungkan menawarkan kerja sama dengan beberapa rumah sakit dan toko yang khusus menjual pernak-pernik bayi. Sejauh ini, sudah ada 4 rumah sakit yang menjadi mitranya, 2 di Solo dan 2 lagi di Medan. Di luar itu, ada beberapa data mitra lainnya yang belum masuk ke laporannya karena jumlahnya kian menumpuk.

Untuk promosi, 3D Baby Prints menggunakan jalur above the line dan below the line. Hal pertama yang dilakukan Henny adalah mengikuti pameran-pameran di beberapa mal untuk menarik calon pembeli. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara kontinu sebulan sekali. Satu pameran mampu membukukan hingga 100 order. Ia pun mengandalkan word of mouth dalam strategi marketingnya.

“Sekarang saya juga mulai memasang iklan di beberapa media massa untuk menjaring pasar yang lebih luas lagi. Materi iklan ini tak hanya difokuskan pada produk bayi saja, tapi juga dewasa seperti replika wedding. Istilahnya, menggarap pasar family,” ujarnya.

Diceritakannya, selama menggeluti bisnis replika, ia hampir tak pernah mengalami kendala. Selain minimnya jumlah kompetitor, omzet yang didapat pun cukup menggiurkan. Jika mampu menjual 30 pieces sebulan, maka rata-rata laba yang bisa diraup mencapai Rp 5-6 juta per bulan. Hanya saja, kesulitan terletak pada bahan yang mudah pecah sehingga harus berhati-hati saat melakukan finishing.

Lantas, bagaimana prospek bisnis replika ini ke depannya? “Bisnis ini akan terus berjalan selama masih ada bayi yang lahir. Juga selama masih ada orang yang menyukai karya seni atau ingin mengabadikan momen,” pungkasnya optimistis.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Kuasai Pasar dengan 7 Langkah

Bagi Asaba, menggarap pasar B2B tidaklah mudah. Butuh strategi jitu memenangkan pasar. Tujuh langkah pun diterapkan. Seperti apa?

Persaingan di bisnis perlengkapan kantor tidak bisa dikatakan sepele. Kendati jumlah pemainnya tidak terlalu banyak, tapi persaingan di antara para pemain tergolong ketat. Begitulah situasi yang dihadapi Asaba saat ini. “Beruntung kami merupakan perusahaan utama di bidang ini, jadi tak perlu khawatir,” kata Irene Sugiarto, Product Manager PT Asaba.

Sekadar informasi, Asaba Group terbentuk pada 11 Mei 1974, namun mereka sudah mendistribusikan alat-alat kebutuhan kantor sejak tahun 1962. Perusahaan ini sekarang telah menjema menjadi perusahaan yang memiliki reputasi terbaik di bidangnya dengan menonjolkan keunggulan berbisnisnya, yaitu di alat-alat kantor.

Asaba Group terdiri dari lima divisi, yaitu: office equipment and stationery, information technology, manufacturing, distribution, dan food industry. Yang mereka pasarkan cukup beraneka ragam, utamanya alat-alat kantor seperti pensil Staedler, pulpen Zebra, staples Max. Termasuk pula menyediakan mesin fotokopi, layanan jasa komputer, serta ritel.

Sementara itu, PT Asaba—anggota Asaba Group—terus bertumbuh seiring waktu. Dari semula hanya menyediakan alat-alat perkantoran, kini mereka menjadi pemain yang berpengaruh di bisnis kebutuhan kantor, manajemen data, sistem keamanan, sistem survei, dan sebagainya.

Di divisi peralatan kantor, jelas butuh teknik tersendiri dalam memasarkan produk. Maklum, karakteristik produk dan target pasarnya berbeda dari produk massal lainnya. Dari segi target market, misalnya, Asaba menggarap segmen korporat atau pasar Business-to-Business (B2B). Untuk itu, mereka membangun jaringan pemasaran yang efisien di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Balikpapan.

“Biasanya, segmen yang menjadi fokus pemasaran kami adalah kalangan menengah ke atas. Jadi, untuk bisa masuk, harus melalui orang dalam yang mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut, misalnya langsung ke jajaran direktur. Oleh karena itu, agar berhasil, dibutuhkan pendekatan pemasaran yang khusus guna meyakinkan mereka akan kualitas produk yang ditawarkan,” ungkap Irene. Merek produk yang dipasarkan di sini antara lain Ibico, Dahle, Kobra, Uchida, KW Trio, dan Deli.

Dalam menggarap B2B, lanjut Irene, Asaba menerapkan tujuh langkah, antara lain melakukan branding the people, brand architecture, audience identification, brand positioning, brand personality, dan konsisten. Dipaparkan Irene, faktor-faktor ini penting jika dilihat dari perbedaan pasar B2B dengan B2C, di mana para karyawan harus bisa mempresentasikan brand promise-nya. Kemudian, dari situlah brand Asaba bisa digaungkan.

PT Asaba pun gencar melakukan komunikasi terhadap para karyawannya. Di benak karyawan, harus tertanam pemahaman bahwa produk Asaba merupakan produk yang unik. Jika dalam diri karyawan sudah ada pemahaman itu, maka secara tidak langsung mereka akan “menularkannya” pada pelanggan yang ditemui. “Ini pun didukung dengan langkah brand personality, di mana kepribadian karyawan bisa mempengaruhi citra produk dan perusahaan,” ujarnya.

Dilanjutkan Irene, langkah lainnya adalah melakukan identifikasi terhadap pelanggan. Hasil identifikasi berhubungan langsung dengan positioning yang dimiliki Asaba. Tentunya, ini harus diimbangi dengan konsistensi awal saat memulai kerja sama dengan pihak lain. “Jangan sampai, pelayanan yang kita janjikan pertama kali tidak dilakukan pada proses berikutnya. Ini bisa membuat customer menjadi kecewa, terutama dari segi kualitas produk,” tegasnya.

Ia pun tak memungkiri, sejumlah perusahaan yang menggarap pasar B2B, sering kali mengabaikan arsitektur merek (brand architecture). Apalagi, perusahaan ini mengeluarkan bermacam-macam merek sehingga perlu ada sinergi antara merek satu dengan yang lain. Baginya, arsitektur merek sangat penting guna menjaga citra perusahaan secara global.

“Oleh karena itu, sebelum fokus terjun ke segmen B2B, perlu dilakukan pemisahan kategori untuk segmen yang akan dituju dengan membuat cluster-nya. Ini bisa dilakukan dari database yang ada, sehingga tahu target customer-nya. Setiap waktu, Asaba selalu memperbaharui database pelanggan, mana yang potensial dan tidak,” jelasnya.

Guna melebarkan sayap, imbuh Irene, Asaba mulai merambah ke mesin cetak digital dengan memanfaatkan jaringan yang ada dan para pelanggan. Dari data yang diperoleh, tingkat penjualan di segmen B2B saja bisa mencapai 60%. “Perbedaan kualitas produk Asaba jauh lebih baik dibandingkan kompetitor. Untuk disebut kompetitor pun (mereka) tidak bisa, karena beda level,” klaim Irene.

Ini pulalah yang membuat Asaba tertarik untuk bermain di segmen B2B. Salah satu alasan Asaba lebih fokus di pasar B2B karena adanya perbedaan pemikiran antarsegmen—khususnya dengan segmen eceran. “Segmen eceran masih menggunakan pemikiran tradisional. Lagi pula, untuk ke depannya pasar B2B jauh lebih bagus,” tambahnya.

Diceritakan Irene, lazimnya untuk mencapai kesepakatan bisnis antara kedua belah pihak, pihaknya harus melewati beberapa tahapan proses seperti pengajuan proposal, presentasi, dan transaksi. Namun, setiap pelanggan memiliki karakter yang berbeda-beda dalam memilih dan membeli produk kebutuhan kantornya. Ada yang menginginkan kualitas, ada juga yang mengedepankan harga murah. “Pintar-pintar sales force-nya saja mengambil hati customer. Maka, kami pun membekali mereka dengan product knowledge. Termasuk strategi dalam memberikan diskon dan jaminan,” ujarnya.

Asaba sendiri pun terbilang royal dalam memperlakukan pelanggannya. Momen-momen istimewa seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri selalu mereka manfaatkan untuk mempererat hubungan kerja sama. Belum lagi pemberian spesial gift bagi customer yang membeli produk dalam jumlah banyak disertai service.

Dengan segala upaya di atas, tidak mengherankan jika pertumbuhan bisnis Asaba dari tahun ke tahun terus meningkat. Setiap hari selalu saja ada transaksi penjualan yang menggelembungkan omzet perusahaan.

Irene menuturkan, kiatnya dimulai dari pengembangan sumber daya manusianya lebih dulu, baru kemudian bisa mengetahui karakteristik dan permintaan customer terhadap produk Asaba. “Dan satu hal yang penting, selalu adakan evaluasi berkala untuk mengontrol kinerja yang telah dilakukan,” tandasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Dyonisius Beti: Know Your Customer

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan merupakan kunci utama Yamaha dalam men-deliver pelayanan yang berkualitas.

Dyonisius Beti, masih ingat akan pengalamannya dulu ketika berkunjung ke salah satu jaringan resmi Yamaha. Saat itu, sewaktu melayani calon pelanggan, ia banyak terdapat masukan yang amat berharga dalam menentukan program dan strategi perusahaan.

Semula perusahaan beranggapan, diskon harga yang besar akan sangat menarik bagi pelanggan. Ternyata penjelasan informasi mengenai keunggulan produk dan benefit produk adalah hal tepat dan dirasakan sangat berguna bagi calon pelanggan.

Sesuatu yang menurut kita tepat, belum tentu tepat di mata pelanggan. Oleh karena itu, kuncinya adalah know your customer dan selalu mendengarkan apa yang pelanggan katakan.

“Seperti orang berpacaran, bila kita dapat mengetahui isi hatinya maka kita dapat melakukan pelayanan yang dapat merebut hatinya dan kesetiaannya,” ujar Vice President Director PT Yamaha Motor Kencana Indonesia ini.

Customer and Community Satisfaction
Pelanggan adalah manusia yang memiliki emosi. Maka, sesuai dengan filosofi Kando (Touching Your Heart), service culture yang diterapkan Yamaha terfokus pada upaya memberikan pelayanan kepada komunitas, pelanggan maupun calon pelanggan melalui sentuhan pribadi yang mendalam.

“Visi pelayanan kami adalah menciptakan Customer and Community Satisfaction (CCS). Sehingga Yamaha menjadi satu-satunya merek yang dicintai, menjadi aspirasi, dan dikagumi melalui produk maupun brand corporate sehingga dapat memenangi mind and heart share pelanggan,” ungkap Dyon—sapaan akrabnya.

Terkait dengan hal itu, menurutnya, pelanggan Yamaha tidak terbatas hanya pada user, tetapi juga komunitas yang menaunginya. Jadi, meliputi masyarakat di mana user berada. Lalu pengguna itu sendiri serta keluarga besar Yamaha yang mencakup pabrik, diler, pemasok dan segenap orang di dalamnya.

Menurutnya, Yamaha memberikan service yang standardized sesuai dengan filosofi Touching Your Heart. Selain itu, mereka juga memberikan sedikit sentuhan dari Team Management yang rutin ikut turun ke pasar melayani pelanggan. “Intinya, pelayanan yang diberikan setiap jaringan resmi Yamaha harus sama diterima oleh pelanggan.”

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua faktor penting: kualitas produk dan pelayanan terbaik. Keduanya bisa menciptakan secure feeling yang berujung pada loyalitas pelanggan.

Nah, untuk urusan kualitas, produk Yamaha rasanya tak perlu diragukan. Karena diproduksi dengan standar kualitas Jepang yang mengutamakan perfection pada setiap unitnya dan sederetan standar prosedur pemeriksaan hingga saat produk diterima oleh pelanggan. Juga dilengkapi dengan garansi standar untuk tetap menjaga kualitas produk.

Dari sisi pelayanan pun tak jauh beda. “Kami membuat program CCS yang harus diimplementasikan oleh seluruh jaringan resmi Yamaha,” tegasnya. Bahkan, untuk mengembangkan program tersebut, Yamaha mendirikan departemen khusus, yakni Departemen CCS.

Dipaparkannya, di Yamaha, pelanggan merupakan pimpinan perusahaan tertinggi. Oleh karena itu, mereka selalu mendengarkan dan mengamati behavior pelanggan melalui sistem Yamaha Contact Center.

“Jadi, semua program harus mengutamakan kebutuhan dan kepentingan pelanggan dengan output memberikan ‘total solusi’ terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan pelanggan. Fokusnya harus dekat dengan market sehingga dapat menciptakan pelayanan yang Touching Your Heart, dan diferensiasi untuk brand dan produk Yamaha,” jelasnya.

Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi utama perusahaan. Nilai-nilai inilah yang ia tanamkan dalam perusahaan dan seluruh jaringan resmi Yamaha. Berlandaskan itu, dalam sistem rekrutmen, orientasi pada pelanggan adalah salah satu screening tools. “Kami menanamkan kultur yang customer centric,” tegas Dyon.

Dalam proses penerapan kultur tersebut, manajemen senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi, baik di jaringan resmi Yamaha maupun internal perusahaan. Edukasi tersebut tidak berhenti di situ, namun terus berevolusi melalui berbagai program campaign yang bertujuan mempromosikan pelayanan kepada customer.

Seiring waktu, tuntutan pelayanan pun terus meningkat. Bagi Dyon, ini merupakan tantangan bagi pimpinan maupun team member. Kepemimpinan tercermin dalam program role modeling yang diberikan setiap pemimpin dalam barisan manajemen/direksi. Mereka juga menerapkan Yamaha Values, yakni challenge, innovative, consistency, dan integrity untuk menciptakan persaingan dan kesempatan kerja yang fair-play.

Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan, merupakan kunci utama di bidang pelayanan supaya perusahaan dapat terus-menerus men-deliver pelayanan yang tepat dan memberikan value. “Karenanya, diperlukan kerja sama setiap tim untuk mengontrol dan mengembangkan program-program pelayanan kepada pelanggan; dan Yamaha Contact Center untuk mendengar dan memonitor setiap perubahan behavior yang terjadi di pasar,” lanjut Dyon.

Ketika disinggung tentang sistem pengawasan service quality, ia memaparkan, untuk melakukan pengukuran tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, pihaknya rutin melaksanakan survei dengan berbagai variasi metode. Semua metode pengukuran ini berbuah menjadi ‘improvement priority’ yang menjadi tugas penting setiap departemen dalam meningkatkan kinerja pelayanan.

Berdasarkan hasil pengukuran yang mereka lakukan, loyalitas pelanggan Yamaha tergolong cukup tinggi. Ini juga bisa dilihat dari sederet penghargaan yang mereka terima seperti Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) dan Service Quality Award (SQA). “Tetapi ini bukan berarti tugas selesai, melainkan tantangan baru untuk terus menjaga hati pelanggan kami,“ kata Dyon.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

Benny Tjoeng: Dimulai dari Pihak Internal

Service tak harus terfokus pada kepuasan pelanggan saja. Pihak internal pun harus diperhatikan.

Begitulah pandangan Benny Tjoeng, President Director Astra Credit Companies (ACC) ketika disinggung mengenai service. Sebagai perusahaan yang menangani jasa keuangan, kunci utama ACC terletak pada service itu sendiri. Ini bisa dilihat dari misi yang diembannya, yakni “total solution”.

“Semua harus dimulai dari visi. Untuk menjalankan service yang ditetapkan, harus dimulai dari tingkatan internal dahulu. Contohnya, dari pimpinan tertinggi. Di mana pimpinan tertinggi harus bisa melakukan service ke organisasi-organisasi yang ada di bawahnya. Begitu juga dengan saya, harus memberikan service ke jajaran direksi, kepala divisi, dan officer,” urai Benny.

Memang, secara garis besar, pemahaman service hanya tertuju pada pelanggan. Di balik itu, sebelum mencapai pada muara tingkatan pelanggan, ada sebuah proses. Proses dimana service yang dilakukan atasan sampai ke bawah, hingga pada kepuasan pelanggan ACC.

“Service ke customer ACC berjalan jika saya sudah memberikan service kepada pihak internal. Keinginan internal harus diperhatikan terlebih dahulu, sehingga ke tingkat cabang pun tidak ada masalah. Barulah, cabang-cabang tersebut memberikan service ke customer,” imbuh alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Definisi service yang dimaksud pun harus jelas. Artinya, siapa saja yang memakai jasa akhir dari apa pun itu disebut customer. Dicontohkan Benny, di bagian keuangan yang mengerjakan laporan keuangan, maka pelnggannya adalah pemakai laporan keuangan itu. “Customer adalah pemakai jasa setelah proses sebelumnya. Sehingga definisi service ACC is very clear,” katanya.

Kelebihan lain, berada di bawah naungan Astra Group memudahkan ACC dalam menyosialisasikan definisi service tersebut. Sebelumnya, Astra Group sudah membudayakannya di semua jajaran karyawan perusahaan. Nilai yang ditanamkan pada diri karyawan antara lain integrity, orientasi kepada customer, team work, dan quality.

Untuk memberikan service yang sesuai dengan keinginan customer, ACC juga selalu berupaya memahami keinginan mereka. Benny berpendapat, terkadang customer tidak memerlukan penghargaan yang lebih. Cukup dengan hal-hal sederhana saja, seperti ramah, cepat, dan mudah.

Lantas, apakah service di ACC sudah sempurna? “Belum!” tegas Benny. Menurut pria kelahiran Tanjung Karang, 15 Agustus 1958 ini, ukuran dari sebuah service tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia mengatakan, jika service ACC sudah sempurna, maka service tersebut tidak berkembang lagi. “Setiap tahun harus ada program-program ke arah service internal dan customer,” lanjutnya.

Salah satu program yang dicanangkan ACC tahun 2008 ini adalah ‘Winning Customer Heart’. Program ini menjadi fokus utama ACC dalam memenangkan hati para pelanggannya. Ada banyak strategi yang ditentukan dalam pemenuhan program tersebut, di antaranya kecepatan dan kemudahan pelayanan. Selain itu, program di tahun 2009 dan 2010 pun sudah direncanakan sedini mungkin.

ACC ingin memenangkan hati pelanggan dengan service terbaik. Maka, misi menjadi total solution bisa terwujud sesuai dengan semestinya. ACC memberikan kemudahan bagi customer dalam bentuk pelayanan total dan beragam. Mulai dari pembelian mobil, kebutuhan informasi, dan komplain. Kemudahan tersebut didukung dengan call center, asuransi, hingga perpanjang STNK.

Untuk menunjang itu, ACC memberikan training kepada karyawannya. Training tersebut, dilakukan tiap bulan di 38 cabang retail dan 11 corporate yang tersebar di 27 kota di Indonesia. “Jadi, terlihat grafik perkembangan dan kemajuan service ACC di setiap cabang,” ucap Benny.

Segi pengawasannya pun dilakukan dalam bentuk laporan ke direksi bulanan. Setiap aplikasi program, di tiap-tiap cabang, bisa dikontrol dari nilai skor yang dihasilkannya. Jika hasilnya kurang maksimal, maka dilakukan training kembali untuk target bulan berikutnya. Begitu terus-menerus. “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini,” tegasnya.

Dalam menerapkan service culture di perusahaan, ungkap Benny, ada tiga poin yang bisa menilai efektivitas service tersebut. Pertama, pimpinan tertinggi harus memberikan contoh kepada bawahannya tentang service yang baik. Kedua, memberikan penjelasan mengenai visi kepada bawahan secara jelas. Terakhir, selalu mengingatkan untuk membuat review kerja setiap hari.

Meski tengah sibuk, Benny selalu menyediakan waktu untuk menghadiri rapat dan diskusi dengan para karyawan. Dari hal seperti itulah, ia jadi mengetahui apa yang diinginkan oleh bawahannya. “Jika ada suatu permasalahan, bisa dicarikan solusi pemecahannya bersama. Kehadiran saya, untuk memberikan support kepada mereka, bahwa ini adalah bentuk komitmen saya,” tambahnya CEO yang menerapkan service dari hal sekecil apa pun.

Sedangkan untuk mengontrol quality service, ACC melakukan dealer survey setiap tahunnya. Survei tersebut untuk mengukur sejauh mana service yang dilakukan diler terhadap customer. Selain itu, dilakukan pula survei kepada customer untuk mengetahui customer survey index. Jika diperlukan, bisa juga dilakukan investigasi langsung. “Ini untuk meminimalisir keluhan customer terhadap service yang dilakukan ACC,” ujarnya.

Bagi Benny, antara membangun sebuah service quality dan mempertahankannya, sama-sama tidak mudah. Karena Astra Group sudah terkenal dengan mental culture yang sudah terbentuk, maka tidak sulit untuk membangun sebuah service quality.

“Namun, jika service quality sudah ada, tetapi tidak dikembangkan secara baik hingga berdampak pada penurunan, maka untuk membangunnya kembali akan lebih sulit. Makanya harus di-manage terus-menerus,” jelasnya.

Fisamawati
Majalah MARKETING

[+/-] Selengkapnya...

 
◄Design by Pocket