Sebagai perwujudan dari visi Tupperware peduli kepada perempuan dan anak-anak, khususnya untuk program Tupperware Children’s Fund, Tupperware Indonesia kembali menyelenggarakan program Children Helping Children (CHC) 2008. Acara yang berlangsung di Rumah Kaca Taman Menteng, Jakarta Pusat ini, merupakan program edukasi berupa lomba mengarang tingkat SD, SMP dan SMA bertema “Kepedulian saya kepada teman-teman yang kurang beruntung”.
Setiap satu buah karya yang dikirimkan oleh masing-masing peserta, Tupperware Indonesia akan menyumbangkan Rp 10.000 atas nama mereka ke program Tupperware Children’s Fund , untuk kemudian disalurkan kepada anak-anak yang kurang beruntung agar mereka dapat bersekolah kembali. Tampak dalam gambar beberapa pemenang CHC 2007 berfoto bersama juri program CHC 2008.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Jumat, Januari 30, 2009
Tupperware Gelar CHC 2008
Lebih Tepat Dikelola Sendiri
Sebagai taksi kelas atas Silver Bird pun memberikan layanan berkelas. Salah satunya dengan mengoptimalkan call center.
Masih ingat bahwa Indonesia menjadi tuan rumah KTT Non-Blok pada tahun 1992? Kalau tidak ingat, setidaknya sisa-sisa kehebohan acara itu masih bisa dilihat sampai sekarang ini. Gampang saja, kalau Anda melihat taksi Silver Bird, itu adalah mantan kendaraan operasional acara tersebut.
Setelah pertemuan itu bubar, atas izin Pemda DKI, PT Silver Bird pun mengoperasionalkan 240 mobil merek Nissan Cedric itu sebagai taksi eksekutif. Kini kuantitas dan mereknya sudah bertambah.
“Sejak itu pula, call center taksi Silver Bird hadir untuk mendukung pelayanan ke konsumen. Waktu itu, masih menggunakan nomor telepon kantor lama. Dan karena jumlah taksinya juga belum sebanyak sekarang, maka call center-nya juga masih sederhana,” kata Sigit P Djokosoetono, Vice President Operational Silver Bird.
Sedari awal call center ini dikelola sendiri oleh Silver Bird. Ada beberapa poin penting yang dijadikan pertimbangan. Pertama, ini adalah salah satu keunggulan yang dimiliki Blue Bird Group, yaitu mobility call center. Dan memang cuma sedikit perusahaan taksi yang siap untuk berinvestasi untuk fasilitas ini. “Jadi, kami anggap ini sebagai bagian strategis dari sisi marketing Silver Bird,” tambah Sigit. Silver Bird juga serius menggarap call center karena bisa memberikan kontribusi sekitar 20% order.
Kedua, teknologi yang digunakan pada waktu awal sudah cukup canggih. Jadi, jika tidak menggunakan tenaga outsourcing, tidak terjadi knowledge transfer terhadap kompetitor. Di sisi lain, akan terjadi transfer ilmu di internal perusahaan taksi terbesar ini.
Terakhir, call center memiliki peranan penting dan secara langsung juga menyangkut mengenai image. Ada hubungan yang terjalin erat antara keduanya. “Sehingga, akan lebih tepat yang mengoperasikan call center ini adalah karyawan sini,” jelasnya.
Saat ini, ada 110 agen lebih dengan 4 supervisor yang menggawangi Call Center Silver Bird. Mereka terbagi dalam 3 shift dengan waktu kerja 8 jam. Namun, pada waktu peak time, ada penambahan 2 shift di antara shift lain. Misalnya, saat jam-jam pulang kantor atau pagi dini hari untuk konsumen yang ingin pergi ke bandara.
Call center ini mampu menangani sekitar 20.000 incoming call per harinya. Tentunya ini akan membuat tingkat stres para agen tinggi. “Nah, supaya hilang stresnya kami mengadakan outing setahun sekali, refreshing, dan tentunya memberikan insentif bagi ‘best agent’ lainnya,” tambah Sigit.
Segmen utama Silver Bird adalah para ekspatriat yang ada di sini. Sehingga, dalam proses rekruitmen kemampuan bahasa Inggris begitu ditekankan. Ini yang membedakan dengan para agen yang meng-handle Blue Bird. Tetapi, seiring perjalanan waktu, Blue Bird pun ternyata diminati pelanggan yang berbahasa Inggris. Akhirnya, persyaratan ini dipatok untuk semua agen tanpa kecuali. Sedangkan standar pendidikannya, minimal lulusan D3. Plus bisa mengoperasikan komputer serta memiliki karakter suara yang baik .
Setelah itu, para agen diberikan training dasar standard operation procedure sekitar dua hari. Selanjutnya, training berbentuk simulasi termasuk mendengarkan rekaman masuk. Tahap berikutnya, adalah training dalam bentuk tandem. Agen junior mendengarkan agen yang sudah berpengalaman saat menangani konsumen. Baru setelah itu mereka praktik sendiri, namun masih tandem dengan model terbalik. “Tahap ini agen baru menangani incoming call dengan diawasi oleh supervisor atau senior. Baru setelah lancar baru dilepas sendiri,” papar Sigit.
Ketika membangun call center ini, Silver Bird berinvestasi cukup besar. Sekitar Rp 5 miliar dikucurkan, untuk reservation system diperkirakan menelan Rp 2 miliar lebih. Belum termasuk server komputer dan PABX yang sudah berganti dua kali karena ekspansi dan persiapan kapasitas. Sigit menekankan, investasi yang tersebut di atas belum termasuk untuk SDM. “Belum termasuk biaya training, seminar, dan memberi gaji pada para agen.”
Setidaknya ada lima layanan pemesanan yang diberikan oleh call center ini, yakni untuk Blue Bird, Silver Bird, Golden Bird, Big Bird, dan Customer Care. Sedangkan jenis layanannya sendiri adalah pemesanan, pengecekan, dan komplain.
Hampir seluruh incoming call (sekitar 95%) adalah pemesanan taksi. Selebihnya adalah komplain yang disambungkan ke layanan Customer Care. Biasanya, komplain berkisar mengenai kegagalan penjemputan, keterlambat menjemput, pelayanan pengemudi yang tidak tahu jalan, dan komplain jenis kendaraan.
Penanganan oleh Customer Care lebih bersifat mencatat dan memberikan solusi pertama permasalahan si penelepon. Yaitu, melakukan koordinasi dengan pool, mengecek pengemudi, kemudian akan diteruskan ke bagian yang disebut Customer Response Care (CRC). CRC ini masih menjadi bagian call center, tetapi tidak menerima layanan pemesanan taksi melalui telepon. Jadi, khusus untuk handling complaint yang diterima dari Customer Care.
Supaya lebih cepat menangani pemesanan dan meminimalkan komplain, sekarang call center ini dilengkapi dengan GPS System, MDT maupun Voice. Kemudian sedang dipersiapkan IVR System dan CTI. Semua sistem ini akan diintegrasikan, dan selanjutnya dikembangkan sistem SMS dan nomor registrasi taksi untuk mempermudah pemesanan.
“Untuk itu, target kami adalah membedakan sistem-sistem yang ada, optimalisasi service level, pengembangan channel pemesanan melalui web. Dan kuncinya tetap konsisten, komitmen, dan monitoring,” kata Sigit. Intinya, semakin mudah orang memesan taksi, semakin banyak pula keuntungan yang datang.
Ign. Eko Adiwaluyo
Liputan: Fisamawati
Majalah MARKETING
PLN: Agen Juga Manusia
Dalam meningkatkan kualitas para agen, PLN menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. PLN juga menggelar kompetisi antar-agen.
Sebagian warga Jakarta tentunya masih ingat dengan kejadian pada tanggal 21-22 Februari lalu. Listrik mati akibat pemadaman bergilir. Ternyata, meski tidak dalam waktu serempak, kenyataan itu tidak hanya dikeluhkan oleh warga Ibu Kota. Hampir seluruh pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Tanah Air mengeluhkan seringnya terjadi pemadaman listrik.
Lihat saja, buah dari pemadaman bergilir selama dua hari itu, Call Center 123 PLN “panen” call. “Jumlah call in meningkat dari standar 12.000-15.000 per hari. Sudah bisa ditebak, pelanggan ada yang santun, ada pula yang marah-marah,” ungkap Azwar Lubis, Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang.
Azwar mengatakan, pihaknya memaklumi keluhan pelanggan itu. Dan Call Center 123 PLN berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara perusahaan dan pelanggan. Alhasil, lembaga riset Center for Customer Satisfaction and Loyalty (CCSL) menyebutkan, call center ini menempati urutan teratas perolehan indeks rata-rata di kategori public service.
Berdasarkan data yang dirilis lembaga tersebut pada Call Center Service Excellence Index 2008, Call Center 123 PLN mendapatkan indeks rata-rata sebesar 70,053% dan mendapat predikat “good”. Indeks rata-rata indeks tersebut diperoleh dari indeks Access sebesar 90,0%, System & Procedure 67,4%, dan People sebesar 63,7%.
Untuk diketahui, layanan Call Center 123 PLN diresmikan pada 12 Maret 2004. Sebelumnya, layanan ini merupakan Pusat Pelayanan Gangguan (PPG) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang dengan fasilitas radio komunikasi (handy talky/HT) di 7 cabang dan 50 rayon.
“Atas pertimbangan struktur organisasi, cabang dan rayon tersebut dihilangkan menjadi 35 area pelayanan. Dari situlah sejarah PLN mengubah PPG menjadi call center, dengan tujuan untuk menjembatani komunikasi antara PLN dengan pelanggannya,” ujar Azwar.
Untuk menyukseskan tujuan tadi, PLN pun memakai nomor 123. Alasannya sederhana, agar mudah diingat pelanggan. Pemilihan tiga digit angka yang berurutan memberikan kemudahan dalam menyosialisasikan call center PLN.
Sayangnya, terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki PLN berimbas pada pengelolaan call center itu. Sehingga, jasa outsourching menjadi pilihan. Akhirnya, sebanyak 69 agen di bawah 3 supervisor dari PLN dipercaya untuk mengelola call center tersebut.
Setelah itu, totalitas pun dilakukan PLN dengan mengoperasikan layanan call center selama 24 jam setiap hari. Namun, operasional nonstop itu baru diberlakukan sejak pertengahan tahun lalu. “Semula call center kami beroperasi sampai pukul 20.00 WIB, tetapi layanannya ditingkatkan sedikit demi sedikit demi kepuasan pelanggan,” tegasnya. Dengan begitu, penugasan agen dibagi menjadi 3 shift, masing-masing shift bekerja selama 8 jam.
Dari sisi penggunaan teknologinya, Call Center 123 PLN pun tak lagi “jadul” alias kuno. Teknologi yang sekarang digunakan antara lain CT Server Base yang terdiri dari Interactive Voice Response (IVR), Automatic Call Distribution (ACD), Computer Telephony Integration (CTI), Private Branch Exchange (PBX), dan Fax on Demand (FoD). Teknologi itu sudah dilengkapi dengan software Call Handling, Application untuk call center report, Application Screen Pop-up untuk agen dengan menggunakan saluran incoming line sebanyak dua E-1 (60 lines).
Di dalam call center ini ada tiga pilihan layanan, yakni layanan informasi tagihan rekening listrik, layanan pengaduan gangguan dan keluhan pelanggan, serta layanan informasi PLN lainnya. Untuk layanan informasi tagihan rekening listrik, akan dijawab secara interaktif oleh mesin IVR—setelah pelanggan memasukkan 12 digit ID pelanggan.
Sedangkan untuk layanan pengaduan gangguan dan keluhan pelanggan, customer akan dilayani oleh agen yang bertugas. Begitu juga dengan layanan informasi PLN lainnya, bisa dijawab langsung oleh agen atau melalui faks apabila terhubung dengan mesin faks.
“Rata-rata lama pembicaraan setiap penelepon memerlukan waktu 142 detik. Jika dalam waktu yang ditargetkan belum selesai, maka akan diteruskan hingga percakapan selesai. Jadi, kalau saja telepon tidak ditutup oleh penelepon selama 24 jam, maka agen pun tak menutup telepon,” ungkap Azwar seraya menunjukkan rekaman pembicaraan para penelepon dengan agen.
Oleh karena itu, terkadang banyak agen yang shock ketika menerima keluhan dan pengaduan pelanggan. Menurut Azwar, walau pada awalnya mereka sudah diberikan pengetahuan tentang dunia call center, pada praktiknya tak bisa dimungkiri rasa tertekan acap menyelimuti para agen.
Jadi, lanjutnya, tes psikologi menjadi faktor utama dalam perekrutan calon agen. Di samping itu, ada kriteria-kriteria lain, yaitu minimal pendidikan diploma tiga (D3), mampu berbahasa Inggris minimal pasif, bisa mengoperasikan komputer, pengetahuan dasar kelistrikan yang cukup, dan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, terlebih tidak diperbolehkan memiliki logat bahasa daerah.
Yang jelas, ada hak dan ada kewajiban. Artinya, agen juga manusia yang tentunya tidak mau menghabiskan umurnya untuk menjawab telepon. Pihaknya menyadari bahwa para agen pun memerlukan perhatian lebih agar tak jenuh bekerja. Karena itu, dalam periode tertentu, PLN sering memberikan paket liburan kepada para agen.
“Ke depan, kami berencana ingin menerapkan sistem kompetisi antar-agen. Jadi, penilaiannya bisa dilihat dari kualitas kerja. Dengan demikian, diharapkan akan ada peningkatan kerja semaksimal mungkin. Bagi agen terbaik akan mendapatkan poin berupa komisi, gaji, maupun penetapan status menjadi karyawan tetap,” tegas Azwar mengakhiri.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Mencuri Celah di Babies Market
Belajar dari pengalaman pribadi ketika mempunyai anak pertama, Tedriya terinspirasi untuk membuka usaha rental perlengkapan bayi.
“Awalnya saya sempat ragu untuk membuka rental perlengkapan bayi. Maklum saja, selain tidak punya bakat mengelola usaha, rental seperti ini belum marak di kalangan masyarakat khususnya bagi kaum ibu-ibu,” ucap Tedriya mengawali perbicaraan.
Bisa dikatakan usaha yang diberi nama Baby’s World ini adalah pionir di bidang rental perlengkapan khusus untuk bayi dan batita. Saat berdiri tahun 2007 silam, usaha yang banyak menyedot perhatian kalangan pebisnis adalah bisnis franchise. Maka, tak banyak terbersit ide untuk berbisnis rental seperti yang ditekuni Tedriya ini.
Iya—begitu panggilan akrabnya—memulai usaha dari pengalaman pribadinya ketika memiliki anak pertama, Zaki. Untuk menyambut kelahiran sang buah hati, Iya sibuk mengumpulkan benda-benda untuk memberikan “pelayanan” terbaik. Meluapnya kegembiraan tersebut dituangkannya dengan membeli perlengkapan bayi di mal dan toko-toko bayi.
“Belum genap satu tahun, perlengkapan bayi tersebut sudah tidak terpakai dan disimpan di gudang,” ujarnya. Sebab, perkembangan bayi yang tumbuh pesat membuat kegunaan perlengkapan tersebut terasa singkat. Lho, kan bisa disimpan untuk generasi berikutnya? “Pastilah benda tersebut sudah berdebu dan usang. Belum lagi baunya yang apek bisa bikin bayi sesak napas,” lanjutnya.
Faktor di atas bukanlah satu-satunya alasan yang mendorong alumnus Universitas Gunadarma, Depok, ini untuk terjun ke “bisnis langka” tersebut. Pasarnya juga cukup menjanjikan lantaran harga perlengkapan bayi dan pernak-perniknya tergolong mahal. Ini terlihat dari kecenderungan ibu-ibu mengeluh ketika hendak membeli perlengkapan tersebut.
Akhirnya, setelah merasa mantap, Iya mempromosikan rentalnya dengan memasang iklan di sebuah harian lokal. Di samping itu, ia juga gigih menyebarkan brosur-brosur di beberapa rumah sakit dan klinik bersalin—tempat yang efektif untuk berpromosi. Dari situlah pesanan mulai berdatangan satu per satu. “Jadi above the line dan below the line sama-sama memberikan hasil,” katanya.
Diceritakannya, waktu itu perlengkapan bayi yang tersedia cuma boks tempat tidur yang terdiri dari kasur, guling, kelambu, bantal, mainan gantung, music box, dan bed cover. Ditambah stroller, baby walker, dan carseat. Itu pun jumlahnya tak memadai alias terbatas, hingga terkadang pesanan bersifat “waiting list”.
“Tapi, sekarang sudah mengalami kemajuan yang signifikan. Sedikit demi sedikit, saya menambahkan jumlah barang dengan beberapa model sehingga customer bisa memilih model yang pas dengan dekorasi kamarnya. Kalau ditotal, seluruhnya kini berjumlah 100 item plus berbagai macam perlengkapannya,” jelas Iya.
Kendala utama yang dirasakannya adalah masalah transportasi. Keterbatasan armada untuk pengantaran barang menghambat sistem distribusi ke pelanggan. Tak jarang, Iya harus menjelaskan kepada pelanggan untuk sabar menunggu pesanan diantar hingga hari Sabtu dan Minggu—sesuai dengan jadwal hari libur kerja sang suami.
Untuk mempertahankan usaha yang bermodal awal Rp 15.000.000 ini, Iya menjunjung tinggi nilai kepercayaan dan kejujuran pelanggan. Menurutnya, ini penting mengingat kelanggengan usahanya terletak pada nilai tersebut. “Maka untuk menjaga hubungan itu, dibuatlah perjanjian antara saya dan customers dengan melampirkan fotokopi KTP, rekening telepon, dan rekening listrik,” imbuhnya.
Profesionalismenya juga dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang diterapkan Baby’s World. Misalnya, Iya membuat ketentuan penyewaan minimal selama dua bulan dengan sistem pembayaran di muka. Kalau terjadi kerusakan barang oleh pelanggan, maka dikenakan denda yang berkisar antara Rp 3.000 hingga Rp 5.000.
“Saya pun memberikan services kepada customer dengan mengantarkan barang pesanan sampai ke rumahnya. Ini untuk memudahkan pengiriman, karena umumnya perlengkapan yang disewa berukuran besar dan terkadang tidak bisa dibongkar-pasang,” akunya sambil menunjuk boks tempat tidur kayu sebagai contoh.
Alhasil, kini nama Baby’s World sudah merambah pasar lokal maupun luar daerah seperti kawasan Bogor, Pamulang, Bumi Serpong Damai, Lemah Abang, dan Cibitung. Diakuinya, pesanan lebih banyak berasal dari luar kota ketimbang dari wilayah Depok dan sekitarnya. Mereka datang dengan alasan, penyewaan di daerah mereka tergolong mahal dan prosedurnya sulit.
Baby’s World sendiri memasang tarif yang lebih terjangkau untuk kalangan menengah ke bawah, pun lebih murah dibandingkan kompetitor. Sebagai gambaran, untuk kurun waktu sebulan, harga sewa boks tempat tidur berkisar Rp 30.000–90.000; stroller Rp 20.000–40.000; carseat Rp 50.000–80.000; dan baby walker Rp 13.000–23.000.
Ditambahkannya, khusus di kawasan Jakarta dan sekitarnya, masih jarang pemain yang bergelut di bisnis rental perlengkapan bayi. Kalau pun ada, kompetitor itu pasti berasal di luar kota. Tetapi, ada beberapa dari mereka yang berkonsultasi kepadanya mengenai tata cara mengelola rental, biasanya dari segi manajemen. “Jadi, masih banyak peluang untuk bisnis babies market seperti ini,” ucapnya optimistis.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Kamis, Januari 15, 2009
Dwi Sapta Group: Hasilkan Profit dengan 12 Prinsip Bisnis
Di usianya yang ke-27, Dwi Sapta kembali menggebrak dunia periklanan dengan Advertising That Makes Money. Apakah itu?
Setelah sukses dengan buku Advertising That Sells, Dwi Sapta Group kembali meluncurkan buku bertajuk Advertising That Makes Money. Buku periklanan seri kedua ini memaparkan 12 prinsip bisnis yang dilakoni A. Adji Watono, Presiden Direktur Dwi Sapta Group, dalam mengelola banyak merek menjadi market leader dan menghasilkan profit.
“Buku ini merupakan hasil pemikiran saya bahwa sebuah iklan tak lagi cukup hanya menjadi alat untuk mendorong penjualan atau mendongkrak market share. Tetapi sebuah iklan haruslah menjadi profit machine, alat penghasil keuntungan dalam jangka panjang,” ujarnya. Bagi Adji, penulisan buku Advertising That Makes Money semata-mata dilandasi oleh komitmen dan dedikasi terhadap industri periklanan Indonesia, yang turut membesarkan nama Dwi Sapta.
Adji memaparkan, ke-12 prinsip tersebut dikelompokkan menjadi tiga besar, yang merefleksikan tiga dimensi manusia: soul, mind, dan body. Setiap prinsip bisnis dibahas dalam satu bab, dilengkapi juga dengan studi kasus pemasaran 11 brand market leader yang dipegang Dwi Sapta Group, yakni: Tolak Angin, Vegeta, Soffell, Top 1, Mixagrip, Fatigon, Ceres, DVD Vitron, Djarum Coklat, Telon Cap Lang, dan Ovale.
Tak luput, Adji juga menampilkan 11 testimoni singkat para klien yang selama ini bekerja sama dengannya. Mereka adalah Irwan Hidayat (Sido Muncul), Johan Leo (Kalbe), Susilo Gunadi (Eagle Indo Pharma), Darmadi Durianto (Vitron), Sugian Sinanto (Djarum), Derrick Surya (Topindo Atlas Asia), Ridwan C. Kidjo (Ceres), Widjajanto (Enesis Group), Harry Sanusi (Kino Group), Widodo Kristyatmoko (Enesis Group), dan Sinteisa Sunarjo (Kalbe).
“Sengaja buku ini diberi judul emosional, ‘My Life, My Way, My Blood’, untuk menunjukkan bahwa bisnis periklanan sudah menjadi ‘hidup saya’, ‘jalan hidup saya’, dan ‘hadir di setiap aliran darah saya’. Dalam buku ini, saya juga ingin berbagi pengalaman dengan pelaku di industri periklanan sehingga bisa memberikan inspirasi dan berguna bagi mereka,” papar pria kelahiran Kudus, 17 Mei 1950 ini.
Ditulis selama setahun, buku Advertising That Makes Money ditutup dengan sebuah epilog. Dalam mengisi bagian ini, secara khusus Adji mengajak putrinya, Maya Carolina Watono, untuk menulis dan memberikan perspektif pemikiran langkah Dwi Sapta Group ke depan. Tulisan singkat berjudul “Tri Transformasi Menuju The Next Dwi Sapta” berisikan tiga agenda transformasi Dwi Sapta, yaitu bisnis, kepemimpinan, dan kultural.
Buku setebal 348 halaman terbitan PT Gramedia Pustaka Utama tersebut diluncurkan di pasaran bertepatan dengan perayaan 27 tahun Dwi Sapta yang jatuh pada 2008 ini. “Di momen istimewa ini, selain meluncurkan buku, kami juga meluncurkan logo baru Dwi Sapta,” imbuhnya.
Pergantian logo baru tersebut, lanjut Adji, mencerminkan kedewasaan Dwi Sapta yang kini mantap mengibarkan bendera sebagai perusahaan Integrated Marketing Communications (IMC). Perpaduan Advertising That Sells dan Advertising That Makes Money akan menjadi kekuatan dahsyat yang bisa membawa klien sukses berkesinambungan.
“Rumusnya: (IMC Solution) + (The 9 Credo of Advertising that Sells dan The 12 Principles of Advertising that Makes Money) = Client’s Sustainable Success. Ini rumus yang saya gali selama 27 tahun sukses di bisnis periklanan Indonesia, yang akan menjadi ‘roh dan spirit’ setiap insan Dwi Sapta Group. Keduanya adalah masterpiece,” tegas Adji.
Tak heran jika bisnis periklanan Adji kian melaju pesat. Filosofi QCDS, yaitu best Quality, reasonable Cost, fast Delivery, dan excellent Service juga turut melatarbelakangi kesuksesannya. Saat ini, ada enam perusahaan di bawah payung Dwi Sapta Group, yakni Dwi Sapta Integrated Marketing Communications, Main Ad Advertising, In Ad Below the Line, Neopost Production, Netracom Film Production, dan DSP Media.
“Hal inilah yang menjadikan Dwi Sapta berbeda dengan lainnya. Untuk itu, buku Advertising That Makes Money mencoba mengingatkan kembali esensi dasar dari sebuah iklan,” ujarnya mengakhiri.