Setelah menghilang pada akhir 1990-an minuman isotonik, Gatorade belum lama ini muncul kembali. Apa strateginya agar tidak hilang untuk kedua kalinya?
Bagi penggemar minuman sport, nama Gatorade tentunya sudah tidak asing di telinga mereka. Maklum, produk sport drink keluaran Pepsi ini masuk dalam peringkat satu skala dunia dan dijual di lebih dari 80 negara.
Namun, banyak yang menanyakan mengapa Gatorade “Hadir kembali”—begitu slogan yang diusungnya—di Tanah Air setelah hengkang pada akhir 1990-an. Padahal, saat ini produk minuman isotonik sudah penuh sesak oleh berbagai merek. Sebut saja Pocari Sweat, Vitazone, Mizone, dan masih banyak lainnya.
“Tepatnya dua tahun lalu, Pepsi Cola membawa lagi Gatorade ke pasar Indonesia. Waktu itu, ada beberapa alasan Gatorade tidak dipasarkan, salah satunya adalah kondisi perekonomian di Indonesia yang tidak stabil,” terang Amit Bose, Marketing Director PT Pepsi Cola Indobeverages.
Bose—begitu ia biasa disapa—percaya kehadiran Gatorade di Indonesia bisa diterima dengan baik. Apalagi, lanjutnya, Indonesia sendiri masuk ke dalam kategori pasar minuman isotonik terbesar di Asia. Oleh karena itu, meskipun kedatangannya tergolong telat dibandingkan kompetitor, ia tetap optimistis. “Gatorade tetap punya potensi penjualan yang tinggi. Itulah sebabnya, Pepsi Cola me-relaunch Gatorade di sini,” imbuhnya.
Sekadar mengingatkan, minuman isotonik Gatorade ini pertama kali ditemukan oleh Dr Robert Cade dan rekan-rekannya. Ide menciptakan minuman isotonik bermula saat dirinya mengamati tim sepak bola di kampusnya. Cade menemukan fakta bahwa setelah bertanding selama tiga jam, setiap pemain rata-rata kehilangan 8 kg kandungan air atau sekitar 90-95% di bagian tubuhnya.
Gatorade muncul pada tahun 1965 di Florida. Produk ini merupakan minuman yang diformulasikan secara ilmiah, yang dapat menghilangkan dahaga serta mengembalikan cairan tubuh dengan campuran unik bersumber dari karbohidrat dan elektrolit. Gatorade diklia sebagai market leader di kategori minuman sport, khususnya minuman isotonik.
Meski berjaya di luar negeri, upaya memasarkan Gatorade di sini tidaklah mudah. Pasalnya, tak banyak masyarakat yang mengingat Gatorade secara utuh. Di benak mereka mungkin masih ada yang ingat bentuk iklannya tapi lupa nama mereknya, atau sebaliknya. Untuk itu, terang Bose, Gatorade mengubah bentuk iklan dan kemasannya.
Ada dua cara yang digunakan Gatorade dalam strategi komunikasinya. Pertama, menginformasikan serta mendidik masyarakat tentang keunggulan Gatorade, baik dari sisi manfaat maupun teknik pembuatannya yang berdasarkan teknologi laboratorium. Kedua, memperkenalkan lebih lanjut kepada masyarakat bahwa Gatorade sudah hadir kembali dan tersedia di Indonesia.
Ini dilakukan dalam berbagai bentuk promosi, baik lewat media massa dan aktivitas tertentu, misalnya berpartisipasi dan menjadi sponsor dalam event yang berkaitan dengan olahraga seperti sepak bola dan basket. “Selain itu, kami menjalin kerja sama dengan beberapa fitness center,” paparnya.
Tidak mau tanggung-tanggung, Gatorade juga memperkuat image-nya sebagai minuman isotonik para juara dengan menggandeng Suryo Agung Wibowo—peraih medali emas cabang lari 100 meter di SEA Games 2007—sebagai duta atlet Gatorade Indonesia. Di tingkat dunia, duta Gatorade merupakan atlet-atlet terbaik di cabangnya. Umpamanya Maria Sharapova, atlet asal Rusia dari cabang tenis; Ronaldinho (Brasil) dan Frank Lampard (Inggris) dari cabang sepak bola; serta Tiger Woods, atlet berpenghasilan tertinggi di dunia dari cabang golf. “Kami fokus pada minuman sport, itulah kekhasan kami dibanding minuman isotonik lainnya,” kata pria asal India ini.
Dipaparkan Bose, sebenarnya pasar yang dibidik Gatorade tak sebatas kalangan atlet saja. Sebab, target market Gatorade secara umum adalah konsumen berusia 17-32 tahun. Biasanya, produk ini lebih banyak dikonsumsi oleh laki-laki daripada perempuan. Selain itu, Gatorade juga dikhususkan bagi konsumen yang memedulikan kesehatan serta memiliki aktivitas yang tinggi.
Lantas, bagaimana dengan rasa yang ditawarkan? Ada tiga varian rasa berbeda yang diperkenalkan ke publik, yaitu: orange grapefruit, lemon lime dan blue raspberry. “Kami pastikan di semua negara sama. Untuk warna tampilan Gatorade di Indonesia, kami pilihkan sesuai dengan penyebaran Gatorade di dunia. Di mana warna-warna tersebut telah ada sebelumnya,” ucapnya. Begitu pula untuk masalah harga, Gatorade mengikuti harga pasar yang beredar di masing-masing negara. Gatorade kemasan kaleng dijual seharga Rp 3.400, sedangkan kemasan dibanderol Rp 4.800.
Sejak peluncuran ulangnya Mei lalu, pemasaran Gatorade sudah merambah Jakarta. Produk ini bisa ditemukan di swalayan-swalayan dan secepatnya akan melakukan penyebaran distribusi secara nasional. Namun, saat disinggung tentang market share, Bose enggan menyebutkannya. “Kami baru memulai. Saya pikir masih terlalu dini untuk memetakan market share kami,” tegasnya.
Diakuinya, memunculkan merek yang pernah ada sebelumnya jauh lebih sulit dibandingkan membuat satu merek baru. Kesulitan itu berasal ketika memberikan pemahaman kepada konsumen bahwa Gatorade adalah yang terbaik. Untungnya, permintaan konsumen terhadap Gatorade masih tinggi. “Pada saat menghilang dulu, dari data riset mengemukakan bahwa konsumen tetap mengenang hal-hal positif dari Gatorade. Bahkan, hal terkecil pun mereka masih ingat. Seandainya tidak ada citra positif di mata konsumen, mungkin kami mencanangkan slogan ‘Kami kembali’,” papar Bose.
Untuk mempertahankan eksistensinya di masa yang akan datang, dan belajar dari pengalaman sebelumnya, Bose mengatakan, antisipasi yang dilakukan adalah dengan menginvestasikan dana yang cukup besar di pasar Indonesia. “Adanya dukungan financial, promosi, brand, dan potensi pasar yang bergerak positif merupakan kombinasi strategis terbaik guna mempertahankan merek Gatorade,“ tandasnya.
Sementara itu, pengamat pemasaran Bambang Bhakti mengatakan bahwa peluang Gatorade saat ini masih terbuka, meskipun sudah didahului pemain sejenis. Ia menilai, alasan dasar Gatorade menghilang dulu lebih disebabkan krisis ekonomi semata. “Tapi, sekarang Gatorade bisa diuntungkan dengan kondisi pasar dewasa ini. Pasar minuman isotonik sudah banyak dididik sehingga memudahkan Gatorade dalam mengedukasi minuman isotonik,” ujarnya.
Hanya saja, tambah Bambang, Gatorade harus menguatkan positioning-nya agar bisa bersaing dengan kompetitor. “Apakah image ‘orang berkeringat’ hanya atlet saja? Bagaimana dengan pekerja yang letih? Pasti juga berkeringat. Ini harus dijelaskan Gatorade,” lanjutnya. Menurut Bambang, ada tiga strategi yang harus dilakukan Gatorade untuk menguasai pasar, yakni: sistem distribusi, tampilan kemasan di outlet, dan harga.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Selasa, Maret 31, 2009
Walau Telat, Peluang Masih Terbuka
Wiradi: Marketer Dituntut untuk Punya “Ide Gila”
Setelah “berpetualang” di bidang operasional, ia dipercaya oleh manajemen untuk menangani divisi marketing. Apakah obsesinya dalam berkarier sebanding dengan kompensasinya?
Sudah lama Electronic City menjadi tempat bernaung bagi Wiradi. Hampir tujuh tahun General Manager Marketing Division Head PT Electronic City Indonesia ini bergabung di perusahaan tersebut. Awalnya, ia memulai karier sebagai purchasing barang elektronik, dengan level supervisor.
Kemudian, Wiradi dipercaya untuk menangani operasional toko Electronic City, mulai dari supervisor lapangan, kepala cabang di Jakarta dan luar Jakarta, sampai ke tingkatan kepala cabang untuk beberapa toko Electronic City. “Level kepegawaian saya adalah General Manager, sedangkan level struktural adalah Marketing Divison Head. Ini tahun ketiga saya di posisi tersebut,” katanya.
Ditambahkannya, berada di sekian banyak divisi yang ada di Electronic City, ia bertanggung jawab di divisi marketing. Di divisi itu, ia lebih banyak menangani masalah konsep dan ide-ide untuk pengembangan. “Saya sangat bersyukur, sebelum di posisi ini, saya sudah pernah menangani masalah operasional. Jadi, bisa membantu saya dalam melakukan pertimbangan saat membuat sebuah rancangan atau ide baru yang akan diimplementasikan.”
Wira—begitu ia biasa disapa—sekarang ini boleh berbangga diri. Kerja kerasnya yang dimulai dari titik nol akhirnya membuahkan hasil. Selain sukses di bidangnya, ia pun mahir me-manage karyawannya. “Saat ini saya membawahi 40 orang karyawan, level mereka dimulai dari helper sampai manager,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Electronic City merupakan ritel yang menjual alat-alat elektronik dari berbagai merek mulai dari televisi, mesin cuci, komputer, kulkas, hingga kamera digital. Berdiri sejak 11 November 2001, perusahaan ritel ini sudah mempunyai 10 store di antaranya di SCBD, Kelapa Gading, Puri Kembangan, Karawaci, Bandung, Bali, Depok, Bogor, Medan, dan Bekasi.
Konsep Electronic City adalah mengembangkan toko elektronik modern dengan gaya pameran yang memberikan pelayanan terbaik, didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten dan mitra usaha yang berkualitas untuk kepuasan customer.
“Dunia yang saya geluti sangat menarik dan dinamis. Electronic City menggabungkan konsep brand dan retail. Di mana segala sesuatu berjalan dengan ‘cepat’ sehingga setiap hari ada sesuatu hal baru dan menantang,” tambahnya. Lebih lanjut, Wira memaparkan, posisi marketer di industri ritel seperti yang diterapkan Electronic City masih terbilang langka. Karena biasanya, marketer atau brand specialist bertugas untuk melakukan branding terhadap sebuah produk— bukan sebuah toko atau ritel.
Sebagai pimpinan di divisi tersebut, Wira pun harus melaporkan segala sesuatu yang bekaitan dengan kinerjanya selama ini. “Saya langsung melapor pada Bapak Roy Santoso selaku BOD di Electronic City,” tegasnya. Untungnya, dalam menjalankan tugas, ia diberi kesempatan dan kepercayaan melakukan program-program yang ditujukan untuk pelayanan kepada customer.
Apalagi, Electronic City mengemban visi untuk menjadi perusahaan terkemuka dalam bisnis ritel elektronik dengan jaringan terluas dan termodern yang didukung pelayanan yang baik dan fasilitas yang lengkap. “Ini tertuang dalam slogan baru kami, yakni ‘Smart Way of Modern Shopping’ dengan sistem pelayanan one stop shopping yang mandiri,” imbuh alumnus Bina Nusantara jurusan akuntansi angkatan 1995 ini.
Tanpa Batas
Dalam tujuh tahun kariernya, sudah pastilah ada tinta emas yang telah ditorehkan Wira untuk perusahaannya. Namun, rupanya ia enggan menonjolkan diri sendiri. “Bila membicarakan prestasi saya pribadi rasanya kurang tepat. Mungkin lebih tepatnya, prestasi apa pun yang diukir Electronic City adalah sebuah prestasi dari keberhasilan tim. Karena sebagus apa pun ide dan program, tak akan berhasil jika tidak didukung dan dijalankan oleh tim di jajaran Electronic City, baik di garis depan maupun back office,” ucapnya dengan rendah hati.
Ia lantas menyebutkan beberapa prestasi yang pernah dilakukan timnya dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya pembaharuan konsep toko, template iklan, tagline baru, call center, website, dan program sales yang terus-menerus sepanjang tahun dengan semua partner bank dan brand. Tapi, tegasnya, prestasi tersebut bukanlah akhir, melainkan sebuah “proses” yang akan terus dievaluasi dan disempurnakan. “Karena dinamika di industri ritel dan marketing sendiri adalah ‘even the sky is not the limit’,” ujar pria kelahiran Juli 1977 ini.
Sifat tanpa batas pun berlaku bagi kompensasi yang didapatnya. Meski enggan menyebutkan nilai nominalnya karena berbagai faktor, Wira masih mau menjelaskan hitungan kasarnya. Perhitungan itu dilakukan secara rutin plus Tunjangan Hari Raya (THR). Untuk bonus, ada dua perhitungan: target kolektif dan individu. “Kolektif dilihat dari pencapaian target toko, gross profit, dan budget. Sedangkan reward individu, dilihat dari target program divisi masing-masing seperti program membership dan sales program,” ungkapnya.
Sementara itu, sama halnya marketer lain, Wira pun harus mengagendakan meeting dengan berbagai pihak, baik di kantor maupun luar kantor. Waktunya biasanya ia jadwalkan sore atau malam hari. Selebihnya, ia melakukan pekerjaan di belakang meja seperti menuangkan ide, merapikan proposal dan paper work.
“Di pagi hari saya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Dengan adanya meeting, bisa sedikit demi sedikit mencair karena berinteraksi dengan mitra meeting,” tambah pria yang berdomisili di Tangerang ini.
Ada satu hal yang menjadi “wajib” baginya tiap hari, yakni membuka dan membaca koran. Kegiatan tersebut dilakukan pada saat berangkat atau pulang kantor. Tetapi, uniknya, bukan barisan tulisan berita maupun artikel yang dibacanya. Ya, ia lebih gemar membaca jajaran iklan yang terpampang di surat kabar itu. Diakuinya, tak jarang mendapat ide-ide baru dari iklan tersebut, meskipun melihatnya secara sepintas saja.
“Karena tantangan di dunia marketing, ke depannya akan banyak dibutuhkan ‘smart marketer to do smart marketing’. Seorang marketer dituntut untuk mempunyai “ide gila”, inovatif, dan kreatif. Di mana ini dilakukan tanpa adanya batasan kreativitas. Namun, marketer pun harus bisa mengukur efektivitas dari ide-ide tersebut. Singkatnya, seorang marketer juga harus bisa berhitung,” tandasnya mengakhiri wawancara.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Apoteknya Terus Menggurita
Apotek K-24 sukses mewaralabakan retail khusus obat-obatan. Jumlah gerainya kini lebih dari 75 buah. Apa resepnya?
Di antara pembaca pasti ada yang pernah kesulitan membeli obat saat larut malam, terlebih ketika hari libur. Pasalnya, apotek-apotek di sekeliling sudah tutup. Padahal, kebutuhan konsumen akan layanan apotek tidak kenal waktu. Kapan saja orang bisa sakit dan butuh obat.
Pengalaman pribadi seperti inilah yang mengilhami Gideon Hartono mendirikan Apotek K-24. “Karena itu, saya terdorong untuk membuka usaha apotek yang buka 24 jam nonstop,” kata Direktur Utama PT K-24 Indonesia ini.Berdiri sejak 24 Oktober 2002, apotek ini merupakan apotek jaringan pertama yang buka nonstop setiap hari. Nama Apotek K-24 sendiri memiliki dua makna: “K” berarti komplet, dan “24” berarti 24 jam. Artinya, selain komplet obatnya dan apotek ini dapat diakses selama 24 jam.
Meskipun juga beroperasi malam hari, terang Gideon, harga yang ditawarkan merupakan “harga normal”. Tidak ada perbedaan harga antara pagi, siang, malam, bahkan hari libur. Ini merupakan bentuk penjabaran visi dari Apotek K-24 yang ingin memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan obat.
Selain menjual obat resep atau racikan, Apotek K-24 juga menyediakan obat tanpa resep dokter. Kelengkapan tersebut ditambah dengan obat pendukung seperti multivitamin, food supplement, alat kesehatan, bahkan produk non-obat seperti susu dan bubur bayi. Setiap gerai Apotek K-24 menyediakan obat sebanyak 6.000 item. Sedangkan apotek lain, menurutnya, biasanya cuma menyediakan sekitar 2.000-3.000 item obat.
“Ketika membeli obat di sini pun tak perlu merasa takut karena sudah ada jaminan keasliannya. Maklum saja, sekarang ini banyak obat palsu yang beredar di masyarakat, jadi harus hati-hati membeli,” imbuh Gideon. Ia mengaku hanya ingin membeli obat dari distributor resmi atau obat yang ada fakturnya.
Sebenarnya, banyak yang menawarkan obat ilegal dengan harga sangat murah, tapi ia tidak mau karena asal usulnya tidak jelas. Gideon pun menyatakan cuma mengambil margin 17-25% dari obat yang dijualnya, meski dari pihak distributor ada peluang mendapatkan laba 20-40%.
Menariknya, dari segi pelayanan juga tergolong bagus. Apotek K-24 tersohor dengan kualitas service yang prima. Selain menerapkan budaya kerja dalam melayani konsumen, mereka juga punya ruang khusus yang dinamakan pojok konsultasi. Konsumen pun diberi kemudahan dengan adanya layanan delivery order. Bagi konsumen yang membutuhkan obat namun tidak bisa datang, layanan ini dapat dimanfaatkan.
Apotek yang logonya didominasi warna hijau, merah dan kuning ini buka pertama kali di daerah Yogyakarta. Lantaran sambutan masyarakat setempat sangat bagus, Gideon lantas memutuskan untuk membuka gerai berikutnya. Tepat pada 23 Maret 2003, gerai kedua resmi dibuka di daerah Gejayan. Disusul gerai selanjutnya di Gondomanan dan kota Semarang.
Saat ini, Apotek K-24 telah menggurita hingga berjumlah lebih dari 75 gerai. Lokasinya tersebar di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi, Bandung, Cilacap, Kudus, Pati, Ungaran, Kediri, dan Bondowoso. Bahkan di luar Pulau Jawa juga ada, yakni di Medan, Palembang, Kupang, dan Bali. “Di antara semua gerai tersebut, tujuh di antaranya adalah company own dan sisanya milik franchisee,” ujar Gideon antusias.
Rupanya, melihat peluang bisnis yang terbuka lebar, sejak 2005 Gideon mulai menawarkan sistem waralaba. Dipaparkannya, sistem jaringan waralaba ini membuka kesempatan bagi orang yang ingin memiliki usaha apotek, meskipun tidak punya background atau pengalaman di bidang farmasi. Pasalnya, para franchisee yang merupakan active investor tersebut akan mendapat pelajaran sebagai “pengusaha apotek” (ada transfer of knowledge).
Dengan membayar Rp 60 juta untuk masa waralaba 6 tahun, lanjut Gideon, para franchisee akan memperoleh sederet benefit. Antara lain cara meminimalkan risiko kegagalan; penggunaan brand Apotek K-24; berbagai support seperti perekrutan apoteker dan asisten apoteker, pelatihan awal, pendampingan praoperasional hingga soft opening, termasuk pula stok obat awal dan sistem IT, penggunaan franchise operational manual dan dukungan promosi bersama.
“Investasi akan balik modal (break event point) kurang dari tahun ketiga, apabila target omzet terpenuhi,” klaim Gideon yang mengaku mendapat omzet 250-300 juta per gerai. Ditegaskannya, apotek adalah usaha jangka panjang yang sudah ada sejak dulu. Artinya, bukan bisnis musiman yang kadang terpengaruh tren tertentu. Baginya, apotek selalu menjadi tempat pemenuhan “kebutuhan primer”—setelah pangan. Terbukti, usaha miliknya bisa bertahan, meski terjadi krisis ekonomi.
Pastinya, upaya mendekatkan diri dengan konsumen juga tidak dilupakan. Gideon memaparkan, kegiatan promosi yang dilakukan sering kali berkaitan erat dengan acara bakti sosial kemasyarakatan. “Kami sudah menerapkan program Corporate Social Responsibility sebagai bagian dari budaya perusahaan, sekaligus upaya promosi dan marketing brand Apotek K-24 dalam skala nasional,” ujarnya.
Berbagai kegiatan lain pun dilakukan. Tahun 2006, mereka memberikan bantuan peduli gempa Yogyakarta, lalu pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi korban banjir di Jakarta tahun 2007. Kegiatan semacam ini menjadi agenda rutin dalam setiap pembukaan Apotek K-24. Begitu pula dengan perayaan hari besar, apotek ini turut aktif mengadakan event seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri.
“Untuk materi promosi, biasanya kami menggunakan brosur, spanduk, banner, gimmick, dan beberapa aksesoris lainnya. Promosi Apotek K-24 juga bisa dilakukan dengan cara menginformasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik,” tambahnya.
Peraih penghargaan MURI kategori “Apotek Jaringan Pertama yang Buka 24 Jam Nonstop Setiap Hari” dan “Apotek Asli Indonesia yang Pertama Diwaralabakan” ini, rencananya akan terus membuka gerai baru. Wilayah selanjutnya adalah Aceh, Batam, Lampung, Jambi, Balikpapan, Palangkaraya, Makassar, Atambua, dan Maumere—Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pihak manajemen perusahaan menetapkan, tahun 2010 mereka bisa mencapai target 500 gerai yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. “Target ini akan tercapai dengan mengajak para mitra usaha untuk ikut bergabung menjadi Keluarga Besar Apotek K-24. Percepatan pertumbuhan sangat memungkinkan karena K-24 memiliki panduan pendirian dan pengoperasian gerai,” ujarnya mengakhiri perbincangan.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Jumat, Maret 20, 2009
Maudy Koesnaedi: Plus-Minus Jadi Bintang Iklan
Sejak awal kemunculannya di dunia entertain saat membintangi sinetron Si Doel Anak Sekolahan sebagai Zaenab, satu ciri khas Maudy Koesnadi adalah rambut hitam panjang terurai. Sampai sekarang pun ia tetap begitu. Hanya saja sedikit beda. Kalau dulu lurus hitam, kini pakai poni dan diwarnai.
“Saya sempat berpikir untuk memangkas rambut lebih pendek lagi agar terkesan praktis,” kata pemilik nama lengkap Maudy Kusnaria Koesnaedi ini. Namun, keinginan tersebut harus ia pendam sementara waktu. Alasannya sederhana, demi image Kerastase—sebuah merek perawatan rambut dari Paris yang diendorsenya.
Ketika ditemui di Atrium Mal Taman Anggrek dalam acara talkshow produk nutrisi bayi, istri Erik Meijer ini tengah menikmati tugasnya sebagai moderator. “Pastinya, pekerjaan moderator lebih enak dibandingkan iklan. Selain pundi yang didapat lebih besar, bisa juga menambah pengetahuan, wawasan, dan berbagi pengalaman,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 8 April 1975 ini.
Minat Maudy langsung terpancar jika acara yang ditawarkan kepadanya menyangkut dunia anak-anak. Ibu dari Eddy Malik Meijer ini tampak sangat peduli akan tumbuh kembang anak semata wayangnya. “Bahkan, ketika ada tawaran dari salah satu produk untuk ibu menyusui, saya ajak Eddy untuk jadi bintangnya,” papar None Jakarta tahun 1993 ini.
Di sisi lain, bintang iklan kecap Sedaap ini pun menambahkan, kelebihan yang didapat dari iklan adalah kelancaran pasokan produk yang dibintanginya. Selama masih terikat kontrak, ia tak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut. Namun, ketika disinggung kecap merek apa yang dipakai sebelumnya, Maudy enggan menyebutkan. “Pastinya, saya menggunakan produk yang saya iklankan karena mendapat kiriman dari produsennya langsung,” tandasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Cara Lain Menjual “Kenangan”
Konsep Hall of Fame yang diadopsi 3D Baby Prints ternyata mampu mendulang untung. Bagaimana upaya sang pemilik merintis bisnis ini?
Rasanya, sudah banyak pengusaha yang bergelut di bisnis pernak-pernik bayi. Ada yang dibuat secara massal, ada pula yang handmade. Namun, sesaknya pemain di segmen bayi ini tidak menyurutkan niat Henny Tan untuk ikut mencicipi renyahnya bisnis tersebut.
Di bawah bendera PT Tatacipta Mega Pelangi, Henny menjalankan bisnis berlabel 3D Baby Prints. Perusahaan yang berdiri tahun 2006 lalu ini mengkhususkan diri pada pembuatan replika kaki, tangan, maupun anggota tubuh lainnya—sesuai permintaan pelanggan.
“Terinspirasi dari para orangtua yang ingin mengenang masa indah saat bayi mereka lahir, betapa mungil tangan dan kaki mereka, maka saya membuat produk replika ini,” katanya. Bayi memang tumbuh terlalu cepat. Oleh karena itu, Henny menawarkan produk yang membuat momen indah itu dapat dikenang seumur hidup.
Sebenarnya, produk replika semacam ini sudah marak di luar negeri, salah satunya Amerika Serikat (AS). Di Indonesia sendiri, pemainnya tergolong langka. Hampir dipastikan jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena tidak terdengar sepak terjangnya. “Tahun 1996, ada beberapa pemain, tetapi pasarnya tidak meluas. Hanya terfokus di Jakarta saja,” ungkapnya.
Henny pun memutuskan untuk melebarkan sayap bisnisnya hingga ke luar kota. Sayang, keinginannya tak semudah membalikkan telapak tangan. “Untuk membuat satu pesanan replika, saya harus datang ke customer guna proses pencetakan bentuk. Apalagi, pembuatannya sangat tergantung pada mood sang bayi agar hasilnya sesuai keinginan,” tambahnya.
Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan berapa budget yang harus dikeluarkannya untuk menyambangi pelanggan di daerah. Maka, satu strategi jitu ditempuhnya, yakni membuat konsep waralaba. Tepat tahun 2008, waralaba miliknya resmi diluncurkan. Dijelaskannya, sistem ini sangat membantunya menggulirkan roda bisnis, yang semula cuma dijalankan oleh tiga orang.
Kini gerai 3D Baby Prints sudah bisa ditemui di Solo, Surabaya, Malang, Semarang, Manado, Riau, Medan, Bali, Makassar, dan Balikpapan. Namun, satu daerah tidak boleh dipegang lebih dari satu franchisee. Tujuannya agar tidak terjadi bentrokan. Tempat usaha yang digunakan bisa berbentuk rumah, toko ataupun outlet di dalam mal. “Jadi, tidak ada kendala dalam pemilihan lokasi penjualan. Yang terpenting adalah sistem jaringan penjualan,” tegasnya.
Untuk menjadi franchisee, harga yang ditetapkan terdiri dari tiga pilihan: Rp 38 juta, Rp 58 juta, dan 138 juta untuk masa 5 tahun. Selain mendapat suplai bahan dasar pembuatan replika, juga diberikan training cara pembuatan replika selama 3 hari, selanjutnya diinformasikan lewat e-mail.
Produk-produk 3D Baby Prints terbagi dalam beberapa kategori. Harga yang dipatok berbeda untuk skala usia yang dimulai dari nol hingga 8 tahun. Sebagai informasi, pemesanan 1 pieces tangan bayi berusia nol sampai 3 bulan seharga Rp 149 ribu; 4-12 bulan Rp 199 ribu; 13-24 bulan Rp 249 ribu; 25-36 bulan Rp 299 ribu; 3-5 tahun Rp 399 ribu; dan usia 6-8 tahun seharga Rp 399 ribu. Harga tersebut belum termasuk frame, panel kayu maupun plakat nama. Selain itu, masih dibagi lagi menurut jumlah pieces yang dipesan yakni 1 pieces tangan/kaki, 2 pieces tangan/kaki, serta 4 pieces berupa 2 tangan dan 2 kaki.
“Memang harga yang ditawarkan terkesan mahal. Tetapi, saya menilai produk ini adalah karya seni dan dibuat secara handmade. Jadi, wajar saja harganya seperti itu. Di samping itu, pengukuran harga juga dipengaruhi oleh human resource,” ujarnya.
Yang jelas, produk ini didesain khusus untuk setiap pelanggan. Hasil satu desain berbeda dengan desain lainnya. Jadi, sifatnya eksklusif. Menurutnya, bahan yang digunakan pun berkualitas tinggi. Bahan tersebut tidak berbahaya bagi bayi karena terbuat dari rumput laut yang berasal dari AS. Kelebihan lainnya, obyek replika bisa diraba secara utuh lantaran diabadikan dalam bentuk tiga dimensi.
Ditegaskan Henny, target market-nya tak sebatas kalangan menengah ke atas saja, masyarakat menengah ke bawah juga banyak yang memesan. Apalagi replika yang dibuatnya bukanlah barang yang mengikuti tren pasar. Siapa saja bisa menikmati produk ini selama orang tersebut menyukai karya seni—apa pun bentuknya.
Oleh karena itu, ia tak sungkan-sungkan menawarkan kerja sama dengan beberapa rumah sakit dan toko yang khusus menjual pernak-pernik bayi. Sejauh ini, sudah ada 4 rumah sakit yang menjadi mitranya, 2 di Solo dan 2 lagi di Medan. Di luar itu, ada beberapa data mitra lainnya yang belum masuk ke laporannya karena jumlahnya kian menumpuk.
Untuk promosi, 3D Baby Prints menggunakan jalur above the line dan below the line. Hal pertama yang dilakukan Henny adalah mengikuti pameran-pameran di beberapa mal untuk menarik calon pembeli. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara kontinu sebulan sekali. Satu pameran mampu membukukan hingga 100 order. Ia pun mengandalkan word of mouth dalam strategi marketingnya.
“Sekarang saya juga mulai memasang iklan di beberapa media massa untuk menjaring pasar yang lebih luas lagi. Materi iklan ini tak hanya difokuskan pada produk bayi saja, tapi juga dewasa seperti replika wedding. Istilahnya, menggarap pasar family,” ujarnya.
Diceritakannya, selama menggeluti bisnis replika, ia hampir tak pernah mengalami kendala. Selain minimnya jumlah kompetitor, omzet yang didapat pun cukup menggiurkan. Jika mampu menjual 30 pieces sebulan, maka rata-rata laba yang bisa diraup mencapai Rp 5-6 juta per bulan. Hanya saja, kesulitan terletak pada bahan yang mudah pecah sehingga harus berhati-hati saat melakukan finishing.
Lantas, bagaimana prospek bisnis replika ini ke depannya? “Bisnis ini akan terus berjalan selama masih ada bayi yang lahir. Juga selama masih ada orang yang menyukai karya seni atau ingin mengabadikan momen,” pungkasnya optimistis.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Kuasai Pasar dengan 7 Langkah
Bagi Asaba, menggarap pasar B2B tidaklah mudah. Butuh strategi jitu memenangkan pasar. Tujuh langkah pun diterapkan. Seperti apa?
Persaingan di bisnis perlengkapan kantor tidak bisa dikatakan sepele. Kendati jumlah pemainnya tidak terlalu banyak, tapi persaingan di antara para pemain tergolong ketat. Begitulah situasi yang dihadapi Asaba saat ini. “Beruntung kami merupakan perusahaan utama di bidang ini, jadi tak perlu khawatir,” kata Irene Sugiarto, Product Manager PT Asaba.
Sekadar informasi, Asaba Group terbentuk pada 11 Mei 1974, namun mereka sudah mendistribusikan alat-alat kebutuhan kantor sejak tahun 1962. Perusahaan ini sekarang telah menjema menjadi perusahaan yang memiliki reputasi terbaik di bidangnya dengan menonjolkan keunggulan berbisnisnya, yaitu di alat-alat kantor.
Asaba Group terdiri dari lima divisi, yaitu: office equipment and stationery, information technology, manufacturing, distribution, dan food industry. Yang mereka pasarkan cukup beraneka ragam, utamanya alat-alat kantor seperti pensil Staedler, pulpen Zebra, staples Max. Termasuk pula menyediakan mesin fotokopi, layanan jasa komputer, serta ritel.
Sementara itu, PT Asaba—anggota Asaba Group—terus bertumbuh seiring waktu. Dari semula hanya menyediakan alat-alat perkantoran, kini mereka menjadi pemain yang berpengaruh di bisnis kebutuhan kantor, manajemen data, sistem keamanan, sistem survei, dan sebagainya.
Di divisi peralatan kantor, jelas butuh teknik tersendiri dalam memasarkan produk. Maklum, karakteristik produk dan target pasarnya berbeda dari produk massal lainnya. Dari segi target market, misalnya, Asaba menggarap segmen korporat atau pasar Business-to-Business (B2B). Untuk itu, mereka membangun jaringan pemasaran yang efisien di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Balikpapan.
“Biasanya, segmen yang menjadi fokus pemasaran kami adalah kalangan menengah ke atas. Jadi, untuk bisa masuk, harus melalui orang dalam yang mempunyai pengaruh di perusahaan tersebut, misalnya langsung ke jajaran direktur. Oleh karena itu, agar berhasil, dibutuhkan pendekatan pemasaran yang khusus guna meyakinkan mereka akan kualitas produk yang ditawarkan,” ungkap Irene. Merek produk yang dipasarkan di sini antara lain Ibico, Dahle, Kobra, Uchida, KW Trio, dan Deli.
Dalam menggarap B2B, lanjut Irene, Asaba menerapkan tujuh langkah, antara lain melakukan branding the people, brand architecture, audience identification, brand positioning, brand personality, dan konsisten. Dipaparkan Irene, faktor-faktor ini penting jika dilihat dari perbedaan pasar B2B dengan B2C, di mana para karyawan harus bisa mempresentasikan brand promise-nya. Kemudian, dari situlah brand Asaba bisa digaungkan.
PT Asaba pun gencar melakukan komunikasi terhadap para karyawannya. Di benak karyawan, harus tertanam pemahaman bahwa produk Asaba merupakan produk yang unik. Jika dalam diri karyawan sudah ada pemahaman itu, maka secara tidak langsung mereka akan “menularkannya” pada pelanggan yang ditemui. “Ini pun didukung dengan langkah brand personality, di mana kepribadian karyawan bisa mempengaruhi citra produk dan perusahaan,” ujarnya.
Dilanjutkan Irene, langkah lainnya adalah melakukan identifikasi terhadap pelanggan. Hasil identifikasi berhubungan langsung dengan positioning yang dimiliki Asaba. Tentunya, ini harus diimbangi dengan konsistensi awal saat memulai kerja sama dengan pihak lain. “Jangan sampai, pelayanan yang kita janjikan pertama kali tidak dilakukan pada proses berikutnya. Ini bisa membuat customer menjadi kecewa, terutama dari segi kualitas produk,” tegasnya.
Ia pun tak memungkiri, sejumlah perusahaan yang menggarap pasar B2B, sering kali mengabaikan arsitektur merek (brand architecture). Apalagi, perusahaan ini mengeluarkan bermacam-macam merek sehingga perlu ada sinergi antara merek satu dengan yang lain. Baginya, arsitektur merek sangat penting guna menjaga citra perusahaan secara global.
“Oleh karena itu, sebelum fokus terjun ke segmen B2B, perlu dilakukan pemisahan kategori untuk segmen yang akan dituju dengan membuat cluster-nya. Ini bisa dilakukan dari database yang ada, sehingga tahu target customer-nya. Setiap waktu, Asaba selalu memperbaharui database pelanggan, mana yang potensial dan tidak,” jelasnya.
Guna melebarkan sayap, imbuh Irene, Asaba mulai merambah ke mesin cetak digital dengan memanfaatkan jaringan yang ada dan para pelanggan. Dari data yang diperoleh, tingkat penjualan di segmen B2B saja bisa mencapai 60%. “Perbedaan kualitas produk Asaba jauh lebih baik dibandingkan kompetitor. Untuk disebut kompetitor pun (mereka) tidak bisa, karena beda level,” klaim Irene.
Ini pulalah yang membuat Asaba tertarik untuk bermain di segmen B2B. Salah satu alasan Asaba lebih fokus di pasar B2B karena adanya perbedaan pemikiran antarsegmen—khususnya dengan segmen eceran. “Segmen eceran masih menggunakan pemikiran tradisional. Lagi pula, untuk ke depannya pasar B2B jauh lebih bagus,” tambahnya.
Diceritakan Irene, lazimnya untuk mencapai kesepakatan bisnis antara kedua belah pihak, pihaknya harus melewati beberapa tahapan proses seperti pengajuan proposal, presentasi, dan transaksi. Namun, setiap pelanggan memiliki karakter yang berbeda-beda dalam memilih dan membeli produk kebutuhan kantornya. Ada yang menginginkan kualitas, ada juga yang mengedepankan harga murah. “Pintar-pintar sales force-nya saja mengambil hati customer. Maka, kami pun membekali mereka dengan product knowledge. Termasuk strategi dalam memberikan diskon dan jaminan,” ujarnya.
Asaba sendiri pun terbilang royal dalam memperlakukan pelanggannya. Momen-momen istimewa seperti Tahun Baru, Natal, dan Idul Fitri selalu mereka manfaatkan untuk mempererat hubungan kerja sama. Belum lagi pemberian spesial gift bagi customer yang membeli produk dalam jumlah banyak disertai service.
Dengan segala upaya di atas, tidak mengherankan jika pertumbuhan bisnis Asaba dari tahun ke tahun terus meningkat. Setiap hari selalu saja ada transaksi penjualan yang menggelembungkan omzet perusahaan.
Irene menuturkan, kiatnya dimulai dari pengembangan sumber daya manusianya lebih dulu, baru kemudian bisa mengetahui karakteristik dan permintaan customer terhadap produk Asaba. “Dan satu hal yang penting, selalu adakan evaluasi berkala untuk mengontrol kinerja yang telah dilakukan,” tandasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Dyonisius Beti: Know Your Customer
Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan merupakan kunci utama Yamaha dalam men-deliver pelayanan yang berkualitas.
Dyonisius Beti, masih ingat akan pengalamannya dulu ketika berkunjung ke salah satu jaringan resmi Yamaha. Saat itu, sewaktu melayani calon pelanggan, ia banyak terdapat masukan yang amat berharga dalam menentukan program dan strategi perusahaan.
Semula perusahaan beranggapan, diskon harga yang besar akan sangat menarik bagi pelanggan. Ternyata penjelasan informasi mengenai keunggulan produk dan benefit produk adalah hal tepat dan dirasakan sangat berguna bagi calon pelanggan.
Sesuatu yang menurut kita tepat, belum tentu tepat di mata pelanggan. Oleh karena itu, kuncinya adalah know your customer dan selalu mendengarkan apa yang pelanggan katakan.
“Seperti orang berpacaran, bila kita dapat mengetahui isi hatinya maka kita dapat melakukan pelayanan yang dapat merebut hatinya dan kesetiaannya,” ujar Vice President Director PT Yamaha Motor Kencana Indonesia ini.
Customer and Community Satisfaction
Pelanggan adalah manusia yang memiliki emosi. Maka, sesuai dengan filosofi Kando (Touching Your Heart), service culture yang diterapkan Yamaha terfokus pada upaya memberikan pelayanan kepada komunitas, pelanggan maupun calon pelanggan melalui sentuhan pribadi yang mendalam.
“Visi pelayanan kami adalah menciptakan Customer and Community Satisfaction (CCS). Sehingga Yamaha menjadi satu-satunya merek yang dicintai, menjadi aspirasi, dan dikagumi melalui produk maupun brand corporate sehingga dapat memenangi mind and heart share pelanggan,” ungkap Dyon—sapaan akrabnya.
Terkait dengan hal itu, menurutnya, pelanggan Yamaha tidak terbatas hanya pada user, tetapi juga komunitas yang menaunginya. Jadi, meliputi masyarakat di mana user berada. Lalu pengguna itu sendiri serta keluarga besar Yamaha yang mencakup pabrik, diler, pemasok dan segenap orang di dalamnya.
Menurutnya, Yamaha memberikan service yang standardized sesuai dengan filosofi Touching Your Heart. Selain itu, mereka juga memberikan sedikit sentuhan dari Team Management yang rutin ikut turun ke pasar melayani pelanggan. “Intinya, pelayanan yang diberikan setiap jaringan resmi Yamaha harus sama diterima oleh pelanggan.”
Lebih lanjut, ia menjelaskan, kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua faktor penting: kualitas produk dan pelayanan terbaik. Keduanya bisa menciptakan secure feeling yang berujung pada loyalitas pelanggan.
Nah, untuk urusan kualitas, produk Yamaha rasanya tak perlu diragukan. Karena diproduksi dengan standar kualitas Jepang yang mengutamakan perfection pada setiap unitnya dan sederetan standar prosedur pemeriksaan hingga saat produk diterima oleh pelanggan. Juga dilengkapi dengan garansi standar untuk tetap menjaga kualitas produk.
Dari sisi pelayanan pun tak jauh beda. “Kami membuat program CCS yang harus diimplementasikan oleh seluruh jaringan resmi Yamaha,” tegasnya. Bahkan, untuk mengembangkan program tersebut, Yamaha mendirikan departemen khusus, yakni Departemen CCS.
Dipaparkannya, di Yamaha, pelanggan merupakan pimpinan perusahaan tertinggi. Oleh karena itu, mereka selalu mendengarkan dan mengamati behavior pelanggan melalui sistem Yamaha Contact Center.
“Jadi, semua program harus mengutamakan kebutuhan dan kepentingan pelanggan dengan output memberikan ‘total solusi’ terhadap seluruh kebutuhan dan kepentingan pelanggan. Fokusnya harus dekat dengan market sehingga dapat menciptakan pelayanan yang Touching Your Heart, dan diferensiasi untuk brand dan produk Yamaha,” jelasnya.
Pelayanan yang berkualitas merupakan sumber diferensiasi utama perusahaan. Nilai-nilai inilah yang ia tanamkan dalam perusahaan dan seluruh jaringan resmi Yamaha. Berlandaskan itu, dalam sistem rekrutmen, orientasi pada pelanggan adalah salah satu screening tools. “Kami menanamkan kultur yang customer centric,” tegas Dyon.
Dalam proses penerapan kultur tersebut, manajemen senantiasa melakukan sosialisasi dan edukasi, baik di jaringan resmi Yamaha maupun internal perusahaan. Edukasi tersebut tidak berhenti di situ, namun terus berevolusi melalui berbagai program campaign yang bertujuan mempromosikan pelayanan kepada customer.
Seiring waktu, tuntutan pelayanan pun terus meningkat. Bagi Dyon, ini merupakan tantangan bagi pimpinan maupun team member. Kepemimpinan tercermin dalam program role modeling yang diberikan setiap pemimpin dalam barisan manajemen/direksi. Mereka juga menerapkan Yamaha Values, yakni challenge, innovative, consistency, dan integrity untuk menciptakan persaingan dan kesempatan kerja yang fair-play.
Mengetahui siapa dan apa yang diharapkan pelanggan, merupakan kunci utama di bidang pelayanan supaya perusahaan dapat terus-menerus men-deliver pelayanan yang tepat dan memberikan value. “Karenanya, diperlukan kerja sama setiap tim untuk mengontrol dan mengembangkan program-program pelayanan kepada pelanggan; dan Yamaha Contact Center untuk mendengar dan memonitor setiap perubahan behavior yang terjadi di pasar,” lanjut Dyon.
Ketika disinggung tentang sistem pengawasan service quality, ia memaparkan, untuk melakukan pengukuran tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, pihaknya rutin melaksanakan survei dengan berbagai variasi metode. Semua metode pengukuran ini berbuah menjadi ‘improvement priority’ yang menjadi tugas penting setiap departemen dalam meningkatkan kinerja pelayanan.
Berdasarkan hasil pengukuran yang mereka lakukan, loyalitas pelanggan Yamaha tergolong cukup tinggi. Ini juga bisa dilihat dari sederet penghargaan yang mereka terima seperti Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) dan Service Quality Award (SQA). “Tetapi ini bukan berarti tugas selesai, melainkan tantangan baru untuk terus menjaga hati pelanggan kami,“ kata Dyon.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Benny Tjoeng: Dimulai dari Pihak Internal
Service tak harus terfokus pada kepuasan pelanggan saja. Pihak internal pun harus diperhatikan.
Begitulah pandangan Benny Tjoeng, President Director Astra Credit Companies (ACC) ketika disinggung mengenai service. Sebagai perusahaan yang menangani jasa keuangan, kunci utama ACC terletak pada service itu sendiri. Ini bisa dilihat dari misi yang diembannya, yakni “total solution”.
“Semua harus dimulai dari visi. Untuk menjalankan service yang ditetapkan, harus dimulai dari tingkatan internal dahulu. Contohnya, dari pimpinan tertinggi. Di mana pimpinan tertinggi harus bisa melakukan service ke organisasi-organisasi yang ada di bawahnya. Begitu juga dengan saya, harus memberikan service ke jajaran direksi, kepala divisi, dan officer,” urai Benny.
Memang, secara garis besar, pemahaman service hanya tertuju pada pelanggan. Di balik itu, sebelum mencapai pada muara tingkatan pelanggan, ada sebuah proses. Proses dimana service yang dilakukan atasan sampai ke bawah, hingga pada kepuasan pelanggan ACC.
“Service ke customer ACC berjalan jika saya sudah memberikan service kepada pihak internal. Keinginan internal harus diperhatikan terlebih dahulu, sehingga ke tingkat cabang pun tidak ada masalah. Barulah, cabang-cabang tersebut memberikan service ke customer,” imbuh alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Definisi service yang dimaksud pun harus jelas. Artinya, siapa saja yang memakai jasa akhir dari apa pun itu disebut customer. Dicontohkan Benny, di bagian keuangan yang mengerjakan laporan keuangan, maka pelnggannya adalah pemakai laporan keuangan itu. “Customer adalah pemakai jasa setelah proses sebelumnya. Sehingga definisi service ACC is very clear,” katanya.
Kelebihan lain, berada di bawah naungan Astra Group memudahkan ACC dalam menyosialisasikan definisi service tersebut. Sebelumnya, Astra Group sudah membudayakannya di semua jajaran karyawan perusahaan. Nilai yang ditanamkan pada diri karyawan antara lain integrity, orientasi kepada customer, team work, dan quality.
Untuk memberikan service yang sesuai dengan keinginan customer, ACC juga selalu berupaya memahami keinginan mereka. Benny berpendapat, terkadang customer tidak memerlukan penghargaan yang lebih. Cukup dengan hal-hal sederhana saja, seperti ramah, cepat, dan mudah.
Lantas, apakah service di ACC sudah sempurna? “Belum!” tegas Benny. Menurut pria kelahiran Tanjung Karang, 15 Agustus 1958 ini, ukuran dari sebuah service tidak akan pernah berhenti pada satu titik. Ia mengatakan, jika service ACC sudah sempurna, maka service tersebut tidak berkembang lagi. “Setiap tahun harus ada program-program ke arah service internal dan customer,” lanjutnya.
Salah satu program yang dicanangkan ACC tahun 2008 ini adalah ‘Winning Customer Heart’. Program ini menjadi fokus utama ACC dalam memenangkan hati para pelanggannya. Ada banyak strategi yang ditentukan dalam pemenuhan program tersebut, di antaranya kecepatan dan kemudahan pelayanan. Selain itu, program di tahun 2009 dan 2010 pun sudah direncanakan sedini mungkin.
ACC ingin memenangkan hati pelanggan dengan service terbaik. Maka, misi menjadi total solution bisa terwujud sesuai dengan semestinya. ACC memberikan kemudahan bagi customer dalam bentuk pelayanan total dan beragam. Mulai dari pembelian mobil, kebutuhan informasi, dan komplain. Kemudahan tersebut didukung dengan call center, asuransi, hingga perpanjang STNK.
Untuk menunjang itu, ACC memberikan training kepada karyawannya. Training tersebut, dilakukan tiap bulan di 38 cabang retail dan 11 corporate yang tersebar di 27 kota di Indonesia. “Jadi, terlihat grafik perkembangan dan kemajuan service ACC di setiap cabang,” ucap Benny.
Segi pengawasannya pun dilakukan dalam bentuk laporan ke direksi bulanan. Setiap aplikasi program, di tiap-tiap cabang, bisa dikontrol dari nilai skor yang dihasilkannya. Jika hasilnya kurang maksimal, maka dilakukan training kembali untuk target bulan berikutnya. Begitu terus-menerus. “Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini,” tegasnya.
Dalam menerapkan service culture di perusahaan, ungkap Benny, ada tiga poin yang bisa menilai efektivitas service tersebut. Pertama, pimpinan tertinggi harus memberikan contoh kepada bawahannya tentang service yang baik. Kedua, memberikan penjelasan mengenai visi kepada bawahan secara jelas. Terakhir, selalu mengingatkan untuk membuat review kerja setiap hari.
Meski tengah sibuk, Benny selalu menyediakan waktu untuk menghadiri rapat dan diskusi dengan para karyawan. Dari hal seperti itulah, ia jadi mengetahui apa yang diinginkan oleh bawahannya. “Jika ada suatu permasalahan, bisa dicarikan solusi pemecahannya bersama. Kehadiran saya, untuk memberikan support kepada mereka, bahwa ini adalah bentuk komitmen saya,” tambahnya CEO yang menerapkan service dari hal sekecil apa pun.
Sedangkan untuk mengontrol quality service, ACC melakukan dealer survey setiap tahunnya. Survei tersebut untuk mengukur sejauh mana service yang dilakukan diler terhadap customer. Selain itu, dilakukan pula survei kepada customer untuk mengetahui customer survey index. Jika diperlukan, bisa juga dilakukan investigasi langsung. “Ini untuk meminimalisir keluhan customer terhadap service yang dilakukan ACC,” ujarnya.
Bagi Benny, antara membangun sebuah service quality dan mempertahankannya, sama-sama tidak mudah. Karena Astra Group sudah terkenal dengan mental culture yang sudah terbentuk, maka tidak sulit untuk membangun sebuah service quality.
“Namun, jika service quality sudah ada, tetapi tidak dikembangkan secara baik hingga berdampak pada penurunan, maka untuk membangunnya kembali akan lebih sulit. Makanya harus di-manage terus-menerus,” jelasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Senin, Maret 02, 2009
Indra Bekti: Beban Sekaligus Bangga
Wajah komersil ini kian sering muncul di televisi. Tak hanya jadi presenter, sejumlah iklan pun ia bintangi. Salah satu yang mencuri perhatian adalah iklan kartu Simpati dengan berbagai versi. “Karakternya harus kuat, setiap peran berbeda-beda. Ada yang jadi penari Aceh, suporter bola, sampai goyang ala Inul,” ujar Indra Bekti.
Pria kelahiran 28 Desember 1977 yang bernama asli Bekti Indratomo ini menuturkan, ada trik-trik khusus dalam membintangi iklan. Hal itu terkait dengan pesan dan waktu yang disediakan. Dalam hitungan menit, bahkan detik, endorser harus semaksimal mungkin menarik minat konsumen terhadap produk yang diiklankan.
“Tetapi karakter yang kuat di satu iklan produk tertentu, bisa jadi beban juga. Contohnya, ketika ada tawaran produk lain, maka klien akan ‘terbayang-bayang’ dengan produk yang saya perankan sebelumnya. Maklum, takut pesan tidak sampai ke konsumennya,” tambahnya ketika ditemui di sela syuting Prime Time.
Sejauh ini kondisi tersebut bisa diatasi oleh Bekti. Buktinya, selain sukses sebagai presenter di acara Ceriwis (bersama Indy Barends), ia juga berhasil membintangi sederet iklan seperti Simpati, Sanorine, Kapal Api, Victoria Perfume, Smash, Tabungan Batara, dan Daia.
Pada dasarnya, ia mengaku tidak memilih-milih iklan produk yang akan ia bintangi. Gawean ini bisa memberi kontribusi 40% pada penghasilannya. Hanya saja, dari sisi manajemen, ia punya pertimbangan lain. “Semakin banyak membintangi iklan berarti sedang naik daun. Tapi, penonton jadi bosen juga kan. Pengaruhnya ke image pribadi maupun produk itu sendiri,” celetuk pria yang pernah bermain di film Cinta 24 Karat dan Biarkan Bintang Menari ini.
Bintang iklan harus menghayati karakter sebaik-baiknya. Sebab, dalam iklan lebih ditonjolkan peran yang detil dan totalitas. Tengok saja, untuk adegan tersenyum dan tertawa pun dilakukannya dengan “berlebihan”. “Jadi, kalau kurang pas bisa diulang-ulang terus,” ungkapnya.
Baginya, endorser memiliki peranan penting dalam mengenalkan produk kepada konsumen, terutama untuk produk baru. Maka, tak jarang ia merasa bangga jika produk yang dibintanginya berhasil mencapai target penjualan. “Jika tingkat penjualan terus tinggi, versi iklan berikutnya bisa ditunda karena perusahaan fokus pada permintaan konsumen,” aku lajang yang berharap di hari tuanya nanti masih dipercaya membintangi iklan seperti Titiek Puspa.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Meski Ditiru, Tetap Tak Tergoyahkan
Di tengah maraknya follower di kategori produk cat semprot, Pylox tetap bertahan sebagai pemimpin pasar. Apa Kuncinya?
Masih ingat dulu masa ketika lulus SMP atau SMA? Waktu itu mungkin Anda atau teman-teman Anda pernah ikut menerapkan budaya tanda tangan pada pakaian seragam dengan menggunakan spidol dan cat semprot. Ada yang kemudian sampai memajang pakaian itu di kamar sebagai “benda bersejarah” peninggalan zaman sekolah.
Sewaktu menyusuri jalan di kota-kota besar pun Anda pasti pernah melihat coretan warna-warni cat semprot di dinding kosong, halte, metromini hingga tiang listrik. Entah itu tulisan nama gang ataupun kritik terhadap pemerintah. Namun, tidak selamanya cat semprot melulu dipakai untuk aksi coret-mencoret. Penggunaannya juga bisa untuk memodifikasi cat warna mobil, peralatan kayu, besi dan lain sebagainya.
Menilik kisah di atas, cat semprot atau sering disebut Pylox memang sudah sangat populer sejak lama. Jika ditanya merek cat semprot apa yang paling diingat, hampir pasti konsumen akan menjawab, “Pylox”. Maklum, saking kuatnya brand awareness yang dimilikinya, Pylox sudah berkembang menjadi merek generik.
Akan tetapi, agaknya tidak banyak yang tahu bahwa Pylox adalah sebuah merek besutan PT Nipsea Paint & Chemicals (Nippon Paint Indonesia). “Pylox diproduksi oleh Nippon Paint yang diperkenalkan Jepang ke Indonesia pada tahun 1968. Pabrik pertamanya di Ancol, Jakarta. Kemudian kami berturut-turut mendirikan tiga pabrik di Surabaya, Medan, dan Purwakarta,” kata Jon Tan, General Manager PT Nipsea Paint & Chemicals.
Diceritakannya, pada tahun 1960-an, Nippon Paint merupakan pabrik pertama yang memperkenalkan cat semprot di Indonesia. Kesuksesan merek Pylox dalam menggarap pasar, membuat banyak pemain lain tergiur untuk terjun ke bisnis ini. Maka, bermunculanlah followers di segmen cat semprot. Bukan itu saja. Hampir semua produk cat semprot tersebut menjalankan camouflage branding dalam upaya penetrasi pasar. “Produknya muncul di pasaran menggunakan merek dengan cara pengucapan yang hampir sama dengan Pylox,” jelas Jon.
Meski begitu, imbuhnya, para kompetitor yang mayoritas mengunakan merek lokal itu tidak mampu menandingi sang pionir. Masalah yang sering dialami brand lokal tersebut adalah kualitas produk itu sendiri. Misalnya waktu pengeringan yang lama, kerusakan pada panel spray, hingga kurangnya tekanan gas. Memang ada juga segelintir brand asing, tapi harga yang ditawarkan lebih mahal dan cuma dijual di toko-toko specialties seperti Ace Hardware, Depo Bangunan, dan Mitra 10.
“Banyak pemain di kategori ini seperti Krylon buatan USA. Selain itu, ada juga pemain lokal dan regional seperti RJ, Diton, dan Tiloc,” ungkap Jon. Ia menegaskan, sejak berdiri pada awal tahun 1970, Pylox sudah menjadi market leader (ia tidak mengungkapkan berapa persen share yang dikuasai). Walaupun kemudian banyak kompetitor yang nongol di daerah lain di Indonesia, namun mereka terhambat faktor geografis. Jadi, hanya leader di daerah tertentu. Sedangkan Pylox bermain di pasar nasional yang terbentang dari Medan hingga Papua.
Dalam sistem distribusi, merek ini menggunakan dan bekerja sama dengan berbagai distribution channels, yang didukung oleh empat pabrik. Ditambah dengan jaringan yang terdiri sekitar 15.000 retail points dari 30 lebih stock point yang ada. “Kami berani mengatakan bahwa Pylox ada di mana-mana, di seluruh Indonesia, sehingga Pylox mudah dijangkau konsumen,” klaimnya.
Sulit dibantah, Plylox berhasil menguasai pasar karena kualitas produknya. Kualitas memang menjadi perhatian utama mereka. Bayangkan, hingga saat ini pun banyak bahan pendukung untuk cat semprot Pylox diimpor langsung dari Jepang. Nippon Paint memusatkan diri pada produksi cat di Indonesia dengan varian produk cat semprot yang dapat digunakan pada produk otomotif, pelapis kayu, cat tembok, dan pelitur.
Saat ini, Nippon Paint menyediakan berbagai pilihan warna, baik solid maupun metalik. Jumlahnya mencapai 300 lebih varian warna. Dengan demikian, tutur Jon, bisa mengangkat citra pasar dari pabrik otomotif asal Jepang Indonesia—yang notabene menggunakan cat dari Nippon Paint—misalnya Honda, Suzuki, Yamaha, Mitsubishi, Daihatsu, dan lainnya.
“Setiap memperkenalkan varian warna baru untuk produk otomotif, kami juga membuatnya untuk versi Pylox. Tujuannya agar mempermudah pengguna, khususnya kalangan pecinta otomotif yang ingin memperbaiki atau memodifikasi varian warna kendaraannya sendiri,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jon Tan mengungkapkan, Nippon Paint tetap percaya pada hal yang fundamental dalam hal produksi, yakni kualitas seperti yang disebutkan di atas. Ditambahkannya, mereka juga terus memastikan ketersediaan Pylox di pasaran—kapan pun dan di mana pun. Teknik lainnya adalah menciptakan kepercayaan kepada pelanggan untuk tetap menggunakan produk Pylox.
Bagaimana dari sisi harga? “Bentuknya menetapkan satu standar harga pada keseluruhan varian warna,” tuturnya. Pricing strategy ini ditetapkan semaksimal mungkin agar menjaga harga jual produk masuk akal serta mudah dijangkau konsumen. Untuk itu, Nippon Paint menerapkan subsidi silang pada kategori penjualan warna (dilihat dari faktor harga). Artinya, warna yang mahal akan menutupi harga jual kategori warna yang lebih rendah.
Uniknya, di balik keberhasilan merek Pylox, Jon mengaku bahwa promosi yang dilakukan hampir tidak ada. Mereka cuma mengandalkan word of mouth. Kuncinya sekali lagi terletak pada kualitas. Dan untuk menghasilkan itu, maka budget promosi digunakan untuk pengembangan serta peningkatan kualitas produk. Pylox juga selalu mengusahakan harga jual serendah mungkin tanpa mengenyampingkan kualitasnya.
Ke depan, Pylox akan melakukan inovasi-inovasi khususnya dalam hal produk. Ia mencontohkan, Pylox akan memperkaya varian warna baru, warna yang tahan lama, cat dengan waktu kering yang lebih cepat, serta smoother spray. “ Target kami adalah pertumbuhan di atas 10%,” katanya dengan lugas.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Andy Iskandar: Perlu Customers Insight
Wanita merupakan pasar yang cukup menggiurkan bagi para marketer. Meski demikian, produk yang ditawarkan mesti didukung oleh strategi pemasaran yang tepat. Bila ingin sukses, sang marketer tentu harus memahami keinginan wanita.
Mungkin, gambaran di atas juga mewakili perasaan Andy Iskandar, Marketing Manager Feminine Care PT Kimberly-Clark Indonesia. “Sejak 10 tahun lalu, saya terjun ke dunia marketing di berbagai industri seperti mobil, biskuit, kecap, kosmetik, dan lainnya. Umumnya, semua yang saya pasarkan adalah produk wanita,” kata Andy.
Beragam pengalaman pun sudah dicicipinya. Tanpa sadar senyumnya mengembang mengingat kenangan tersebut. “Uniknya, sewaktu menangani produk kecap, saya tidak bisa masak. Pegang kosmetik pun tidak bisa mencoba. Apalagi sekarang, pegang Kotex juga tidak bisa pakai,” aku pria yang pernah bergabung di Toyota Astra Group, Arnott Biscuit, Kecap ABC, dan Martha Tilaar ini.
Inilah tantangan yang dihadapi pria kelahiran 19 Desember 1971 ini dalam memasarkan produknya. Ia menambahkan, bagaimana bisa presentasi sebuah produk tanpa dilatari pengalaman pribadi. Namun, keinginan Andy untuk mengaplikasikan knowledge sangat besar, meski bukan dari gendernya. Pada dasarnya, dunia marketing secara teori maupun praktik lapangan sifatnya sama. “Pastinya, saya harus tahu apa yang diinginkan konsumen dan mengerti apa kebutuhannya. Jadi, customers insight sangat diperlukan,” tandasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING