“Agen 1.000 Sunlight” ternyata mampu mendongkrak awareness Sunlight hingga 95% dari semua produk buatan Unilever. Program ini juga berhasil memperkuat distribusi produk tersebut.
Jika diperhatikan secara kasat mata, hampir semua produk-produk keluaran Unilever bisa merambah ke berbagai lini distribusi. Tak terkecuali Sunlight. Produk ini mudah dijumpai di toko-toko besar ataupun di kios-kios di pelosok daerah. “Sunlight mengikuti instrumen distribusi yang diterapkan Unilever baik secara tradisional maupun modern. Sunlight bisa ada di display swalayan hingga ‘pasar basah’,” ungkap Herry Budiazhari, Marketing Manager Household Care & Nomos PT Unilever Indonesia Tbk.
Berada dalam naungan Unilever, memudahkan Sunlight untuk melakukan penetrasi pasar dan pendistribusian produknya. Sejak hadir puluhan tahun silam, produk yang berevolusi bentuk dari sabun batang menjadi cair ini memiliki distribusi skala nasional, dimulai dari Aceh hingga Jayapura. Bahkan, daerah kecil pun tak luput menjadi sasaran penjualan Sunlight.
Untuk mendukung sistem distribusinya, Sunlight tak hanya mengandalkan instrumen yang ada. Untuk itu, dilakukan inovasi produk dan variannya. Kemasan Sunlight terdiri dari 90 mililiter, 200 mililiter, 400 mililiter, dan 800 mililiter baik refill atau bottle dengan tiga varian Lime, Lemon, dan Strawberry. Distribusi dilakukan dengan menyelaraskan pack size untuk tiap-tiap channels. Untuk menjangkau ritel menengah ke bawah, misalnya, dibuatlah Sunlight seharga Rp 1.000 supaya lebih mengena sasaran.
“Semua wilayah Indonesia masuk ke jaringan distribusi Sunlight. Sejauh ini ada sekitar 250 kota yang ada dalam database kami, dan tak menutup kemungkinan lebih banyak lagi. Bahkan, ada beberapa kota yang kami sendiri tidak tahu letaknya di mana, sampai dicari di Google untuk memastikannya,” imbuh Afriani Karina, Brand Manager Sunlight.
Ya, memang banyak nama “daerah aneh” yang masuk ke data mereka sejak program Agen 1.000 Sunlight diluncurkan tahun 2006 lalu. Program ini ditujukan kepada para ibu rumah tangga agar mengajak orang di sekitarnya untuk mencoba Sunlight sehingga menjadi pemakai Sunlight.
Siklus distribusinya sendiri berawal di pabrik, atau biasa disebut central house, yang menyediakan ragam produk Sunlight untuk disebarkan ke seluruh Indonesia. Dari central house tersebut dilanjutkan ke distributor dan sales yang menjajakan hingga ke tingkat ritel. Karena adanya aktivitas Agen 1.000 Sunlight, di tingkat ritel tidak perlu menunggu lama untuk menjual Sunlight.
“Inspirasi itu datang dari adanya kenyataan bahwa ibu rumah tangga memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Ini merupakan power yang dimiliki para ibu dari kebiasaan kesehariannya. Dengan sendirinya, komunitas Agen 1.000 Sunlight pun terbentuk dengan nama Ibu Bersinar Sunlight,” kata Herry yang ditemui di ruang kerjanya.
Dari observasi dan pengamatan lapangan yang dilakukan, tambahnya, jika mereka menggelar acara-acara Sunlight, antrian paling panjang adalah demo mencuci piring dengan Sunlight. Antusiasme ibu-ibu untuk mencoba dan membuktikan keampuhannya sangat tinggi. “Diharapkan sekali mencoba, tertarik dan pakai Sunlight. Apalagi jika dipromosikan oleh agen yang merupakan sanak saudara atau kerabat yang dikenalnya, akan timbul rasa percaya pada kualitas Sunlight itu sendiri,” ungkapnya.
Herry menjelaskan, dalam mempromosikan “new distribution channel” ini, Sunlight sudah melakukan banyak cara termasuk yang konvensional. Dari segi media komunikasi, ada TV Commercial dengan menampilkan artis Khrisna Mukti sebagai Duta Sunlight dan para Agen 1.000 Sunlight. Untuk below the line, dilakukan event-event khusus yang mengundang para Agen Sunlight untuk mengisi acara.
Dalam program ini, si agen bisa sebanyak-banyaknya merekrut orang lain untuk menggunakan Sunlight. Namun, cara yang digunakan untuk mengedukasi produk Sunlight berbeda-beda, tergantung pilihan masing-masing agen. Ada yang melihat dari kualitas, hemat sabun dan air, mudah dibilas, serta tidak mencemari lingkungan. “Tim Sunlight hanya memberi contoh saja, cukup setetes Sunlight bisa mencuci puluhan piring berlemak,” ujarnya berpromosi.
Agen 1.000 Sunlight bisa diartikan mencari sebanyak 1.000 agen atau harga dari salah satu ukuran produk Sunlight yang dijual Rp 1.000. “Sebenarnya Agen 1.000 Sunlight merupakan market activity yang ditujukan untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan awareness dan trial produk,” imbuh Afriani sambil menerangkan bahwa program ini sukses mendongkrak awareness Sunlight hingga 95% dari semua produk buatan Unilever.
Ternyata, dari satu agen bisa menyebar secara luas dan cepat, apalagi jika si agen termasuk kriteria aktif. Alhasil, ada beberapa yang mendapat ikon “Agen Sunlight” di daerahnya masing-masing. Dijelaskan Herry, sistem Agen 1.000 Sunlight bisa berdampak pada ritel juga. Permintaan akan meningkat di tingkat ritel, sehingga para retailer pun harus mempunyai persediaan stok Sunlight.
Lebih lanjut, Herry memaparkan, jika domain recycle-nya berjalan, dapat dipastikan sistem distribusi akan mengikuti. Jaringan distribusi pun bisa melebarkan sayap hingga ke para user itu sendiri. “Permintaan meningkat, maka volume produk pun bertambah. Jika volume semakin besar, maka biaya produksi jauh lebih murah, dan harga jual pun bisa ditekan. High coverage makin meluas dan menjangkau long tail market,” tambahnya.
Dalam perkembangannya, jumlah Agen 1.000 Sunlight ini sudah mencapai ribuan lebih di sejumlah daerah. Tingkat aktivitas di tiap-tiap daerah pun merata. Afriani mengatakan , di tingkatan daerah, penyebaran Agen 1.000 Sunlight bisa dilihat dari para pemenang yang datang dari Makassar, Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota lainnya. “Sampai ke Belitung juga,” tegasnya.
Namun, saat disinggung seberapa besar kontribusi Agen 1.000 Sunlight dalam meningkatkan penjualan, Herry mengungkapkan, sebenarnya ada atau tidak adanya Agen 1.000 Sunlight, sistem distribusi tetap berjalan di lini tradisional dan modern. “Agen 1.000 Sunlight (dibuat) untuk menjangkau dari rumah ke rumah, sifatnya memastikan bahwa Sunlight sudah menjadi pilihan ibu-ibu.”
Fisamawati
Majalah MARKETING
Senin, Februari 09, 2009
Sunlight: Distribusi Lewat Komunitas
Herry Swandito: Suka Dunia Kompetitif
Maraknya bisnis layanan internet dan multimedia services tak menjadikan nyali Herry Swandito menciut. Bahkan, jumlah provider yang terus bertambah seiring tuntutan permintaan pelanggan justru bagus menurutnya. “Logikanya, melihat fenomena di atas, maka pasokan market layanan internet semakin meluas. Apalagi, akses internet merupakan kebutuhan yang patut dipertimbangkan. Jadi, services seperti ini perlu,” kata Herry, panggilan akrabnya.
Sebagai Sales & Marketing Director di PT Indosat Mega Media (IM2), kesibukan Herry sehari-hari adalah terus berkutat seputar sistem penjualan layanan IM2 kepada customer. Ketika disinggung soal job desk-nya, spontanitas ia pun menjawab, “Cari pelanggan, cari pelanggan, dan cari pelanggan.”
Lantas, apa tidak jenuh? “Suasana yang kompetitif dalam mencari pelanggan merupakan faktor penyemangat saya dalam bekerja. Bisa dikatakan, ‘kedip sedikit, pelanggan hilang’. Mungkin, jenuh jika suasana industrinya tidak kompetitif,” ujar pria yang mendapat beasiswa dari British Council ini.
Diibaratkan posisinya sekarang ini gampang-gampang susah. Meski berada di dunia yang kompetitif, ia tak pernah berada pada kondisi stuck. Sikap optimisnya yang tertanam kuat memacunya terus mencapai target market yang ditujunya. “Semua tergantung pada services kita kepada customers. Apalagi di dunia kompetitif semacam telekomunikasi, harus mawas biar enggak kecolongan. Inilah tantangannya,” katanya pehobi olahraga yang “ada lawannya” ini.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Kamis, Februari 05, 2009
Esia Transfer: Bermula dari Keadaan Darurat
Ketika para operator seluler sibuk menggaet pelanggan dengan iming-iming tarif termurah. Esia justru aktif menjalin keeratan sesama pelanggannya melalui program transfer pulsa. Bagaimana ceritanya?
Tidak banyak memang yang sudah terbiasa dengan program baru berlabel Esia Transfer yang dikeluarkan PT Bakrie Telecom. Tapi, tahukah Anda bahwa ini merupakan salah satu saluran yang digunakan Esia untuk memperluas penyebaran jaringan distribusi yang bersifat direct selling.
“Esia Transfer mulai ada sejak tahun 2006 lalu. Melalui program ini, pelanggan bisa mentransfer pulsa yang dimilikinya kepada pelanggan Esia lainnya tanpa terikat waktu dan lokasi,” ujar Charles Sitorus, Executive Vice President of Sales PT Bakrie Telecom ketika ditemui di Gedung Wisma Bakrie, Jakarta Selatan.
Meskipun bersifat program promo—sama halnya dengan program Untung Pakai Esia seperti menelepon GSM dan jual konten bisa dapat talk time, sebenarnya Esia Transfer juga berfungsi sebagai sarana jualan yang dikemas apik dengan melibatkan partisipasi pelanggannya. Di sini, pelanggan bisa masuk ke dalam sistem distribusi tanpa adanya paksaan dan keharusan tertentu.
Dijelaskan Charles, Esia Transfer hanyalah sebagian kecil dari instrumen distribusi yang diterapkan Esia. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh adanya kendala-kendala dari pelanggan yang hendak mendapatkan pulsa. Misalnya, pelanggan tersebut dalam kondisi yang tidak memungkinkan seperti tutupnya outlet di malam hari atau terjebak macet di jalan. “Jadi, pelanggan bisa meminta kepada orang yang dikenalnya untuk mentransfer pulsa. Sistem transaksinya dilakukan di antara mereka sendiri, termasuk cara pembayarannya.”
Penggunaan Esia Transfer ini sederhana saja. Pelanggan cukup mengirimkan short message service (SMS) kepada pelanggan lainnya. Jika pelanggan tersebut mentransfer pulsa, maka si penerima akan mendapat informasi tentang pengisian pulsa yang dapat digunakannya. “Tentu saja ada benefit yang akan diperoleh si pengirim pulsa. Dari Esia berupa bonus talk time, sedangkan dari penerima berupa keuntungan hasil jual pulsanya,” lanjut Charles seraya menuturkan bahwa pihaknya menerapkan konsep win-win dengan pelanggan.
Hanya saja, diakuinya, sistem Esia Transfer masih membutuhkan komunikasi ekstra dalam penetrasi pasar. Untuk memudahkan sosialisasinya, Esia mengadakan campaign dan training di outlet-outlet. Sebab, di benak pelanggan sering muncul pertanyaan mendasar tentang bagaimana tata cara pembayarannya kepada si pemberi pulsa. Karena itulah, penyebarannya hanya terbatas di kalangan teman, rekan kerja, dan keluarga saja. “Sedikit sulit untuk go public,” ungkapnya.
Fenomena transfer pulsa, lanjutnya, di masa mendatang akan meningkat seiring kebutuhan dan gaya hidup masyarakat yang menginginkan kemudahan dalam layanan dan services. Kelebihan dan kekurangannya pun sudah diperhitungkan. Termasuk soal cost yang dirasakan sangat menguntungkan, yakni tidak diperlukan biaya untuk mendirikan outlet baru dan membayar insentif untuk para sales.
Charles optimistis, melalui Esia Transfer tersebut, distribusi memiliki kesempatan untuk memberikan kecepatan layanan kepada pelanggannya. Kini, bisa diibaratkan pelanggan tak perlu susah payah datang ke outlet untuk mendapatkan pulsa. Bagi Esia, tentunya ini bisa menghemat waktu dan tempat. “Sedangkan bagi pelanggan, kami memberikan kesempatan untuk menjalankan usaha dan mendapat penghasilan tambahan,” klaimnya.
Perlu diketahui, Esia memiliki dua sistem distribusi, yakni direct dan indirect selling. Kedua sistem ini punya keunggulan masing-masing. “Tapi, kontribusi yang paling besar tetap berasal dari yang indirect dengan pencapaian angka 90%. Ini mencakup penyebaran wilayah distribusi dan kecepatan memperoleh produk Esia dari gerai ke pelanggan, termasuk services,” tegasnya.
Untuk menunjang penyebaran distribusinya, Esia memiliki total 53 gerai di seluruh Indonesia. Gerai-gerai tersebut bekerja sama dengan distributor setempat untuk memperluas area pemasaran. Disebutkan Charles, di Jakarta saja berjumlah 2.000 outlet yang dipegang satu distributor. Adanya distributor sangat membantu Esia dalam pemasarannya. Hingga kini, Esia sudah merambah ke Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Makassar, Samarinda, dan lainnya.
Banyaknya gerai yang terus tumbuh selaras dengan meningkatnya jumlah pelanggan Esia. Pada akhir tahun 2005 berjumlah 500 ribu; tahun 2006 mencapai 1,5 juta; dan di penghujung tahun 2007 sekitar 3,8 juta pelanggan. Pencapaian ini didukung sales force yang kompak. Meski enggan menyebutkan jumlah pastinya, ia menjelaskan, tugas sales force secara garis besar adalah memantau situasi harga, ketersediaan produk, dan membantu gerai jika mengalami masalah. “Yang penting jangan sampai kehabisan barang di tiap-tiap gerai, jadi supply barang harus terus dilakukan demi kepuasan pelanggan,” imbuhnya.
Uniknya, Esia belum memiliki patokan baku tentang syarat dan ketentuan mendirikan gerai baru. Tidak ada alasan spesifik mengapa suatu area menjadi pilihan. Bahkan, untuk membaginya secara geografis saja tidak diterapkan. Jumlah pelanggan pun belum tentu jadi ukuran dibukanya gerai tersebut.
“Umpama di Wisma Bakrie ini, hanya dilihat dari strategis eksistensi saja. Tujuannya, hanya ingin mencoba mendekatkan diri dengan gerai-gerai yang ada sehingga lebih efektif dan efisien. Tapi, satu hal, dalam mendirikan gerai baru, patut diperhitungkan potensi pasarnya,” ujarnya.
Diharapkan dengan dibukanya gerai baru di suatu area, mereka bisa memberikan pelayanan kepada pelanggan semaksimal mungkin. Jangan sampai pembukaan gerai baru malah berdampak pada penurunan kualitas pelayanan daripada yang sebelumnya. “Services harus tetap jadi prioritas,” tegasnya.
Ia juga melihat persaingan antara operator seluler semakin panas, plus perang tarif masih berlanjut. Esia pun pasang kuda-kuda. Ia mengatakan, Esia tidak ingin bermain di perang tarif tersebut. “Kami fokus pada kualitas agar perusahaan bisa survive,” ujar Charles menutup pembicaraan.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Produknya Kini Beraneka Ragam
Keberanian Columbia untuk bereinkarnasi patut diajungi jempol. Tak hanya menyediakan barang elektronik dan furnitur, tapi juga mencoba memasarkan sepeda motor. Berhasilkah?
Columbia Cash & Credit, yang berdiri sejak 28 Februari 1982, awalnya cuma sebuah jaringan distribusi. Tugasnya adalah memasarkan produk-produk elektronik dan furnitur dari negara Eropa—khususnya Jerman dan Belanda. Lambat laun, produk buatan China dan Jepang pun ikut pula dipasarkan karena tingginya minat beli masyarakat terhadap harga murah. Alhasil, Columbia bereinkarnasi menjadi pusat ritel produk elektronik dan furnitur.
Sekarang, Anda jangan heran jika melihat jajaran sepeda motor terpampang gagah di setiap showroom Columbia. Layaknya dealer-dealer motor resmi lainnya, Columbia melengkapi koleksinya dengan merek-merek sepeda motor yang kualitasnya sudah dikenal masyarakat. “Tahun 2008 ini, Columbia mulai memasarkan sepeda motor, baik dari merek yang sudah ada maupun merek yang dikeluarkan Columbia,” kata Darwin Leo, Marketing & Sales Director PT Columbindo Perdana.
Sepintas jika dilihat dari produk yang ditawarkan, Columbia tak ada bedanya memang dengan dealer-dealer resmi. Hanya saja, gerainya dilengkapi dengan consumer financing agar produk yang dibeli bisa mendapat pengelolaan biaya.
“Grup Columbia mengelola semuanya secara keseluruhan, dimulai dari breading, manufacturing, selling, retailing hingga distribution. Semuanya dengan pembiayaan sendiri. Kami merupakan kombinasi antara retail dan finance. Oleh sebab itu, kami mengetahui secara detil produk-produk secara penjualan, pembiayaan, sampai services,” papar Darwin yang ditemui di kantor pusat Columbia di Jakarta.
Sejauh ini, Columbia menyediakan aneka produk berupa furnitur, consumer electronics, musical instrument, IT products, motorcycle, handphone prepaid and postpaid voucher. Dijelaskannya, dalam menetapkan produk yang ingin didistribusikan, Columbia memberikan kriteria khusus. “Yang pasti top selling untuk memudahkan sistem yang ada. Kedua, fokus terhadap beberapa merek yang sudah memiliki kualitas dan kuantitas produk di mata masyarakat pada umumnya seperti Samsung, LG, Sharp, Olympic, Suzuki, Sanyo, Canon, dan Sony.”
Columbia sendiri mempunyai 550 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia. Outlet-outlet tersebut meng-coverage sebanyak 400 kota di titik strategis per wilayah. Sedangkan bentuk outletnya terbagi menjadi beberapa bagian tergantung kondisi masing-masing wilayah. Menurut data Columbia, hampir 90% showroom berbentuk toko atau ruko; mal sekitar 5%; shop in shop ada 3%; dan housing sekitar 2%. Diakuinya, memang untuk beberapa daerah tidak didirikan outlet. Tapi, untuk menjangkau wilayah itu, mereka menyediakan sales mobile demi mendekatkan diri dengan pelanggan.
Dalam hal ini, Columbia dibantu oleh 15.000 karyawan yang mayoritas adalah sales. Sales mereka dibagi dua, yakni sales counter dan sales executive. Jumlah untuk sales counter sekitar 3.200 orang dan sales executive sekitar 6.000 orang. “Perbedaan kedua sales tersebut hanyalah pada sistem kerjanya. Sales counter khusus ditempatkan di konter yang ada, sedangkan sales executive sifatnya door-to-door,” imbuhnya.
Columbia, imbuh Darwin, mampu menjangkau daerah-daerah terpencil dalam pendistribusiannya. Contohnya, di Nusa Tenggara Barat. Banyak prinsipal yang tidak mempunyai jaringan di daerah itu, justru Columbia ada. Dengan demikian, prinsipal bisa mengandalkan Columbia untuk membantu penetrasi pasar di luar jaringan yang dikelolanya sendiri.
Wilayah yang menjadi jaringannya bisa dimulai dari abjad A sampai Z. Columbia tidak terfokus pada satu titik wilayah, tapi mengutamakan spreading sehingga coverage wilayah bisa ditangani. Beberapa nama wilayah yang juga dijangkau Columbia adalah Balikpapan, Banjarmasin, Bangka, Belitung, Bantaeng, Denpasar, Gorontalo, Kendari, Lampung, Madiun, Magelang, Palu, Pare Pare, Pontianak, dan lainnya.
“Kepemilikan dipegang resmi oleh Columbia sendiri, begitu juga dengan pengelolaan dan pengembangan jaringan distribusinya. Tidak ada showroom yang diberlakukan dalam sisitem waralaba maupun business opportunity,” katanya menjawab pertanyaan tentang luasnya jaringan distribusi Columbia. Maklum saja, dalam kurun yang relatif singkat showroom Columbia sudah menggurita hingga ke luar Pulau Jawa.
Dilanjutkan Darwin, banyaknya jumlah showroom Columbia di daerah-daerah bisa memberi keuntungan bagi prinsipal yang mempercayakan pendistribusian produk. Ini dijamin dengan jaringan Columbia yang mampu menjangkau daerah terpencil sekalipun. “Prinsipal tidak perlu membangun cabang atau outlet baru, membayar gaji pegawai serta pengurusan izin ke pemerintah daerah setempat sehingga bisa meminimalisir cost perusahaan,” promosinya. Ia juga menuturkan bahwa kontribusi yang diberikan Columbia kepada prinsipal bisa mencapai kisaran 30-40% dari total penjualan keseluruhan. Sehingga bisa diprediksikan, Columbia membantu peraihan market share para prinsipal.
Dalam hal distribusi, ada beberapa tahap yang dilakukan Columbia dalam proses pengiriman produk. Pertama, pengiriman langsung dari supplier ke gudang-gudang yang ada. Kedua, pengiriman dari satu gudang ke gudang lainnya—tanpa dibatasi wilayah. Ketiga, pengiriman langsung dari gudang ke konsumen. Untuk memperlancar distribusi, Columbia mengerahkan 300 lebih armadanya di luar tenaga outsourcing.
Di tahun 2008 ini, mereka menetapkan perencanaan dalam periode jangka panjang dan pendek. Untuk jangka panjang, Darwin berkeinginan menambahkan beberapa jenis produk seperti automotive berupa mobil, hand tractor, generator, dan insurance. Dari segi services, Columbia akan menerapkan sistem yang sama antar-prinsipal meskipun berbeda segmentasi. Target selanjutnya melakukan perluasan wilayah dengan berekspansi ke Pulau Kalimantan dan Sulawesi. “Sedangkan untuk jangka pendek, dalam waktu dekat ini kami berencana membuka cabang di daerah Ketapang,” katanya pasti.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Karyawan Juga Bisa Jadi Channel
BNI menilai para pegawainya adalah sebuah potensi saluran distribusi.
Program pemasaran khusus bagi mereka pun dikemas. Mau tahu?
Jangan sia-siakan potensi diri dari setiap pegawai Anda. Itulah kalimat yang pantas menggambarkan “saluran distribusi baru” yang dikembangkan BNI. Bank pelat merah ini sadar bahwa jumlah karyawan yang besar plus kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia bisa menjadi aset utama dalam memasarkan produk, salah satunya kartu kredit. Kedua potensi tersebut jika digabungkan akan membentuk sinergi positif, baik bagi perusahaan maupun pegawai itu sendiri.
Untuk mewujudkannya, BNI membuat program khusus bagi para pegawainya. Program itu berwujud pemasaran oleh para pegawai yang dikemas semenarik mungkin. Seperti dijelaskan Anggoro Eko Cahyo, Vice President Marketing & Sales BNI Card Center, staf merupakan channel distribution yang sangat efektif. Jumlah pegawai mereka yang hampir mencapai 20.000 orang bisa memberikan profit bagi perusahaan jika diorganisir dengan baik.
Dimulai dengan menerbitkan BNI MasterCard sejak Oktober 1997 disusul BNI Visa bulan April 1999 hingga sekarang, BNI menempati posisi nomor dua dilihat dari banyaknya jumlah kartu kredit yang diterbitkan (lebih dari 1,3 juta per September 2007 versi Bank Indonesia). Adapun produk yang telah diterbitkan antara lain BNI VISA, MasterCard Reguler, Affinity Card, dan Matrix BNI.
Selain melalui pegawai yang ada, distribusi juga dilakukan lewat kerja sama penerbitan kartu kredit dengan universitas dan institusi non-profit seperti Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Gajah Mada, Universitas Andalas, dan lainnya. “Bisa juga dengan co-branding dengan Indosat untuk pengguna jasa pascabayar Matrix,” kata Anggoro.
Menurutnya, sistem distribusi yang digunakan BNI adalah model terpusat di daerah perkotaan. Ini sesuai dengan segmen pelanggan yang mereka bidik, yaitu masyarakat yang bank-minded, mempunyai gaya hidup modern, dan didukung sebaran merchant yang dapat menerima transaksi kartu kredit. “Namun, Kartu Kredit BNI juga mulai masuk ke kota kecil yang berdekatan dengan kota besar tersebut,” imbuhnya.
Sebagai informasi, kantor cabang BNI saat ini berjumlah sekitar 919 buah, termasuk kantor cabang pembantu yang tersebar di Indonesia. Bukan cuma di domestik, jaringan BNI pun sampai ke luar negeri—di lokasi strategis pusat-pusat perdagangan dan keuangan internasional utama di dunia. Mereka mempunyai cabang di Hongkong, London, Singapura, Tokyo, serta agency di New York.
Nah, penetrasi pasar untuk produk kartu kredit ini sangat mengandalkan beberapa poin antara lain luasnya cakupan kantor cabang (branch), besarnya jumlah direct selling, serta cross selling atau pangsa pasar nasabah BNI itu sendiri. Dalam hal ini, meski jumlah kartunya menjadi kuantitas utama, namun kualitas pun menjadi dasar prioritas. “Jumlah dan besarnya transaksi dari kartu tersebut juga diperhatikan,” ujarnya.
Anggoro menerangkan, BNI selalu berinovasi dalam menerapkan sistem new distribution channels. Karenanya, saluran distribusi selalu berubah untuk mencapai tingkat penjualan sesuai dengan target dan perencanaan. Ia menambahkan, khusus kartu kredit BNI selalu berganti berdasarkan kebutuhan, perkembangan teknologi, dan disesuaikan dengan perubahan gaya hidup masyarakat.
Bank yang meraih Indonesian Bank Loyalty Award (IBLA) 2008, sebagai “The Best Loyalty Program for Credit Card”, ini memasarkan kartu kreditnya melalui sales force atau direct sales. Kata Anggoro, hingga kini sales force merupakan salah satu channel distribution yang mempunyai peranan besar. “Jumlah sales force BNI lebih dari 2.000 orang yang tersebar di beberapa kota besar,” ucapnya.
Selanjutnya, untuk menunjang kinerja pegawai agar lebih baik dari hari ke hari, sistem pembayaran kepada pegawai diterapkan cara insentif berdasarkan perolehan kartu. Selain itu, imbuh Anggoro, diberikan pula gimmick menarik berdasarkan jenis kartu kreditnya. Semakin banyak kartu dengan tinggi profil yang diperoleh, maka semakin besar pendapatan yang diterima. Pegawai terbaik setiap tahunnya akan diberikan kesempatan untuk menikmati reward tambahan berupa paket wisata ke luar negeri.
Namun, ia tak menyebutkan berapa jumlah distribution channels yang diterapkan oleh BNI. “Total keseluruhannya tidak bisa dihitung karena banyak channel yang digunakan dalam menjalankan bisnis kartu ini. Biasanya, yang mendorong pertumbuhannya adalah perubahan gaya hidup dari target market dan kemajuan teknologi seperti transaksi via SMS,” Anggoro mencontohkan.
Ia berpendapat, adanya new distribution channels bisa memberikan nilai keuntungan tersendiri tanpa terlepas dari faktor kerugiannya. Baginya, keuntungan channels baru bisa dirasakan dengan adanya penyesuaian terhadap perubahan kondisi dari target market sebelumnya. Jika channel baru tersebut bisa menyesuaikan dengan perubahan tersebut, maka hal itu akan berdampak pada hasil yang luar biasa.
Channel baru merupakan salah satu bentuk inovasi, yang diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi perusahaan, minimal image baik. Namun, channel baru sering kali belum diketahui tingkat efektivitasnya dalam menyukseskan sistem distribusi yang ada. Mengenai kerugiannya bisa dikatakan relatif, tetapi biasanya berpengaruh langsung kepada tingginya biaya atau cost per account. “Berdasarkan pengalaman BNI, new distribution channels dapat memberikan kontribusi hingga 30% dari total sales,” ungkapnya.
Pada prinsipnya, terang Anggoro, sebelum memilih channels baru perlu diperhatikan sisi coverage, control dan cost-nya. Namun, tak kalah pentingnya dari tiga poin di atas, unsur “kecepatan” dan “besarnya” menjadi hal utama. Yang dimaksud di sini adalah kecepatan dalam menghasilkan account dan besarnya account yang akan dihasilkan nantinya.
Untuk target di tahun 2008 ini, pihaknya akan mengupayakan pencapaian angka 1,7 juta kartu kredit BNI, sehingga menjadi bank penerbit kartu kredit terbesar di Indonesia. Kemudian, mempertahankan posisi di Indonesian Banking Loyalty Award untuk kategori Kartu Kredit dan The Best Loyalty Program. “Terakhir, menjadi most preferable credit card di industri kartu kredit Indonesia,” harapnya optimistis.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Joe Art: Konsumennya Kalangan Ekspatriat
Ternyata tidak selamanya limbah mencemari lingkungan. Di tangan orang kreatif, benda itu bisa diubah menjadi souvenir yang menarik.
Salah satunya adalah limbah kaca. Biasanya, limbah kaca sering dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan terlebih dulu. Sebagian orang pun tak akan pernah menyangka limbah ini bisa menjadi kerajinan yang memiliki nilai jual tinggi sebanding dengan hasilnya.
Seperti yang dilakukan Johan Prasetio. Berkat keterampilan yang dimilikinya, limbah kaca tersebut terlihat unik dan artistik. Berbagai kerajinan seni itu dipajang di galerinya yang terletak di Jalan Wisanggeni, Tegal. Hasil kerajinannya berupa asbak, tempat tisu, jam duduk, vas bunga, kap lampu, meja, hingga Monas, Twin Towers, menara Pisa, bahkan menara Eiffel pun tersedia.
“Bahan baku kaca mudah didapat, yakni diperoleh dari pabrik-pabrik kaca maupun toko-toko kaca, baik yang masih bagus maupun sisa produksi mereka. Tetapi, untuk membuat produk berukuran besar, harus menggunakan kaca lembaran,” ucap Jo, beitu ia biasa disapa.
Jo melanjutkan, dirinya memulai usaha kerajinan kaca sejak tahun 1999. Waktu itu, kaca bukan materi dasar utama produknya melainkan kertas karton, tempurung kelapa dan kerang. Ia membuat souvenir perkawinan semenarik mungkin dengan dihiasi dedaunan kering, rempah-rempah yang diolah agar tahan lama.
Ketika menjalankan usaha kerajinan kaca, Jo hanya menanam modal awal sebesar Rp 70.000 saja. Niatnya, cuma menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun orang lain. “Waktu itu, setelah lulus kuliah, saya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal itu mengilhami diri saya untuk membuka usaha,” kata lulusan SMA 3 Tegal ini.
Limited Edition
Kini galeri yang diberi nama Joe Art mampu menarik minat pembeli. Rata-rata, peminat datang dari mancanegara seperti Australia, Jepang, Prancis, Inggris sampai Eropa. Maka, target pasar yang dilirik Jo adalah kalangan ekspatriat atau menengah ke atas. “Umumnya, mereka menyukai barang-barang kerajinan yang memiliki nilai seni. Apalagi yang bersifat unik dan langka di negaranya,” ujar Jo yang mengklaim produknya bersifat limited edition.
Dari segi pemasaran, Jo lebih menekankan pada sisi word of mouth dan below the line. Ia aktif mengikuti pameran-pameran seperti Inacraft, ICRA, PPI dan event-event lainnya. Di ajang pameran tersebut, banyak turis mancanegara yang pesan produk dalam jumlah banyak dan langsung meminta untuk dikirim. Selain itu, ia pun memasang iklan di media cetak dan internet serta menyebarkan brosur-brosur.
Harga yang ditawarkan pun bervariasi. Hal ini tergantung dari tingkat kesulitan dalam proses pembuatan produknya. Sebagai contoh, asbak kecil dijual seharga Rp 12.000, kap lampu Rp 250.000, sedangkan untuk menara Pisa dijual Rp 500.000.
“Harga produk berkisar Rp 30.000 hingga Rp 3.000.000. Memang jika dilihat dari modal bahan baku, tidak sampai seharga jualnya. Saya lebih condong menjual hasil karya seni. Jadi, harga bukan masalah utama,” ungkapnya.
Selain bersifat limited edition, Jo juga mengatakan bahwa kualitas produk juga diutamakan. Ia selalu berusaha menciptakan karya sebaik mungkin. Maka dari itu, ia tak pernah terburu-buru dalam mengerjakan satu desain dan mematok jumlah produksi per bulannya. Baginya, unsur “rasa” pada produk merupakan kelebihan yang dimilikinya. Ini didukung dengan kemahiran Jo dalam membentuk pecahan kaca, baik yang ready maupun pesanan. Dalam bentuk pesanan, si pembeli hanya memberikan desain gambar yang nantinya akan dibentuk sesuai permintaan.
Ditambahkannya, perkembangan bisnis kerajinan pecahan kaca memiliki prospek yang bagus. Ia berpendapat, kerajinan buatan Indonesia memiliki ciri khas yang bisa menarik minat kalangan pecinta seni. Jangan heran jika mereka rajin “hunting” hingga ke pelosok daerah. “Sambutan dari luar negeri cukup antusias,” aku suami dari Evi Nufiati ini.
“Sekarang persaingan makin ketat untuk kerajinan pecahan kaca. Semua menggaet pasar ekspor dengan keunikan dan cara yang berbeda-beda dalam pemasarannya. Tapi, saya tak khawatir karena bertahannya usaha seperti ini dimulai dari ide orisinil sang pembuat, jadi kami bisa bersaing secara sehat,” paparnya.
Karena sifat bisnis yang tak bisa diprediksi secara kontinyu, Jo hanya merekrut 5 karyawan tetap dan 10 karyawan part time saja. Ini untuk mengurangi risiko biaya operasional tenaga kerja supaya tidak seperti pepatah “besar pasak daripada tiang”.
“Jika pesanan sedang melonjak, saya akan merekrut karyawan sesuai kebutuhan. Datangnya permintaan tidak bisa diduga-duga, apalagi untuk kerajinan seni seperti ini. Diibaratkan keuntungan dan kerugian sulit ditebak. Kadang pesanan banyak, tapi kadang kosong hingga bulan berikutnya,” ujarnya.
Lalu apa rahasia suksesnya menjalani bisnis kerajinan limbah kaca ini? Dengan rendah hati Jo mengungkapkan, dirinya hanya menanamkan sikap keuletan, optimis, dan jujur dalam bekerja. Di luar itu, hubungan baik dengan lingkungan pun diperlukan untuk membentuk jaringan pemasaran produk. “Intinya, bisa memasarkan seluas-luasnya,” akunya.
Ke depan, Jo ingin kerajinan tangan buatan Indonesia bisa diterima lebih baik lagi, khususnya untuk buatannya sendiri. Lebih spesifik lagi, ia ingin kerajinan pecahan kaca bisa menjadi icon daerah tempatnya bernaung—Tegal, Jawa Tengah. “Dan pastinya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitarnya,” pungkasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Rabu, Februari 04, 2009
Kampanye Kotex “Be You”
PT Kimberly-Clark Indonesia meluncurkan kampanye bagi remaja putri bertajuk Kotex “Be You”. Ajang ini diharapkan menjadi sarana bagi remaja puteri dalam mengapresiasikan diri agar berani menunjukkan jati diri dan potensi yang unik dan khas.
“Kotex mengajak para remaja putri Indonesia untuk tidak berhenti mengekspresikan jati diri serta berani menyuarakan apa yang menjadi aspirasi mereka. Apresiasi ini Kotex berikan dalam rangka mencari sosok remaja puteri yang memiliki karakter smart, bold dan daring,” kata Andy Iskandar, Marketing Manager Feminine Care PT Kimberly-Clark Indonesia.
Dalam ajang ini, Kotex akan menggelar roadshow di empat kota besar di Pulau Jawa, yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Serangkaian tahap audisi dan berbagai tes harus dilalui oleh para peserta untuk masuk menjadi 20 finalis. Selanjutnya diadakan proses karantina untuk memilih pemenang Kotex ‘“Be You”.
Acara yang berlangsung di EX Plaza Indonesia, Jakarta, ini dihadiri Dina Olivia sebagai Kotex Brand Ambassador, pakar psikologi remaja Roslina Verauli, dan dipandu oleh Sarah Sechan. Bersamaan dengan kampanye tersebut, Kotex secara resmi juga meluncurkan website www.beyoucomer.com yang ditujukan untuk memberikan fasilitas dalam mencari informasi seputar dunia remaja.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Herdiana Anita: Terobsesi ke level Atas
Di balik tubuhnya yang kecil nan mungil, Nana ternyata memiliki obsesi yang luar biasa tinggi. AV Assistant General Manager PT Sharp Electronics Indonesia yang memiliki nama lengkap Herdiana Anita ini kelak ingin menjabat selevel General Manager dan seterusnya ke atas.
Menurutnya, harapan itu sudah melewati masa pertimbangan yang serius. Bertambahnya tanggung jawab sebagai Assistant GM sekaligus ibu beranak satu, juga bukan kendala baginya. “Dari awal saya memang sudah bekerja. Suami ikut mendukung dan anak pun demikian,” imbuh ibu yang mengaku selalu menanamkan sikap mandiri sejak dini pada buah hatinya.
Meski punya latar belakang pendidikan yang “kurang sesuai” dengan kariernya, yakni lulusan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, Nana mengaku tetap optimistis menggapai semua itu. Ini tak terlepas dari kiprah sebelumnya bergelut di perusahaan elektronik seperti LG dan Sony. Prestasinya di Sharp pun patut diacungi jempol, ia tergolong sukses mengedukasi image pasar terhadap produk Ioto lewat TVC.
Tahun 2008 ini, PT Sharp Electronics Indonesia menargetkan pangsa pasar sebesar 32% untuk kategori televisi. Perusahaan asal Jepang ini terus melakukan terobosan baru dan meningkatkan kualitas serta desain yang menarik di setiap produk barunya. Maka, tak heran bila endorser yang dipilih adalah Maia Ahmad.
“Produk Sharp Alexander Ioto, mampu mendongkrak sales, image, dan profit perusahaan. Dulu, Sharp dikenal dengan televisi kuno, tapi sekarang tidak lagi. Menurut saya, nilai dari sebuah merek itu penting. Untuk ke depannya, Sharp akan membuat gebrakan produksi yang semuanya dibuat di lokal seperti model, sound taste maupun produknya,” ujar Nana yang berencana pensiun 15 tahun mendatang.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Retno Tranggono: Tegas Tetapi Penuh Empati
Sikap profesionalisme terlihat jelas pada dirinya. Selain berhasil memimpin 900 pegawai, ia pun mampu berkolaborasi dengan sang suami.
Seakan bisa membaca tanda-tanda zaman, Dr Retno Iswari Tranggono—begitu nama lengkapnya—berinisiatif untuk mengajak suaminya berbisnis. Prakarsa tersebut ia lihat dari maraknya fenomena bisnis kosmetik, ditambah dirinya memang punya kelebihan di bidang tersebut.
“Paling-paling, kalau punya ide, seorang dokter akan membuka klinik saja, dan dengan sendirinya pasien datang. Tapi saya menginginkan lain, yaitu menciptakan produk khususnya healthy cosmetic,” katanya yang ditemui di Grand House of Ristra, Jakarta Selatan.
Awalnya ia terpanggil untuk berupaya mengatasi masalah kosmetik yang bukan mempercantik justru merusak kulit. Maka, tiga cara ia terapkan, yakni: membuat kulit yang sesuai dengan kulit tropis Asia; terjun mengabdi ke lembaga pemerintahan untuk membenahi tata kosmetik di Indonesia; dan mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya unsur kesehatan dalam kosmetik, terutama dalam jangka panjang.
Ajakannya untuk mendirikan Ristra berbasis science cukup menggebu-gebu. Kesempatan ini menjanjikan, apalagi waktu itu, produk-produk buatannya laris manis di pasar. “Inilah waktu yang tepat untuk membuat gebrakan dan mengembangkannya secara nyata,” jelas Retno yang menjabat Presiden Direktur Ristra Group.
Berbekal itu, Retno yang semula bernama Ratna Icwani ini memegang teguh prinsip dalam menciptakan produk kosmetik. Baginya, produk kosmetik harus mencerminkan sisi medis dari perawatan kulit. Ia ingin Ristra tampil sebagai perusahaan yang berciri “cosmedics”, yaitu medicated cosmetics.
Namun, sedikit timbul masalah, sosoknya yang tersohor sebagai perintis ilmu kosmeto-dermatologi di Indonesia, plus istilah cosmedics yang terkesan ilmiah menjadi ganjalan dari segi pemasaran produk. Karenanya, ia kemudian menelurkan sebuah filosofi: “The science of beauty”. Jadi, image Ristra adalah perusahaan kosmetik yang mengedepankan kecantikan dan kesehatan kulit.
Sadar bahwa untuk menggebrak pasar, harus ada promosi dengan target dan sasaran yang tepat, pada periode 1982-1983, langkah-langkah promosi mulai dirintis Ristra. Kala itu mereka menggelar pameran pertama yang merupakan ajang pengenalan produk, tempat yang dikunjungi grosir untuk proses distribusi yang lebih luas.
Ristra yang merupakan akronim dari nama Retno Iswari dan Suharto Tranggono, kini telah memiliki cabang yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Ditambahkannya, Ristra pun telah merambah pasar luar negeri sampai ke Malaysia, Singapura, bahkan Eropa.
Perempuan kelahiran 17 November 1939 ini juga berhasil meraih sejumlah penghargaan, di antaranya The Innovation Awards “Innovation in Skincare Cosmetics” dan “The Science of Beauty”; Lencana Satyabhakti “Wirasistha” pada tahun 2005; “The Best Entrepreneur of the Year 2001” dari Ernst & Young; penghargaan dari the Center for Professional Advancement, dan masih banyak lagi.
“Di balik itu semua, saya sesungguhnya hanya mengoptimalkan potensi-potensi yang terkandung dalam gagasan awal. Yaitu, bidang penanganan perawatan kulit, pembuatan produk kosmetik, dan konsultasi dalam perawatan kulit. Keberhasilan itu pun didukung dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas di Ristra,” kata lulusan Universitas Indonesia ini merendah.
Meski berfondasi sebagai perusahaan keluarga, tapi Is—panggilan akrab Retno—tetap memberlakukan sistem yang jelas dalam mengelola perusahaan. Setiap anggota dibagi-bagi sesuai kemampuan, tugas, dan perannya. Sang suami mengelola sistem manajemen perusahaan, dan ia sendiri selaku teknisi. “Keduanya saling melengkapi dan mendukung,” ucapnya tersipu.
Di mata pegawai, ia tergolong wanita “hiperaktif”, pekerja ulet yang tak bisa tinggal diam. Ia merancang segala sesuatunya dengan jelas, menentukan target kerja secara terperinci, terarah, dan terukur. Dalam pelaksanaannya, ia bisa dibilang perfeksionis. Namun, di sisi lain, ia tak segan-segan memberikan kepercayaan penuh kepada bawahan yang dinilai memiliki dedikasi dan loyalitas yang teruji.
“Pastinya harus tegas, tetapi tetap penuh empati. Pendekatan pun harus dilakukan dengan unsur kemanusiaan yang baik dan benar. Maka, banyak pegawai saya yang mengabdi hingga puluhan tahun di Ristra. Loyalitas ini karena ada ikatan batin saya dengan mereka,” ungkapnya.
Di keluarga pun demikian, ibu dari tiga anak dan enam cucu ini tetap mendidik keturunannya agar hidup mandiri. Meski disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, hingga dijuluki sebagai “wanita safari”, ia tetap mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas.
“Kebetulan ibu dari suami saya berlatar belakang guru, jadi anak-anak saya percayakan kepadanya. Anak-anak sudah terbiasa dengan kesibukan pekerjaan saya, bahkan sampai praktek malam hari. Namun, saya selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan mereka di hari libur dan acara keluarga,” kata Is yang baru saja merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-45.
Peran sebagai istri pun disadarinya. Ia memiliki prinsip “keseimbangan” yang bukan hanya dilihat dari warisan Jawa, tetapi juga sebagai produk kesepakatan bersama dengan suami. Menurutnya., untuk mencapai keseimbangan itu, kita harus menyadari bahwa pernikahan sebagai ikatan sakral.
“Hal ini sangat penting, meski saya perempuan karier, tetapi juga perempuan bersuami yang juga punya anak. Kegiatan di luar rumah harus dijaga. Ketika di rumah saya seorang istri dan ibu bagi anak-anak, dan saat di luar rumah barulah saya menjadi perempuan karier,” terangnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Mira Lesmana: Dari Semangat Timbul Sinergi
Semula Mira hanya ingin menciptakan “sebuah ruang” komunikasi dengan Miles Film Productions. Nyatanya, kini ia sudah menorehkan segudang prestasi, baik dalam karya maupun dalam membesarkan nama perusahaannya.
Nekat. Itulah kata yang mewakili sejarah perjalanan produser Mira Lesmana dalam membuat film. Pasalnya, waktu itu banyak aturan perfilman yang ia langgar. Sebut saja ketentuan bagi produser, yang diharuskan menjadi anggota PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia). Dan juga ketentuan bagi sutradara, yang minimal harus sudah menjadi asisten sutradara sebanyak empat kali.
Sedikit menengok ke belakang, awal karier Mira dimulai di perusahaan periklanan Citra Lintas. Saat itu ia menjabat sebagai asisten produser dan merambah naik ke tingkat produser setelah empat tahun bergabung. Pada tahun 1992, ia memutuskan keluar dan bergabung dengan perusahaan periklanan Katena. Di tempat barunya, ia banyak belajar dan bekerja sama dengan ahli periklanan dari luar negeri seperti dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.
Kendati hanya dua tahun bergabung dengan Katena, Mira banyak menyerap ilmu bisnis periklanan. Ia jadi tahu berapa biaya anggaran untuk produksi sebuah iklan. “Tahun 1996, saya mendirikan rumah produksi bernama Miles Film Productions. Menurutnya, Miles memiliki banyak arti. Pertama, akronim dari nama saya. Kedua, nama yang diambil dari Miles Davis. Terakhir, diartikan sebuah perjalanan panjang,” kata istri aktor Mathias Muchus ini.
Niat mendirikan rumah produksi ternyata mendapat dukungan dari orang sekitarnya. Sampailah Mira mendapat tawaran dari Alex Kumara untuk membuat tayangan untuk semua usia. Lalu, dibuatlah film bertajuk Anak Seribu Pulau sebanyak 14 episode. “Saya menggandeng Garin Nugroho dan lainnya, karena dalam segi pendanaan cukup besar, yakni Rp 200 juta per episode. Jadi harus matang konsepnya,” imbuh perempuan yang merasa bangga film TV tersebut tayang di lima stasiun televisi swasta sekaligus.
Prestasi Mira terus berkibar. Film pertamanya berjudul Kuldesak berhasil meraih penghargaan dari Forum Film Bandung (1999) dan Festival Film Kine Club (2000). Ia pun melebarkan sayap dengan membuat film layar lebar lainnya seperti Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, Soe Hok Gie, dan Rumah Ketujuh. “Saya selalu membuat satu atau dua film dalam satu tahun. Bagi saya, membuat film itu perlu persiapan matang, dan terpenting adalah prosesnya,” imbuh kelahiran Jakarta, 8 Agustus 1964 ini.
Mira berasumsi, keberhasilan Miles Film Productions tidak hanya dilihat dari nilai ekonomis. Ketika memilih jalur film, ia tidak berorientasi untuk menghasilkan uang dari film buatannya. Penekanannya pun tidak terfokus untuk menjadikan Miles menjadi besar. “Seperti ada ‘panggilan’. Saya hanya ingin menciptakan sebuah ruang untuk saya pribadi. Tujuannya sebagai sarana komunikasi dan interaksi. Dan, mengembalikan nama perfilman indonesia,” tegasnya.
Sewaktu membuat film layar lebar, Mira mengatakan, ia terbentur kendala dana dan sumber daya manusia. Yang ada cuma semangat. Akhirnya, jalan yang diambil adalah bersinergi, yakni dengan membuat film bersama Rizal Mantovani, Riri Riza, dan Nan Triveni Achnas. “Modal awal hanya Rp 50 juta dari Miles. Sedangkan dana yang harus terkumpul Rp 250 juta, masing-masing pun menyumbang. Tapi, Rp 250 juta tersebut bersifat free, hanya operasional,” ungkapnya. Cara lain juga ditempuh. Mira menghubungi beberapa kawannya di perusahaan advertising untuk membantu meminjamkan peralatan, dan transportasi.
Terkenal dengan predikat “produser bertangan dingin”, Mira menerapkan sistem kekeluargaan dalam memimpin perusahaannya. Ia tak percaya akan gaya kepemimpinan top-down, apalagi menerapkannya. Baginya, bergerak di bidang kreatif lebih mengutamakan kolaborasi dan partnership untuk bisa membangun perusahaan. Ketiga belas karyawannya pun bisa menyampaikan ide seluas-luasnya, namun untuk keputusan akhir tetap di tangan Mira.
Lebih lanjut, dari segi feminimisme kepemimpinan, Mira berpendapat “saya adalah saya” terlepas dari perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Diakuinya, unsur perasaan menjadi bagian penting dalam memilih sesuatu, tidak hanya mengandalkan logika semata. “Mungkin perempuan punya kemampuan lebih dalam mengambil risiko dilihat dari kesabaran dan kesiapannya, tetapi tingkat emosi tinggi pula,” tambah putri pertama pasangan Jack Lesmana dan Nien ini.
Menariknya, di dunia perfilman, Mira melihat orang tetap menilai dari sisi profesionalisme bekerja dan hasil karyanya, bukan karena perempuan. Dalam bekerja pun, ia tidak memosisikan diri sebagai perempuan, melainkan kreator. Sebab, bakat tidak ditentukan dari gender, tapi pada kemampuan yang dimiliki. Namun, di satu sisi, ia tidak pernah memanfaatkan “keperempuanannya”. “Saya tidak memanfaatkan nama keluarga maupun alasan lain,” katanya mencontohkan kalimat: “Sorry sakit, lagi menstruasi”.
Ditambahkan oleh ibu dari Galih dan Kafka ini, seorang perempuan tidak bisa eksis bahkan memimpin perusahaan tanpa adanya dukungan dari keluarga inti dan keluarga besar. Mira beruntung, keluarganya mengerti bahwa ini bukan cuma mata pencarian semata, tapi lebih mengacu pada pilihan hidupnya. Work day yang fleksibel juga memudahkannya dalam mengatur waktu untuk kerja dan keluarga. “Jam efektif bekerja dimulai pukul 10.00 WIB sampai 17.00 WIB, itu terbentuk sendiri. Terkadang jika dibutuhkan bisa lebih pagi, atau bisa 24 jam syuting dan di luar kota. Setelah syuting, bisa ambil break beberapa hari,” jelas pengusung film berjenis unbreakable ini.
Di keluarganya sendiri terbentuk sikap mandiri dan tidak memiliki ritual khusus seperti pengaturan bangun tidur, sarapan sampai pulang kerja. Mira tidak menerapkan sosok seorang ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Lebih tepatnya, ia dan sang suami memakai konsep cross. Artinya, siapa pun bisa mengerjakan dan mengganti peran tanpa memilah-milah. Anak juga dibekali sikap keterbukaan satu sama lain, mempunyai privasi, dan bisa mengemukakan pendapat.
Bagi perempuan yang ingin sukses berkarier, Mira menyarankan, harus dipastikan terlebih dulu bahwa lingkungan mendukung karena sejatinya menjadi perempuan tidak mudah. Tetapi, satu hal yang perlu diingat, perempuan pun jangan pernah menggunakan hal “keperempuanannya” untuk mencapai sesuatu. “Itu bisa jadi bumerang,” tandasnya.
Fisamawati
Majalah MARKETING
Agina Siti Fatimah: Si Gesit dari Infomedia
Kunci sukses berkarier Agina terbilang sederhana, tetapi sarat makna. Ia selalu berpegang teguh pada komitmen, yang kemudian dijabarkan ke segala aspek pekerjaan.
Tak terasa sudah enam tahun Agina Siti Fatimah bergabung dengan PT Infomedia Nusantara. Kini, posisi puncak sudah disandangnya sebagai Direktur Utama PT Infomedia Nusantara sejak Maret 2007 lalu. Sebelumnya, perempuan berpenampilan energik ini menjabat direktur contact center untuk periode 2002-2007 di perusahaan yang sama.
“Saya pernah menjabat GM Unit Call Center Divisi Regional II Jakarta, Kepala Unit Pelayanan Divisi Regional II Jakarta, Manager Operasi dan Teknik Wilayah Telekomunikasi Jakarta, dan Manager Purel Exrel Telkom Bandung,” katanya ketika ditemui di ruang kerjanya.
Perjalanan kariernya di Infomedia diawali dengan membentuk perubahan. Saat itu, Infomedia melakukan strategi bisnis baru. Tidak hanya mengelola Yellow Pages saja, tetapi melebarkan sayap dengan menyediakan jasa outsourcing dalam bentuk layanan contact center serta layanan konten yang terfokus pada penyediaan data sesuai kebutuhan mitra.
Bagi alumnus Fakultas Teknik Universitas Trisakti jurusan Teknik Elektro ini, karier yang dilaluinya penuh liku-liku. Diungkapkannya, pertama kali menjabat manajer purel exrel, ia harus mahir membuat press release. Sama halnya di posisi direktur contact center, ia harus berhadapan langsung dengan agen dan klien. “Terbilang dinamis dan menuntut perubahan yang sangat drastis,” ungkapnya.
Sifatnya yang gesit dan tidak bisa diam di satu situasi, memberikan kepuasan tersendiri bagi Gina—begitu panggilan akrabnya. Perubahan itu membuahkan hasil. Ia mampu menyosialisasikan dan membesarkan layanan contact center yang diembannya. Gina berperan dalam memberikan edukasi pasar mengenai layanan contact center. “Kuncinya mau kerja keras dan to be the best,” katanya memberi tips.
Bicara soal gaya kepemimpinan, Gina menerapkan sistem keterbukaan—baik dalam hubungan dengan atasan, karyawan maupun dirinya sendiri. Contoh kecilnya adalah pintu ruang kerjanya yang tidak pernah tertutup. Jadi, tak ada istilah “ketuk pintu”. Ia memaparkan, gaya ini memberikan kedekatan antara dirinya dengan lingkungan di luar ruangannya. Otomatis, hubungan komunikasi pun lebih efektif. Selain itu, penerapan sikap demokrasi maupun komitmen menjadi hal mutlak.
“Pada dasarnya saya bukan orang ‘back room’, tetapi orang lapangan yang senang berdiskusi dan sharing. Di luar kantor, handphone saya selalu aktif 24 jam. Jadi, saya terbuka bagi karyawan yang ingin bertanya mengenai pekerjaan ataupun bagi klien yang ingin komplain,” katanya merendah.
Dari situlah, Gina merasa ilmu yang diperoleh di lapangan jauh lebih berharga karena sifatnya terus berkembang dan langsung berhadapan dengan kasus yang memberi banyak pengalaman. Ilmu lainnya bisa didapat dari buku-buku yang ada. “Saya banyak belajar dari klien. Dari mereka saya jadi tahu seperti apa keinginan dan peluang market di lapangan, dan bagaimana solusinya,” terangnya antusias.
Begitu pun dengan sistem pengambilan kebijakan dan keputusan, Gina tak pandang bulu baik terhadap karyawan laki-laki atau perempuan. Ditambahkannya, memang terkadang perempuan masih menggunakan “feel” dalam menentukan sesuatu. Tapi, ini tak berlaku baginya. Objektivitas dalam menganalisis menjadi faktor yang penting.
“Bisa dilihat sekarang, perempuan pun bisa berkarier dan menjabat posisi penting di perusahaan-perusahaan terkemuka. Jadi, asumsi bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki sudah tidak relevan lagi. Ini berdasarkan pengalaman pribadi saya dan terbukti,” urainya.
Gina berpendapat, kesempatan berkarier bagi perempuan sudah terbuka lebar. Seperti halnya di Infomedia, yang memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi karyawan perempuan untuk mengembangkan potensinya. “Jadi sejajar, tidak ada perbedaan gender,” tegasnya.
Selain itu, dalam menghadapi karyawan laki-laki, Gina merasa baik-baik saja. Tak sedikit pun merasa canggung. Padahal, di perusahaan tempatnya bernaung mayoritas karyawan adalah laki-laki. “Saya menjaga hubungan dengan sebaik mungkin. Sebisa mungkin kesan bossy dihilangkan,” ucapnya serius.
Di tangan dinginnya, Infomedia mengukir prestasi peningkatan market share bisnis contact center menjadi 60%. Bukan itu saja, Infomedia juga memperoleh sejumlah penghargaan yang menegaskan kompetensinya sebagai perusahaan dengan layanan terkemuka di Indonesia. Antara lain sertifikasi ISO 9001:2000 untuk Contact Center Telkomsel dari TUV Nord; Performance Phone Banking Awards 2005; penghargaan Situs Indonesia Terbaik (www.yellowpages.co.id) 2004-2005; penyelenggara Contact Center dengan Performansi yang Memuaskan; dan Layanan Contact Center Terbaik tahun 2006.
Namun, Gina juga manusia biasa. Diakuinya, terkadang rasa jenuh muncul. Paling lama sekitar seminggu. “Untuk mengatasinya, saya cukup merenung. Saya telaah kembali, apa dampak positif dan negatifnya. Sampai muncul kesadaran agar tidak terus larut dalam situasi tersebut sehingga muncul semangat untuk bangkit lagi,” ujarnya.
Terlepas dari itu semua, Gina merasa mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu dari tiga anak. Di sela-sela kesibukan pekerjaan kantor, ia masih menyempatkan waktu untuk keluarga. Meski hanya di hari Sabtu dan Minggu saja, itu dirasakan cukup. Untuk dirinya, Gina masih sempat menyalurkan hobi mendesain ulang ruangan, mendesain baju dan aksesoris lainnya.
Secara umum, Gina bertemu ketiga anaknya di pagi hari sebelum berangkat kerja dan malam hari sesampainya di rumah. “Memang jika diukur dari kuantitas nilainya kecil, tetapi saya mengharapkan kualitas komunikasi yang terbaik bagi keluarga. Kebetulan, selama ini keluarga pun mendukung,” ujar perempuan yang gemar berolahraga ini.
Gina menambahkan, biasanya hari libur diisinya dengan berdiskusi seputar pelajaran anak-anak hingga pergaulan mereka dengan teman-temannya. Bahkan, jika memungkinkan, diskusi ini bisa menghabiskan waktu sampai 3 jam. Kadang diselingi liburan atau jalan-jalan ke mal dan salon bersama putrinya. “Suami percaya bahwa saya bisa mendidik anak-anak dengan baik di tengah kesibukan yang saya kerjakan. Tetapi, jika anak laki-laki ada masalah, tetap butuh sosok seorang ayah,” tambahnya.
Untuk mempertahankan kariernya, Gina memiliki trik khusus, terutama untuk kaum hawa. Pertama, jika ingin meraih karier dan setara dengan laki-laki, maka harus membekali diri dengan mencari tahu apa tuntutan pekerjaan itu. Kedua, pelajari ilmu dan kunci sukses di setiap pekerjaan, minimal hal-hal yang bersifat garis besarnya. “Namun, baik laki-laki maupun perempuan, sama saja. Semua kembali lagi pada masing-masing individu, apakah memang ingin berkontribusi yang terbaik atau tidak,“ ucapnya menutup perbincangan.
Fisamawati
Majalah MARKETING