Lamanya product development di suatu perusahaan bisa menjadi alasan seseorang hengkang dari pekerjaannya. Salah satunya Iwan Purnama, Sales & Marketing Manager PT Faber-Castell International Indonesia. “Sebelumnya saya bekerja di bidang farmasi, dan memutuskan pindah ke Faber Castell tahun 2002 lalu,” ujarnya.
Jika membandingkan kedua pekerjaan tersebut, lanjut Iwan, di Faber Castell ia dituntut kreatif. Maklum saja, setiap tahun tim sales & marketing harus membuat program-program yang berbeda. Tujuannya, tentu saja untuk menarik minat konsumen dan agar tidak membosankan. Sementara di farmasi, eksekusi produk cenderung berjalan lambat karena harus dilatarbelakangi riset terlebih dulu.
“Di farmasi, tiga tahun belum tentu produk baru bisa di-launch. Hingga untuk aplikasi dan inovasi produk memakan waktu yang lama. Ini bertolak belakang dengan kepribadian saya yang lebih menyukai eksekusi dan aplikasi. Jadi, kreativitas tidak mandeg,” papar pria bertubuh jangkung ini. Tidak heran jika Iwan selalu mengarahkan timnya untuk membuat program bagus, misalnya kegiatan menggambar dengan Faber-Castell dalam akuarium hiu di Seaworld, Ancol.
Bisa dikatakan, tugas Iwan adalah menggiring timnya untuk sekreatif mungkin, agar inovasi produk terus berjalan. “Tapi, nilai konsistensi juga diperlukan agar brand Faber Castell tetap diingat konsumen dan terkenal. Hasil akhirnya, selain meningkatkan penjualan, para salesman juga bisa naik jabatan,” kata pria ini dengan bangga.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
Selasa, Desember 16, 2008
Iwan Purnama: Suka Eksekusi yang Cepat
Bikin Penasaran Pendengar
Meskipun baru seumur jagung, Gen FM mampu menyedot perhatian 2,7 juta pendengar per kuartal III tahun ini. Daya tarik apa yang ditawarkannya?
Sebagai pemain baru di industri media radio, rasanya mustahil bagi 98.7 Gen FM (populer disebut Gen FM) dapat meraih kesuksesan dalam tempo singkat. Apalagi kalau melihat banyaknya pemain lama yang sudah terjun terlebih dulu hingga nyaris tak ada ruang. Istilahnya, geser frekuensi sedikit pasti ada siaran dari radio lain. Semua segmen yang ada pun sudah habis digarap.
“Awalnya, kami sedikit kesulitan menentukan konsep siaran. Waktu itu, kami tidak ingin menentukan target market dan perencanaan atas dasar keinginan kami sendiri. Semua harus kembali lagi pada kebutuhan pendengar. Untuk itu, langkah pertama yang diterapkan adalah melakukan riset,” kata Adrian Syarkawi, President Director 98.7 Gen FM.
Riset tersebut diarahkan pada keinginan masyarakat terhadap sebuah siaran radio. Dari hasil survei yang dijalankan, mereka menemukan fakta bahwa masyarakat menginginkan program siaran khusus musik tanpa adanya gangguan apa pun. Mengacu pada hal itu, Adrian lantas memetakan radio profile, listeners profile, dan positioning dari Gen FM.
Dengan format contemporary hits radio, Gen FM lalu menggelar siaran percobaan selama dua bulan terhitung mulai Juli 2007 dan resmi di-launch tepat pada tanggal 9 Agustus 2007 mewakili angka frekuensi 98.7. Golongan SES pendengar yang dibidik mayoritas adalah kelas B (sebanyak 50%), sisanya 40% kelas C, dan 10% kelas A. Sedangkan untuk range usianya berkisar antara 18-34 tahun dengan spesifikasi wilayah jangkauan Jakarta.
“Sesuai tagline ‘Suara Musik Terkini’, 98.7 Gen FM memiliki karakteristik musik 70% Indonesia dan 30% mancanegara. Musik yang disajikan pun bersifat easy listening, up beat hits, dan the feel is young and rocking,” papar Adrian. Bahan siarannya didominasi musik, selebihnya informasi dan iklan.
Jika mengacu pada keinginan masyarakat tadi, tambahnya, arah konsep mereka sudah terbentuk. Tetapi, hal lain yang menjadi pertimbangan adalah tingkat loyalitas konsumen terhadap Gen FM. Maklum saja, sekarang ini marak penggunaan MP3/MP4 sebagai media bagi konsumen untuk mendengarkan musik, jenis lagunya pun bisa diatur sesuai keinginan si pemilik.
“Tantangannya cukup berat. Oleh karena itu, kami mencoba menawarkan sisi lain dari siaran 98.7 Gen FM. Diferensiasi tersebut tidak didapat oleh MP3/MP4 sehingga itulah yang menjadi keunggulan kami,” ujar Adrian. Keunggulan yang dimaksud adalah nilai personal dan surprise. Meski terkesan sederhana, lanjutnya, kedua nilai tersebut adalah poin penting.
Gen FM juga mencoba menawarkan kedekatan secara personal dengan memakai ungkapan Sobat Gen—sapaan akrab penyiar kepada pendengar Gen FM. Selain itu, pendengar pun mendapat “kejutan” dari lagu-lagu yang diputarkan. Contohnya, salah satu tembang yang diputar mengingatkan pendengar akan kenangan masa lalu ketika menyatakan cinta kepada pasangannya. Atau lagu tersebut adalah lagu favorit yang sudah lama tidak didengarnya, dan masih banyak lagi. “Tentunya, ini berbeda dengan MP3/MP4 yang sudah dikelompokkan sehingga bisa hafal urutan lagu di dalamnya,” tutur Adrian.
Secepat kilat Gen FM pun melekat di telinga pendengarnya dengan respons-respons positif. Terbukti, sebuah penghargaan berhasil disandangnya sebagai “The Phenomenal Station” yang diberikan oleh majalah Rolling Stone Indonesia. Dijelaskan Adrian, Gen FM dinilai berhasil membawa musik Indonesia terbaik kepada masyarakat Jakarta, dan terdengar mengudara di berbagai tempat mengiringi aktivitas masyarakat.
Per kuartal III tahun ini, mereka mampu menyedot perhatian 2,7 juta pendengar. “Kami bersyukur, bahwa target yang diharapkan bisa terealisasi dalam setahun ini. Bahkan, jika diukur dari total pendengar, jumlahnya sudah melampaui target awal. Begitu juga dengan mitra pemasang iklan. Mereka mempercayakan 98.7 Gen FM sebagai wadah promosi produk,” katanya. Ini tak terlepas dari promosi yang gencar dilakukan Gen FM di setiap kegiatan, baik on-air maupun off-air.
Selain mengandalkan siaran lagu-lagu, Gen FM juga menyisipkan program Salah Sambung. Program ini disisipkan untuk memberikan hiburan bagi pendengar. Dengan konsep mistery telephone, Salah Sambung juga bisa memberikan kedekatan personal. Tak ayal, Salah Sambung menjadi “bumbu” word of mouth dalam meningkatkan awareness Gen FM.
Sebelumnya, Gen FM juga menerapkan strategi “teaser promo” yang cerdik. Strategi tersebut dijalankan selama dua bulan. Selama masa itu, mereka tidak memberikan informasi tentang nama brand radio yang diusungnya. Mereka hanya memutarkan lagu-lagu dan sesekali menyebutkan 98.7. Banyak di antara pendengar yang penasaran menanti siapa gerangan nama stasiun radio tersebut. “Sengaja dirahasiakan, tujuannya agar masyarakat mengingat ‘alamat’ radio kami di frekuensi 98.7,” kata Adrian.
Dipaparkannya, masalah yang sering timbul bagi sebuah stasiun radio adalah mengomunikasikan “alamat” radio atau frekuensinya. Kecenderungan yang ada, pendengar boleh saja mengenal brand radio-nya, tapi belum tentu hafal gelombangnya. Inilah yang diantisipasi 98.7 Gen FM sedini mungkin.
Sementara itu, pakar brand PR, Silih Agung Wasesa, menilai sejauh ini peluang Gen FM masih terbuka lebar. Apalagi dengan pencapaian pendengar yang terbilang fantastik. Jadi, tidak ada masalah dengan kesamaan segmen yang dibidik antara Gen FM dengan kompetitor.
“Ciri khas Gen FM terletak pada acara Salah Sambung. Format acara seperti itu banyak dinanti pendengar karena memberikan hiburan. Selain itu, musik yang ditawarkan juga bersifat easy listening. Ini menjadi kunci Gen FM karena masyarakat membutuhkan ‘sesuatu’ di tengah padatnya rutinitas,” paparnya.
Bisa dikatakan Gen FM sudah mendapat tempat di hati pendengar. Untuk itu, lanjut Silih, Gen FM jangan mudah terbuai. Artinya, di tengah kesuksesan pastilah banyak pemasang iklan yang ingin mendapatkan space. “Tapi, jangan sampai terjebak pada acara-acara talkshow karena akan memberikan kejenuhan pada pendengarnya. Apalagi jika talkshow-nya mengandung iklan,” tegas Silih.
Sependapat dengan Silih, Adrian mengatakan bahwa Gen FM tetap konsisten terhadap kebutuhan pendengar. Tanpa adanya pendengar, pastilah pemasang iklan tak akan datang dengan sendirinya. “Pemasang iklan tertarik karena adanya data real pendengar yang tune-in 98.7 Gen FM. Bisa dikatakan, space iklan sudah penuh. Sampai-sampai kami kewalahan menempatkan iklan-iklan tersebut.”
Karenanya, meskipun pemasang iklan antre untuk mendapatkan space, mereka tak mau mengubah komposisi musik. Bahkan, tawaran harga tinggi pun tetap tak menggoyahkan positioning-nya sebagai “The Best Indonesian Music”. Hanya saja, ungkap Adrian, pihaknya berupaya memberikan solusi terbaik untuk menempatkan space iklan tersebut tanpa harus mengutak-atik konsep yang dipegang Gen FM. “Sebisa mungkin idealisme kami tetap terjaga,” ujarnya.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember
TAMARA BLEZYINSKY: Ritual “Me Time”
Meski sudah bertahun-tahun menjadi Lux Star Indonesia, Tamara Blezyinsky tetap merasa percaya diri. Aktris cantik kelahiran Jakarta, 25 Desember 1974 ini justru merasa kepercayaan dirinya meningkat setara usianya yang kian bertambah. Apa rahasianya?
Hal ini, kata Tamara, tidak terlepas dari ritual yang dilakukannya. Dia kerap menggunakan ritual “me time”, yakni acara mandi sebagai salah satu cara untuk memanjakan diri. “Sambil menyalakan lilin dan aroma therapy, saya menikmati ritual mandi tersebut. Apalagi ketika menggunakan Lux Silk Caress with Macadamia and Moisturizing Whipped Cream yang menjadi favorit saya,” terangnya.
Selain merasa lebih cantik dengan kulit harum dan halus terawat, tambah pemilik nama lengkap Tamara Natalia Christina Mayawati Blezyinsky ini, juga memudahkan orang lain untuk mengenalinya. Kesan menawan, percaya diri hingga kesiapan menaklukkan tantangan pun melekat pada dirinya.
Tamara menuturkan, sesuai kodratnya, perempuan memegang banyak peran yang harus dijalankan. Tetapi, lantaran kesibukannya yang nyaris tanpa henti, adakalanya perempuan kurang menyadari pesona kecantikan yang dimiliki. Ini, lanjutnya, bisa berdampak pada kepercayaan diri untuk memancarkan pesona yang ada.
“Sebagai salah satu Lux Star Indonesia, saya percaya bahwa setiap perempuan terlahir cantik. Melalui serangkaian kegiatan ini, saya ingin memberikan inspirasi bagi perempuan bahwa mereka berhak merayakan kecantikannya selayaknya seorang Diva,” ujarnya.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
INDUSTRI RITEL: Awasi Perubahan Perilaku Belanja!
Walaupun tengah menghadapi krisis ekonomi global, industri ritel dinilai tetap stabil. Asal tahu apa pemicu dan antisipasinya, para pemain tetap berpeluang untuk ekspansi.
Adanya krisis global bukan berarti industri ritel tak bisa berekspansi. Catatan tahun 2008 ini saja, pasar ritel barang konsumen di Indonesia berkembang baik sekali. Bahkan, Indonesia menjadi Top 2 tertinggi di Asia dalam lima tahun terakhir.
“Hingga September 2008 ritel tumbuh hingga 22,2% dari 54 kategori produk. Dari segi produk, di kalangan menengah ke atas tidak ada perubahan. Namun, di kelas menegah bawah terjadi peralihan ke merek-merek dan produk yang lebih murah,” kata Yongky Surya Susilo, Director Retailer Service PT AC Nielsen Indonesia.
Pertumbuhan tersebut, lanjutnya, dilandasi faktor inflasi. Yakni kenaikan harga makanan yang signifikan dari kategori produk berbasis CPO seperti minyak goreng (+40%); tepung terigu seperti mie instan (+40%); dan susu (+20%). Seiring dengan itu, volume penjualan minyak goreng bermerek makin meningkat akibat perpindahan dari jenis curah ke branded, sedangkan untuk mie instan dan susu hanya turun sedikit.
Hal senada juga diutarakan Sugiyanto Wibawa selaku anggota dari Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo). Tahun 2008, industri ritel tumbuh pesat dengan menjamurnya pasar modern seperti hipermarket, supermarket maupun minimarket. “Semuanya tumbuh serentak dan sama rata. Prospeknya pun cukup bagus,” katanya. Sugiyanto, yang juga menjabat sebagai Direktur Pengembangan Ritel PT Hero Supermarket, menggarap peluang tersebut dengan meluncurkan Giant supermarket.
Pertumbuhan ritel ini bukanlah cuma terjadi di pasar modern. Pasar tradisional pun meningkat penjualannya secara rupiah (+21%). Hal ini disebabkan adanya kenaikan harga dan didorong pula dengan image murah yang melekat padanya. Tidak heran jika konsumen kelas bawah merangsek ke pasar tradisional. Apalagi, pasar tradisional juga memberikan kesempatan kepada konsumen untuk membeli sesuai kemampuannya, termasuk kredit.
Berdasarkan jumlah toko, papar Yongky, pasar tradisional tumbuh kuat. Selain menjadi suatu bentuk usaha yang paling mudah, mereka juga turut membangun pendapatan tambahan. “Mereka mulai mendekat kepada konsumen, misalnya berlokasi di jalan besar dan perumahan. Uniknya lagi, ada yang menggunakan pick up dan ‘moko’ alias mobil toko.”
Sedangkan pasar modern akan tetap tumbuh sesuai dengan kebutuhan konsumen modern, baik di kota besar maupun kota kecil. Konsepnya terus diubah guna meningkatkan image, pelayanan, sekaligus solusi hiburan bagi konsumen yang stressful. Tren yang ada pun mulai bervariasi. Indonesia kini memiliki Harvey Nichols, peritel premium. Ada pula Grand Indonesia, sebuah mega mal terbesar yang menjadi landmark Indonesia.
Tentunya, perubahan konsep tadi juga didorong oleh peningkatan kepuasan konsumen. “Level of service (tingkat pelayanan) kian meningkat dengan tersedianya fasilitas manusiawi yang exceed expectation. Ini membuktikan bahwa konsumen menjadi powerful,” kata Yongky. Menurutnya, peritel nasional yang inovatif akan mempunyai potensi besar. Misalnya konsep midi store yang diformat Alfamart. Begitu juga konsep convenience store Circe K yang merejuvenasi tokonya dan berekspansi ke area ramai dan “hidup” 24 jam.
Sementara itu, Sugiyanto berpendapat bahwa pertumbuhan pasar modern lebih cepat dibandingkan pasar tradisional. “Tapi, pada dasarnya, growth antara keduanya sama.” Faktor krisis global, menurutnya, tidak begitu memengaruhi pertumbuhannya. Sebab, pasar modern masih diminati kalangan menengah ke atas yang mengutamakan prestige.
“Saat ini, komposisi perbandingan persentase antar pasar tradisional dengan modern adalah 64:36. Secara total kategori kebutuhan konsumen, termasuk komoditas, estimasi pasar modern hanya memberikan kontribusi 10%,” tambah Yongky.
Di kategori pasar modern, hipermarket dan minimarket tetap menyandang gelar primadona untuk pertumbuhan pasar ritel di Indonesia. Namun, jika membandingkan keduanya, minimarket memiliki peluang yang lebih besar untuk berekspansi karena kemudahan mencari lokasi. Sedangkan hipermarket akan sedikit selektif akibat faktor likuiditas. Lain halnya dengan supermarket. Pertumbuhan supermarket akan terhambat karena terimpit format besar dan kecil, kecuali jika para pemain bisa me-repositioning brand-nya.
Secara global, peluang pasar modern yang ditawarkan masih besar. Dari angka pertumbuhan rantai ritel modern, trennya masih terlihat positif dalam Like for Like (organic) growth. Angka tersebut menunjukkan belum terjadi saturation karena over supply. “Di masa depan, peningkatan daya beli di kota akan mengendurkan lagi growth ceiling bagi ritel modern,” ungkap Yongky.
Menghadapi krisis ekonomi global, Sugiyanto mengatakan, para peritel tetap optimistis menghadapi kemungkinan di tahun 2009 nanti. Begitu pula dengan Yongky. Pemicunya, target pasar yang dibidik adalah kaum urban sebesar 45% dari populasi Indonesia. “Potensi konsumen muda juga akan mendominasi, apalagi mereka yang menuntut modernisasi,” imbuhnya. Pemicu lainnya adalah tingginya segmentasi, serta rendahnya supply chain dan retail branding.
Ditambahkan Sugiyanto, untuk perkembangan pasar tradisional pun demikian. Sebab, sekarang ini tren yang mengacu untuk pasar tradisional juga mulai dikembangkan ke arah modern, misalnya pasar Pantai Indah Kapuk. “Ketika pengembang properti ingin mendirikan perumahan, mereka juga memprediksikan tempat strategis untuk pasar tradisional,” jelasnya.
Bicara mengenai industri ritel di tahun 2009, Yongky memprediksikan bahwa tren yang akan menonjol antara lain rejuvenation dari kartu membership ritel seperti MMC (Matahari), Aku (Alfamart), Prepaid Indomart, Hypermart-Mandiri, dan lainnya. Untuk restoran, konsep nostalgia atau back for future yang dikemas modern akan mendapat respons konsumen seperti yang diusung oleh Sate Senayan dan Si Kabayan.
“Yang penting, dalam kondisi perekonomian seperti ini, peritel harus awas dengan peluang karena perubahan perilaku belanja; selektif ketika berekspansi; tetap berpromosi; dan melakukan radical marketing,” ujarnya mengakhiri perbincangan.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
Di Balik Tantangan, Pasti Ada Peluang
Layaknya dua sisi mata uang. Itulah gambaran bisnis Kino Group di tahun 2009. Antara tantangan dan peluang, beda tipis.
Kecenderungan melemahnya daya beli masyarakat, akibat hantaman krisis ekonomi global, jelas berdampak pada industri consumer goods. Krisis bisa menjadikan pergerakan bisnis menjadi solid atau sebaliknya, menjauh dari core-nya. Adapun tiga faktor yang mempengaruhi bisnis, yaitu faktor internal, eksternal, serta industri dan makro.
Secara internal, dirasakan ada beberapa hal yang harus didistorsi nilainya dari bisnis itu sendiri, baik manajemen SDM, intra organisasi (antardivisi), dan decision quality dari profesional di dalamnya. Sedangkan eksternal, yakni consumer habit dan kompetisi maupun reaksi para pemain di setiap market. Lalu, industri dan makro dilihat dari nilai tukar mata uang, financial policy dan instrumen/parameter keuangan lainnya.
Demikianlah pendapat Harry Sanusi, CEO & President Director PT Kino Group, menanggapi kondisi perekonomian dewasa ini. “Kino Group merasakan bahwa 2009 merupakan tahun yang cukup menantang. Kami harus bisa survive dalam situasi apa pun,” ucapnya.
Hingga tahun 2008 ini, pertumbuhan Kino Group hampir di atas 30% per tiap divisi. Diakuinya, walaupun memang masih ada beberapa divisi yang sebelumnya “suffer”, baru mulai menunjukkan performanya. Bicara mengenai kompetisi, ia mengatakan tetap optimistis bisa mendapatkan peluang. Maklum saja, kompetisi di consumer goods tidak semakin kendur sebab industri ini memang cukup hot.
“Untuk itu, haruslah menyikapi segala peluang dan tantangan yang ada sebaik mungkin. Hal pertama yang diperhatikan adalah consumer habit and change. Bila daya beli masyarakat berlari dari satu kecenderungan ke pola yang lain, itu merupakan tantangan. Tetapi, dibalik sebuah tantangan, pasti ada peluang,” tegas Harry.
Buktinya, lanjut Harry, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, peluncuran produk baru keluaran Kino Group selalu mendapat tempat. Hanya saja, semua kembali lagi pada strategi perusahaan dalam me-manage tantangan yang bakal muncul dan mengendalikan risikonya. “Terlepas dari faktor lain yang masih kompleks, secara umum market sudah tertekan sejak tahun 2008.”
Bila tak ada kebijakan yang kondusif, Harry mengungkapkan, maka daya beli akan berada pada curve yang stabil. “Konsumen semakin smart. Menariknya, bila dilihat dari karakteristik konsumen Indonesia, terkadang mereka tidak realitis. Artinya, untuk kebutuhan sehari-hari, mereka tidak leluasa membeli. Tetapi, untuk kebutuhan lain seperti kendaraan dan alat komunikasi, mereka bisa memenuhi itu,” ujarnya.
Maka, diprediksikan tren yang akan booming tahun 2009 adalah konsumen yang mencari produk-produk reliable, sesuai dengan dirinya. Misalnya produk yang bersifat praktis dan mudah digunakan. Tentunya, ini tak terlepas dari harga terjangkau namun bisa memenuhi kebutuhan dan memanjakan konsumen.
Tahun depan, Kino Group tetap stay dengan strategi yang ada. Kino Group akan mengupayakan segala bentuk komunikasi pemasaran, baik above the line (ATL) maupun below the line (BTL). Acuan ketentuannya terletak pada needs and wants konsumen. Target pertumbuhannya berkisar di atas 20% per tahun.
“Strategi ke depannya, setiap market akan ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Jadi, dicocokkan dahulu antara target market, produk, serta efektivitas promosinya. ATL dan BTL merupakan alat untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut,” ujarnya.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
INDUSTRI PERTELEVISIAN: Program “Segmented” Mulai Diminati
Tidak selamanya sinetron bisa mengikat animo pemirsa televisi. Kejenuhan mulai terlihat. Kemana arah tayangan akan berpindah?
Perkembangan industri pertelevisian di Indonesia kian pesat. Ini ditandai dengan hadirnya puluhan stasiun televisi, baik dalam skala nasional maupun lokal. Akibatnya, persaingan di antara para pemain kian sengit. Masing-masing berlomba menyajikan program unggulan untuk memikat pemirsa.
Berhasil-tidaknya program TV memang ditentukan oleh pemirsa. Makin banyak yang menonton, makin sukses pula acara tersebut—dan makin tinggi pula potensi untuk meraup banyak iklan. Dalam dunia pertelevisian, dikenal istilah rating, yakni skor untuk mengetahui jumlah orang menyaksikan sebuah acara TV. Bila skor rating-nya tinggi berarti acara tersebut banyak ditonton pemirsa, begitu pun sebaliknya.
“Persaingan di tahun 2008 relatif masih ketat. Hampir sama dengan tahun 2007 kemarin. Semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat program semenarik mungkin untuk mendapatkan perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya,” ujar Andini Wijendaru, Executive Public Relations PT AGB Nielsen Media Research (NMR) Indonesia.
Jika dilihat dari segi jumlah penonton, tahun ini sinetron (drama series) tampaknya masih digandrungi—khususnya bagi ibu-ibu rumah tangga. Namun, berdasarkan supply program dari stasiun televisi, menurut Andini, pasokan sinetron mulai berkurang. Penurunan supply sinetron ini sudah terjadi sejak tahun 2006. Untuk menutupinya, tayangan sinetron pun diganti dengan FTV dan drama percintaan.
Di samping itu, ada fenomena menarik yang terjadi tahun ini, yaitu makin disukainya tayangan sport. “Dilihat dari genre program, olahraga mulai mendapat perhatian penonton. Program-program olahraga tersebut dikerucutkan lagi hingga muncul kategori sepak bola, bulu tangkis, dan tinju,” katanya. Tayangan olahraga ini sifatnya program khusus. Artinya, target audiens yang dibidik termasuk segmented, yakni laki-laki.
Berdasarkan 20 Top Program periode Januari–15 November 2008 yang dirilis NMR, program yang ditonton pemirsa usia lima tahun ke atas cenderung bervariasi. Beberapa program olahraga ternyata mampu menyedot perhatian banyak pemirsa. Misalnya saja siaran langsung Liga Djarum: PSMS vs Sriwijaya yang meraih penonton tertinggi (3,72 juta); kualifikasi Final Thomas Cup & Uber (3,59 juta); dan Kukubima World Boxing (3,46 juta).
Tayangan musik juga cukup mendominasi. Beberapa contohnya adalah Mamamia Supermama (3,62 juta); Stardut (3,45 juta); Demam Dangdut (3,33); dan Club (3,20 juta). Sementara itu, sinetron hanya bisa menempatkan dua judul—Cinta Bunga dan Azizah—di antara 20 program yang paling banyak ditonton pemirsa (lihat tabel).
“Ini berbeda dengan tahun 2007 yang didominasi oleh tayangan sinetron, drama, dan film,” terang Andini. Jika dibandingkan dengan periode yang sama (Januari–15 November), tahun lalu sinetron dan sejenisnya sangat perkasa dengan menempatkan 14 judul.
Survei ini dilaksanakan oleh AGB Nielsen Media Research Indonesia di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin), dengan target audiens yang berusia di atas lima tahun. Hasil survei tersebut menunjukkan peningkatan tontonan di kalangan laki-laki.
Peningkatan jumlah tayangan khusus laki-laki, lanjut Andini, awalnya dikarenakan keinginan pihak stasiun televisi untuk lebih menjangkau target pemirsanya, bukan hanya untuk kalangan perempuan. Akibatnya, program-program yang bervariasi makin marak ditawarkan. Kondisi ini, lanjut Andini, berbeda dengan tahun sebelumnya di mana program sinetron, musik, dan film masih menjadi primadona.
“Perpindahan tersebut dilandasi atas keinginan mereka dalam memberikan ‘warna’ tayangannya. Selain bertujuan menarik minat pemirsa, hal ini juga untuk menunjukkan eksistensi mereka dalam memanjakan keinginan pemirsa. Apalagi, sekarang ini marak televisi berbayar. Persaingan di industri siaran televisi kian sengit,” lanjutnya.
Faktor lain yang mempengaruhi genre tayangan baru adalah pemirsa itu sendiri. Seiring waktu, kebutuhan dan tren yang diinginkan pemirsa selalu berubah-ubah. Contohnya, sinetron dulu digemari, tetapi sekarang penonton sudah jenuh dan menginginkan tayangan yang berbeda. Penonton jenuh jika “dibombardir” oleh satu tayangan yang monoton. Apalagi jika tayangan sejenis juga disiarkan di stasiun-stasiun televisi lain.
Salah satu tayangan yang tengah digemari saat ini adalah Termehek-mehek. Di tengah maraknya tayangan sinetron di saat prime time, Trans TV justru berani menghadirkan reality show dengan kemasan yang berbeda dari pemain lainnya. Termehek-mehek disinyalir mampu menaikkan rating Trans TV. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pemirsanya, tayangan tersebut sampai hadir dua kali dalam seminggu, Sabtu dan Minggu.
Dalam Top 10 Program November 2008 (1–15 November 2008), Termehek-mehek mencapai skor rating tertinggi, yakni 6,5 dengan jumlah pemirsa 2,75 juta orang. Meski begitu, berdasarkan data tahun sebelumnya, pencapaian rating setiap program bisa naik-turun tergantung pada pilihan pemirsanya. “Karenanya, stasiun televisi harus mengantisipasi hal itu sedini mungkin. Harus pandai-pandai mencari ide dalam mengemas tayangannya,” saran Andini.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
INDUSTRI FMCG: Beralih ke Refocus dan Repositioning
Kejelian produsen FMCG dituntut lebih. Strategi refocus dan repositioning menjadi pilihan. Bagaimana mempraktikkannya?
Banyak kalangan dan pelaku bisnis menilai negatif akan pertumbuhan industri consumer goods seperti yang digeluti PT Unilever Indonesia, Wings Group, maupun Kino Group. Apalagi sejak September 2008 kemarin, gejolak kurs, bunga pinjaman, dan likuiditas kian memperparah kondisi ekonomi baik nasional maupun internasional.
Tidak demikian dengan Yadi Budhi Setiawan, pengamat pemasaran dan distribusi dari Force-One. Menurutnya, ada empat “faktor baik” yang memengaruhi kondisi bisnis 2008, yakni makro ekonomi yang relatif solid; perkembangan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh sektor konsumsi sejak lima tahun terakhir; belajar dari krisis moneter 1997 dan 1998 bahwa bangsa Indonesia tangguh dan bisa pulih; serta pertumbuhan ekonomi dan pasar masih menunjukkan angka memadai yang bisa menjadi modal di tahun 2009.
“Kondisi bisnis consumer goods masih bagus. Secara kuantitas major Fast Moving Consumer Goods (FMCG) naik 8-15%. Dari segi nilai pun bisa tumbuh 16-25% berdasarkan kenaikan Retal Buying Price (RBP) sebesar 8-10%,” ungkapnya.
Selain itu, dari sisi periklanan, ada peningkatan billing di atas 18%—itu pun di luar iklan politik. Faktor ekspansi hipermarket, supermarket, dan minimarket juga turut memberi dampak positif. Begitu juga dengan pasar tradisional yang mengarah pada rencana konkret meremajakan dan merenovasi konsepnya menjadi bersih, rapi, dan apik.
“Namun, tetap saja ada ‘faktor buruk’ yang ikut memengaruhi. Ini masih terkait dengan krisis global. Yakni, adanya dampak sub prime krisis ke Indonesia sehingga rupiah dan IHSG melemah,” imbuh Yadi. Faktor lainnya adalah likuiditas pasar menjadi kering dan terjadi PHK di beberapa sektor riil yang padat karya, sehingga daya beli konsumen pun merosot.
Oleh karena itu, persaingan antar-perusahaan dinilai akan lebih ketat dan berat. Ini ditunjukkan dengan sedikitnya peluang bagi perusahaan untuk menaikkan harga produknya. Kalaupun dinaikkan, paling hanya sekitar 6-10% dari harga semula. Tentunya, permintaan produk mengalami penurunan kuantitas. Jika beruntung, kenaikan harga tidak terlihat signifikan, hanya single digit. “Bila produsen berani menaikkan harga lebih dari 10%, hal itu akan berpotensi tinggi menyebabkan erosi pangsa pasar,” tegasnya.
Untuk kondisi 2009, Yadi menjelaskan, akan banyak dipengaruhi tiga faktor besar. Pertama, nilai kurs rupiah terhadap dolar. Selama rupiah berada di atas Rp 10.000, maka lokomotif industri riil sulit bertumbuh cepat. Kedua, suku bunga (SBI) dan kondisi likuiditas perbankan di Indonesia. Jika SBI bertengger di atas 8%, bunga pinjaman akan tinggi. Akibatnya akan menekan gairah investor untuk berinvestasi.
“Ketiga, adanya pemilu April-September 2009 yang akan membuat mayoritas pelaku ekonomi wait and see,” imbuhnya. Momen pemilu, bisa menjadi berkah bagi sebagian pelaku bisnis, khususnya untuk produk food & beverage, percetakan dan merchandising, outdoor ad, garmen, bengkel motor maupun mobil, serta saluran pasar tradisional dan arus bawah.
Kejelian produsen dalam menangkap konsumen peka harga pun harus diperhatikan. Harga yang terus membubung drastis harus diimbangi dengan pengurangan keuntungan. Selain refocus ke konsumen peka nilai, refocus distribusi bisa juga dilakukan. Potensi pasar Pulau Jawa dan kota-kota besar yang tersebar di luar Jawa mampu menyedot 90% daya beli untuk FMCG.
Oleh karena itu, dalam mengantisipasi tantangan 2009, produsen harus merencanakan program-program khusus. Semisal, melakukan efektivitas distribusi dengan memadatkan spreading namun merapatkan coverage dan memperdalam penetrasi, antara lain di institusi dan pasar modern. Strategi distribusi akan diarahkan pada optimalisasi peningkatan kantong pasar dan koridor pasar.
Antisipasi lainnya, menyusun perencanaan integrated marketing communications (IMC) yang low budget dan high impact yang berorientasi pada perang nilai, bukan perang harga. “Yang utama adalah mengarahkan ke segmen elit sehingga diperlukan repositioning, upselling, atau product reconfiguration upgrade,” sarannya.
Perpindahan positioning, khususnya segmen yang dibidik bisa menjadi langkah antisipasi dalam menghadapi persaingan. Strata ekonomi konsumen jelas berkaitan langsung dengan daya beli. Konsumen elit yang memiliki penghasilan di atas 10 juta rupiah tidak akan terpengaruh krisis. Berbeda dengan segmen menengah-bawah, umumnya mereka lebih selektif dalam pembelian produk.
“Konsumen menengah-atas sedikit terpengaruh, bisa turun 15-20%. Segmen menengah akan mengalami penurunan 20% dan untuk impulsive purchases turun 40-67%. Begitu pula bagi kalangan menengah-bawah, daya beli turun 20-33%, dan impulsive purchases 67-80%,” jelas Yadi.
Dari segi pemasaran tahun 2009, menurutnya, peluncuran brand baru akan dihindari oleh perusahaan. Dalam membidik konsumen, strategi diarahkan menjadi IMC New Wave dan meninggalkan IMC Classic. Begitu juga dengan iklan di media massa yang mahal akan dialihkan, bahkan ditinggalkan. “Akuisisi dan merger terhadap local brand yang kuat di 3-5 provinsi akan gencar dilakukan oleh national brand; strategi bundling dan pack downsizing pun gencar dijalankan di 2009,” terangnya.
Bicara soal tren yang menonjol di FMCG, Yadi menyebut green product atau produk “back to nature”, produk berkomponen lokal, produk khusus usia 12-25 tahun, serta produk yang ditujukan untuk metroseksual dan wanita kosmopolitan. “Produknya bisa berupa minuman teh hijau atau rasa buah ‘new age’ seperti rosella, raspberry, blueberry maupun blackcurrent. Kemasannya menggunakan teknologi penyulingan modern dan tidak mengandung konten mineral berlebihan,” tutupnya.
Fisamawati
MARKETING Edisi Desember 2008
Kamis, November 27, 2008
Bukan Cuma “Cantik” di Nomor
Infomedia mampu mencatat pertumbuhan yang ciamik dalam dua tahun terakhir. Seperti apa kisahnya?
Mungkin sebagian besar pembaca sudah cukup akrab dengan beberapa call center yang punya nomor cantik seperti 14041; 14042; dan 14045. Asal tahu saja, nomor-nomor dengan “lima digit” itu mereka dapatkan dari Infomedia. Anak perusahaan Telkom ini memang memiliki lisensi dari Departemen Komunikasi & Informasi RI untuk menggunakan nomor-nomor tertentu.
“Jadi, untuk mendapatkan nomor cantik, dari sisi prosedur kami tidak kesulitan,” kata Angger Pramunditto Direktur Contact Center PT Infomedia Nusantara.
Namun, bukan cuma itu yang mereka sediakan. Sebab, sebagai provider call center paling berpengaruh di industri ini, Infomedia menawarkan “total solution”. Mulai dari layanan inbound dan outbound melalui telepon, SMS, email, website, dan chatting; perangkat hardware & software; jaringan komunikasi data & voice; hingga sumber daya manusia (SDM).
“Dari sisi teknologi, Infomedia selalu menggunakan teknologi terbaru dan selalu di-update dari tahun ke tahun sehingga informasi apa pun yang diinginkan customer bisa dipenuhi. Selain itu, kami juga menyediakan layanan directory assisted services di seluruh Indonesia,” imbuh Angger.
Saat ini, terdapat sekitar 16-20 perusahaan yang ber main dalam industri jasa call center di Indonesia. Tingkat persaingannya sangat ketat, terutama dari sisi harga. Infomedia sendiri merupakan market leader yang menguasai sekitar 50% pangsa pasar.
Target pasarnya adalah multi industri, khususnya di industri telekomunikasi dan banking. Kini, mereka sudah melayani lebih dari 30 perusahaan dengan beragam layanan. Sebut saja Bank Niaga, Bank Lippo, Garuda Indonesia, McDonald’s untuk delivery order, Bank Bukopin (Hallo Bukopin 14005), dan masih banyak lagi.
Angger menuturkan, SDM di Infomedia terbagi dua: organik dan anorganik. Organik adalah SDM yang terlibat langsung di Infomedia dan berjumlah 70 orang. Sedangkan anorganik adalah 6.800 SDM yang tersebar di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Denpasar, dan Makassar.
Dalam pengelolaan SDM ini, lanjutnya, Infomedia bekerja sama dengan 11 provider SDM. Biasanya, setelah mengajukan permintaan SDM (agen) dalam jangka waktu tertentu, Infomedia ikut terlibat dalam proses seleksi seperti psikotes, tes vokal, dan skill. Kemudian dibuat perjanjian kerja agar pengelolaan serta pengawasan terhadap mereka bisa lebih mudah. “Setiap dua tahun sekali dilakukan evaluasi kerja agen. Jadi, kami bisa controlling. Jika kinerja yang dihasilkan bagus, maka akan diperpanjang kontraknya.”
Dalam proses rekrutmen, kriteria standar yang ditetapkan Infomedia adalah minimal pendidikan D3, berusia maksimal 27 tahun, dan memiliki kemampuan bahasa yang baik. Sedangkan untuk jenis kelamin laki-laki dengan perempuan tidak terlalu mempengaruhi, kecuali dari segi jam kerja malam saja. Secara umum, perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 53:47.
Kriteria SDM juga disesuaikan dengan jenis layanan dan requirement klien. Biasanya saat planning, klien menjelaskan keinginan mereka dan pihak Infomedia lalu memenuhi permintaan itu. Contohnya untuk Mead Johnson, dibutuhkan SDM yang mengerti nutrisi; di banking biasanya berlatar pendidikan ekonomi; dan di Sony Ericsson, SDM-nya harus mengerti IT.
Ditambahkan Angger, training dari Infomedia berupa “inisiasi” atau pengenalan kepada calon agen tentang call center dan seperti apa bekerja di call center. Misalkan ia harus menjawab telepon dengan ramah dan peraturan-peraturan lainnya. “Sementara training dari klien berupa pengenalan produk. Waktu training untuk inisiasi dan pengenalan produk, jika berjumlah 75 orang sekitar 1-2 minggu,” katanya.
Yang jelas, bagi Infomedia, SDM merupakan “senjata utama” dalam call center. Membangun call center berarti juga membangun SDM. Karena itu, kemampuan agen dalam menguasai product knowledge, meng-handle pelanggan, serta penguasaan tata bahasa yang baik merupakan prasyarat utama karyawan call center. Dengan kriteria ini, perusahaan pengguna jasa call center bisa berkonsentrasi penuh pada core business-nya.
Kepercayaan klien terhadap Infomedia juga sangat diperhatikan. Terbukti, perusahaan yang beroperasi sejak 1996 ini mampu menjaga kerahasiaan klien selama bertahun-tahun. Sebab, para agen call center hanya bisa membaca data, tetapi tidak bisa masuk ke dalam sistem.
Lantas, apa tantangan yang dihadapi Infomedia dalam mengelola call center? Jawabannya adalah kesulitan dalam mencari SDM. Hal seperti ini bisa terjadi jika klien ingin men-set up suatu call center dalam ukuran besar dalam waktu singkat. Karena permintaan itu harus bisa dipenuhi, akhirnya berdampak pada notasi yang mahal.
“Umumnya, biaya call center adalah 60-70% di SDM. Dan SDM tersebut bisa mendukung jika kondisi lingkungannya, seperti tempat makan, terjangkau— baik dari sisi letak maupun biaya,” papar Angger. Jadi, kesulitan utama adalah dalam mencari SDM. Tantangan lain, imbuhnya, adalah mencari customer baru dan mempertahankan atau meningkatkan service level garansi kepada klien.
Perkembangan Infomedia sampai saat ini sangat menggembirakan. Infomedia ternyata juga bukan hanya mampu menyuplai nomor-nomor cantik. Tingkat pertumbuhannya dari tahun ke tahun pun makin “cantik”. Menurut Angger, angkanya bisa mencapai 80%. Bahkan, pada tahun 2006 mencapai 115% dan tahun 2007 mencapai 316%.
Tahun ini, ia menargetkan jumlah customer bertambah sekitar 10-20%, dan menerapkan inovasi-inovasi produk baru yang bisa membantu calon-calon klien bisa menekan cost. “Untuk mencapai itu, tentu ada pelatihan-pelatihan internal untuk organik dan anorganik secara kontinyu. Karena ‘mesin uang’ ada pada para SDM itu.”
David S Simatupang
Laporan: Fisamawati
Pusat Layanan Informasi AIDS
Call Center KPA Nasional semakin ramai dihubungi setelah banyak yang mengetahuinya. Informasi dasar tentang HIV AIDS paling banyak ditanyakan.
Jika Anda belum pernah mendengar tentang Call Center Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, sekaranglah saatnya Anda mengenalnya. Layanan ini beroperasi sejak tahun 2006 dengan tujuan memberikan informasi mengenai HIV AIDS kepada masyarakat.
Seperti kita ketahui, selama ini masyarakat memandang HIV AIDS sebagai penyakit kutukan dan dianggap sebagai aib. Sehingga, tak jarang penderitanya menutup diri dari pergaulan umum. Di situlah peranan KPA Nasional amat dibutuhkan, mengingat perkembangan penderita HIV AIDS di Indonesia cukup tinggi, terutama Papua, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali.
Adapun nomor Call Center KPA Nasional yang dihubungi adalah (021) 3901758. “Atau, bisa menghubungi saya di nomor 0811984144,” kata Ajianto Dwi Nugroho, Media Specialist KPA Nasional. KPA Nasional membagi-bagikan nomor ini melalui selebaran dan poster.
Selain itu, nomor tersebut juga bisa didapatkan apabila mengakses www.aidsindonesia.or.id. “Kami tidak menggunakan nomor cantik untuk layanan ini karena dikelola dengan nomor kantor. Mereka umumnya langsung menelepon ke kantor. Kalau pun mereka mengontak ke ponsel saya, pasti akan saya jawab juga,” tutur Ajianto.
Karena KPA merupakan lembaga negara, pengoperasian call center -nya bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan KPA provinsi, serta KPA kabupaten/kota. Pendanaannya 30% dikeluarkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara, sisanya didapat dari LSM, KPA provinsi dan kabupaten, juga donatur.
Namun, mengingat banyaknya masyarakat yang lebih mengetahui KPA Nasional daripada KPA provinsi atau kabupaten/kota, maka Call Center KPA Nasional memberikan rujukan kepada penelepon untuk menghubungi KPA terdekat.
Untuk Call Center KPA Nasional, sejauh ini dioperasikan sesuai jam kerja kantor. “Sementara, masyarakat bisa menghubungi nomor ponsel saya selama 24 jam penuh,” tegas Ajianto. Dalam sehari, call center ini menerima rata-rata 5 call in. Setiap call memakan waktu antara 15-30 menit. Pertanyaan yang paling sering dilontarkan adalah apakah HIV AIDS bisa disembuhkan, bagaimana cara penularannya, soal bahaya HIV AIDS, dan apa obatnya.
Dari sisi usia, yang menghubungi mayoritas dari mereka adalah remaja antara 15-25 tahun. Yang menarik, dalam berkonsultasi, remaja-remaja itu menceritakan sebuah kasus dengan dalih kasus tersebut sedang mendera teman mereka. Padahal, bisa dipastikan bahwa kasus itu menimpa mereka sendiri.
“Di Call Center KPA Nasional ini ada dua orang yang bertugas, saya sendiri dan seorang lagi teman saya,” ucap Ajianto. Apakah tidak terlalu sedikit? Ia menjawab, “Saya rasa tidak, karena ini sifatnya hanya mengenai isu kesehatan.”
Ajianto menambahkan bahwa dahulu informasi mengenai HIV AIDS masih sangat tertutup. Sekarang layanan seperti ini sudah dibuka. Sekarang hampir semua KPA di provinsi sudah memiliki pusat layanan semacam ini. Di kabupaten/kota saja ada 105 layanan, yang semuanya di bawah koordinasi KPA Nasional.
Menyangkut kriteria sumber daya manusia, setidaknya petugas Call Center KPA Nasional memahami perihal HIV AIDS. “Yang pasti, pusat layanan informasi ini diminati masyarakat. Semakin banyak orang yang mengetahui call center ini, semakin banyak pula yang menghubungi,” tandas Ajianto.
Hotline AIDS
Tidak hanya untuk kepentingan bisnis, call center pun bisa dimanfaatkan untuk misi sosial. Hal ini pernah diungkapkan oleh pengamat teknologi informasi Richardus Eko Indrajit, bahwa tren call center nantinya akan berfungsi sebagai knowledge center seperti yang terjadi di Amerika Serikat.
Satu contoh yang bisa kita telaah adalah Hotline AIDS di bawah pengelolaan Pokdisus (Kelompok Studi Khusus) AIDS yang mulai dioperasikan pada tahun 1993. Ide pembuatan hotline muncul ketika kebutuhan masyarakat akan informasi seputar AIDS terus meningkat. Ide itu kemudian diwujudkan berkat kerja sama Pokdisus AIDS dengan radio Prambors, Telkom, dan Multipolar (Lippo Group).
Lalu, pada tahun 1995, Pokdisus AIDS mulai membuka hotline-nya secara langsung tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Mulai saat itu konten layanannya menjadi lebih segar karena penelepon bisa berkonsultasi secara langsung. Hotline AIDS buka setiap hari yang dilayani dengan 7 line sehingga bisa menerima 7 penelepon sekaligus.
Karena bermisi sosial, Hotline AIDS dikelola secara client oriented. Pengembangan layanannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan lembaga. Selama ini, meski berada di bawah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Hotline AIDS dijalankan atas pendanaan self finance.
Purjono Agus S.
Liputan: Fisamawati
Rabu, November 26, 2008
Helmy Anam: Punya Tim Solid
Berlatar belakang pendidikan komunikasi serta jebolan S2 Manajemen Komunikasi di Inggris, menjadikan Helmy Anam amat pas menduduki posisinya sekarang. Akan tetapi, jabatannya sebagai Head of Marketing Communication di PT Acer Indonesia itu punya tantangan tersendiri. “Tantangannya lebih mengarah pada penerapan ilmu komunikasi yang telah didapat ke perusahaan-perusahaan yang berbeda,” kata perempuan yang terlihat fresh dengan rambut pendeknya ini.
Selain challenging, ungkap Helmy, dunia marketing berbeda dengan profesi lain. Ini bisa dilihat dari banyaknya pengalaman yang terus bertambah setiap harinya. Menurutnya, belajar tidak hanya dari buku-buku saja, tetapi bisa didapat dari pengalaman seseorang. “Dan pastinya, marketing tidak monoton duduk di belakang meja saja,” kata pemilik sifat balance dalam kesehariannya ini.
Profesi Helmy pun tak lepas dari dukungan keluarga seperti suami dan ketiga anaknya. Ini dibuktikan dengan persamaan pandangan dengan sang suami, bahwa pernikahan adalah partner. Ditambah lagi, ketiga putranya yang berusia 7, 5 dan 3 tahun terbilang anak yang mandiri. “Jadi saya punya tim solid,” candanya.
Sejak bergabung dua tahun silam di PT Acer Indonesia, Helmy mengaku lebih banyak mengenyam suka ketimbang duka. Seperti pada malam di pertengahan Februari lalu, merek asal Taiwan ini sukses meraih Top Brand Award 2008. “Ini merupakan buah dari dedikasi panjang kami. Hasil survei dan koresponden yang dilakukan berdampak pada peningkatan kredibilitas perusahaan. Ini bisa mewujudkan misi Acer ke depannya,” ujarnya.
Fisamawati
Dinna Olivia: Dapat Tantangan Baru
Krisis kepercayaan diri bisa hinggap pada siapa saja, termasuk artis cantik Dinna Olivia. Beruntung, ia bisa cepat menyadari potensi dan bakatnya di dunia entertainment yang kemudian menghantarnya sebagai penerima penghargaan “Pemeran Utama Wanita Terbaik” di ajang Indonesian Movie Award (IMA) 2008.
Tak hanya itu, kini, gadis kelahiran 8 Februari 1983 ini dipercaya menjadi duta Kotex—merek pembalut wanita dari PT Kimberly-Clark Indonesia. “Saya senang menjadi brand ambassador Kotex karena bisa mengekspresikan diri. Dari sini saya banyak mendapat arahan dan masukan positif untuk menunjukkan jati diri sehingga mengerti apa yang dimaksud smart, bold, dan daring,” ungkap Dinna yang dijumpai di EX Plaza Indonesia, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut, ia akan mengikuti serangkaian kegiatan kampanye Kotex bertajuk “Be You” di beberapa kota besar yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Baginya, kegiatan kampanye tersebut bisa menjadi sarana sharing dengan remaja puteri lainnya.
Artis yang pernah membintangi sederet iklan seperti Sari Ayu Martha Tilaar, Ericsson T10s, dan Ferrero Roche Hong Kong ini mengaku senang akan tantangan baru. Hal itu terlihat dalam TVC Kotex. “Ada adegan saya menunggang kuda dengan memakai gaun panjang. Padahal itu belum pernah saya lakukan sebelumnya,” aku perempuan yang memiliki tinggi badan 172 sentimeter ini.
Alhasil, ia pun harus menjalani kursus kilat menunggang kuda sekitar empat jam di lokasi syuting. Untungnya, kuda yang menjadi “partnernya” tergolong jinak, jadi tak ada adegan jatuh-jatuh. Pemeran film 30 Hari Mencari Cinta ini menjelaskan, awalnya ia harus mengerti gerak-gerik kuda, dibelai, sampai diajak bicara. “Saya sampai kasihan sama kudanya karena syuting dari pagi hingga sore,” katanya mengakhiri.
Fisamawati
TENTANG FISA & PERCIK MEDIA
Sebagai seorang jurnalis, saya memiliki komitmen untuk senatiasa memberikan informasi kepada para pembaca. Untuk itu, dalam wadah blog ini, saya mencoba menghadirkan sejumlah artikel yang saya tulis dari versi cetak ke online.
Melalui percikmedia.blogspot.com, Anda bisa mendapatkan data baik artikel lawas maupun terkini sebagai bahan referensi. Selain memperoleh artikel, Anda bisa juga berinteraksi langsung dengan saya, selaku pemilik dan penulis blog ini.
Pada prinsipnya, selain ingin memberikan nilai tambah yang bermanfaat bagi Anda. Namun, saya pun berharap blog ini juga memberikan feedback bagi saya ke depannya. Oleh karena itu, Anda bisa memberikan komentar, masukan, sharing pengalaman, atau sakadar mengikuti polling.
Semoga artikel di percikmedia.blogspot.com mampu memberikan inspirasi bagi Anda. Selamat Membaca!
Kamis, November 13, 2008
Asianti Sukendar: Layaknya Persimpangan Jalan
Keberhasilan karier perempuan yang satu ini patut mendapat acungan jempol. Ada sekelumit cerita yang menghantarnya ke posisi Marketing Director PT Mead Johnson Indonesia. “Layaknya persimpangan jalan, saya dihadapkan pada pilihan sulit. Maklum saja, waktu itu saya baru memiliki anak yang membutuhkan perhatian ekstra. Saya harus memilih antara berhenti bekerja lalu fokus mengurus anak atau sebaliknya,” ungkap Asianti Sukendar.
Kedua pilihan tersebut bukanlah tanpa sebab. Faktor pemicunya adalah perasaan jenuh yang hinggap pada perempuan kelahiran 28 November 1961. Ini bisa dirunut dari sepak terjang kariernya ketika terjun ke dunia marketing. Asianti pernah bergabung denganPT Nestle Indonesia dan PT Danone. Jika ditotal, di Nestle saja Asianti bergabung selama 18 tahun.
Namun, lanjut Asianti, belum sempat mengambil pilihan, datang tawaran dari Mead Johnson. Alhasil, ia pun memupuskan keinginannya untuk berhenti bekerja. “Ini merupakan sebuah tantangan baru bagi saya. Artinya, saya harus bisa memokuskan diri pada dua kesibukan yang berbeda. Untungnya, kedua orang tua saya sudah menerapkan hal ini pada saya. Jadi, saya tinggal mengambil contoh bagaimana cara mengatur waktu antara karier dan keluarga agar selaras,” ujar perempuan berkaca mata ini.
Kini, Asianti bisa bernafas lega. Keputusannya untuk tetap berkarier, ternyata, tak harus menanggalkan sosoknya sebagai seorang ibu pada umumnya. “Program-program kerja di Mead Johnson tak terlepas dari peran serta ibu-anak. Bahkan event yang digelar pun mengusung konsep keluarga, seperti Enfa SmA+rt Adventure. Sambil bekerja, bisa mengajak anak bermain, ” pungkasnya.
Fisamawati
Shahnaz Haque: Bersemangat Merubah Hidup
Perempuan merupakan insan yang memiliki kemampuan luar biasa dalam dirinya. Namun, seringkali kemampuan tersebut terpendam, bahkan terabaikan karena prioritas yang ada. Berlatar belakang itulah, artis dan presenter cantik Shahnaz Haque bersemangat untuk merubah hidup perempuan dan keluarganya menjadi lebih baik.
“Semangat itu tak pernah padam. Apalagi setelah menyandang Duta 3E Tupperware Indonesia, dimana filosofi hidup saya dengan pihak Tupperware memiliki kesamaan,” kata Naz – panggilan akrabnya. Perempuan kelahiran Jakarta, 1 September 1972 ini, menjelaskan, filosofi yang dimaksud tertuang dalam program “3E” yakni enlighten (pencerahan); educate (pembelajaran); dan empowerment (pemberdayaan).
Naz pun menyadari bahwa menyandang duta bukanlah perkara mudah. Istri drummer Gilang Ramadhan ini memiliki fokus kegiatan untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan remaja khususnya remaja putri. “Tujuannya adalah membangun generasi penerus yang berwawasan luas dan berkualitas dengan harapan memberikan masa depan yang lebih cerah bagi anak bangsa,” papar Putri Indonesia Favorit 1995.
Sebagai duta, Naz akan melakukan serangkaian kampanye “3E” Tupperware di kota-kota besar di Indonesia dan juga melalui program-program on-air maupun off-air yang akan dilakukan selama tahun 2008 – 2010 mendatang. Lantas bagaimana dengan keluarga? “Tak ada masalah. Saya tetap melakukan tugas-tugas sebagai istri sekaligus ibu ditengah padatnya kesibukan di luar rumah. Seperti sekarang ini, saya juga mengajak suami dan anak agar perhatian dan kebersamaan bisa tercipta di mana pun,” ungkap ibu dari Pruistin Aisha, Charlotte Fatima, dan Mieke Namira ini.
Fisamawati